"Gedung ini mahal lho tarif sewanya? Kenapa kita nggak pake lapangan badminton sebelah rumah kamu saja Bhi? Buat tempat resepsi kita. Nanti kita tinggal sewa tenda saja yang bagus," ujar Langit saat ia dan Bhiru berkeliling di gedung yang biasa dipergunakan untuk resepsi pernikahan para pesohor negri.
"Lapangan sebelah rumah aku, Lang? Yang benar saja?!" Bhiru memutar bola matanya.
"Iya. Cukup luas kan? Terus deket sama rumah kamu."
"Kita mau bikin resepsi nikah Lang, bukan acara sunatan," protes keras Bhiru membuat Langit tertawa geli. "Lagi pula aku mau bikin resepsi di Jakarta, bukan di Bandung." Bhiru bersikeras.
"Ya sudah," gumam Langit tapi matanya tampak serius menatap layar gawainya.
"Aku pilih gedung ini juga karena banyak pertimbangan yang bagus, Lang." Bhiru menjelaskan maksudnya mengapa ia begitu bersikeras. "Bukan cuma lokasinya saja yang mudah ditemukan. Lahan parkirnya luas, gedungnya juga lebih luas, Lang. Nyaman buat para tamu kita yang nantinya datang. Mereka nggak bakalan desak-desakan apalagi sampai saling sikut saat mengantri mengambil makanan." Bhiru menjelaskan sambil membayangkan pengalaman pahitnya saat berdesak-desakan sampai perutnya kena sikut hanya untuk mengambil camilan di resepsi pernikahan salah satu temannya tahun lalu.
Langit menghela nafas mendengar penjelasan Bhiru. Baginya mau menikah di gedung atau di rumah, sama saja. Asal tarifnya sesuai dengan anggaran yang telah mereka berdua rencanakan.
"Aku bahkan udah ngebayangin bagian wedding entrance ceremonial kita di sini." Bhiru memejamkan kedua matanya untuk membayangkan bagian itu. Bagian di mana ia kena lempar ballpoint Kumala sesudahnya ketika ia berimajinasi saat meeting tempo hari.
"Kita berdua akan bergandengan tangan." Sambil menggamit lengan Langit dan mulai memperagakan imajinasinya, Bhiru memutar sebuah lagu di gawainya. "Kita berjalan pelan di sepanjang karpet merah yang ditaburi kelopak mawar putih sambil diiringi alunan saxophone lagu 'Bukti'nya Virgoun." Bhiru terus membimbing Langit mengikuti arahannya melangkah pelan-pelan menuju ke tempat yang akan dijadikan pelaminan mereka.
"Kenapa harus lagu itu? Nggak pakai lagu lain saja yang lebih bagus?" Ganti Langit yang melayangkan protes.
Bhiru berhenti lalu membuka pemutar musik di gawainya untuk ditunjukan pada Langit.
"Kalo kamu nggak mau lagu itu, di antara lagu-lagu ini mana yang kamu suka?" Bhiru memperlihatkan list lagu-lagu romantis di gawainya.
Everyday I Love You by Boyzone
Beautiful In White by Shane Filan
You Are The Reason by Calum Scott
Surat Cinta Untuk Starla by Virgoun
Dan masih banyak lagi lagu-lagu romantis yang tersimpan di list lagu milik Bhiru.
Namun Langit masih menggeleng tidak puas.
"Nggak ada lagu Jawa? Yang pakai gending itu lho? Lebih sakral malahan," ujarnya membuat Bhiru cemberut.
"Lang, aku ingin konsep pernikahan kita modern aja. Nggak perlu pake adat mana pun," Bhiru menjelaskan keinginannya. Mengingat banyaknya kultur dalam keluarganya yang akan memicu perdebatan jika ia memilih salah satu adat dalam keluarganya dan keluarga Langit yang juga multi etnis.
"Papa Tionghoa Manado, Mama Jawa. Lalu keluarga kamu, Sunda Bugis Dayak. Aku nggak ingin keluarga kita berdua jadi ribet gara-gara kita memilih salah satu adat, Lang. Jadi kita ambil jalan tengah biar simple, ala modern."
Langit tersenyum memperhatikan kekhawatiran yang terlukis di wajah cantik baby face Bhiru. Lalu telunjuknya terangkat untuk mengusap lembut puncak hidung Bhiru sambil berkata, "oke aku setuju pakai ala modern saja."
Menatap Langit yang selalu mengalah padanya, Bhiru akhirnya tersenyum lebar. Tersenyum sambil memejamkan kedua matanya. Menikmati sentuhan lembut Langit di hidungnya. Kebiasaan itu selalu Langit lakukan untuk meredakan emosi Bhiru.
"Berati kamu setuju juga kan kalau lagu pengiringnya pakai lagu 'Bukti' nya Virgoun?" Bhiru mengingatkan lagi.
"Karena kamu begitu menyukai lagu itu. Ya sudah pakai saja, Bhi," sahut Langit pasrah sambil menatap ke arah pasangan yang tampak sedang berbicara dengan pengelola gedung.
"Lihat apa?" Bhiru mengikuti kemana mata Langit memandang dan menemukan pasangan yang salah satunya sangat familiar.
Pak Ranu! Mau apa pak Ranu di sini? Batin Bhiru tiba-tiba menjadi gelisah.