Hari kedua, sekaligus hari terakhir kegiatan pengenalan lingkungan kampus dimulai seperti kemarin. Ada permainan dan perlombaan. Tapi sesi berikutnya, adalah sesi 'lelang suara'. Setiap orang berhak memberi tawaran untuk meminta orang yang ditunjuknya bernyanyi.
Agnes yang dikenal memang suka bernyanyi mulai melelang suaranya seharga Rp 150.000 okeh Kak Irwan. Semua bertepuk tangan mendengar nyanyian Agnes. Selain cantik, ia juga memiliki suara yang merdu. Bahkan Agnes terlihat menyukai aksi di atas panggung, berlenggak-lenggok membuat penampilannya sempurna sebagai penghibur.
Tepuk tangan semakin menderu saat penampikan Agnes selesai.
"Iyaaa... Itu tadi penampikan dari adik kita Agnes! Apakah masih ada yang menunjuk penyanyi?! Ayo! Mari kita lanjutkan lelang suara ini!" seorang panitia yang membawakan acara berusaha menarik penawaran lagi.
"Juanita! Saya tawar Rp 100.000!" Terdengan suara lantang Kak Hermas dari belakang.
Juju langsung menjadi pusat perhatian. Beberapa temannya mulai mendorongnya.
"Ayo, Ju... Kamu lho yang ditawar!" Kata Ria.
"Aku nggak bisa nyanyi...", jawab Juju. Ia masih duduk di kursinya. Sebenarnya Juju bukannya tak bisa bernyanyi, Juju memiliki suara yang merdu hanya saja selalu mengalami demam panggung. Kaki dan tangannya akan bergetar ketika berdiri di panggung.
"Juanita! Rp 150.000!" Tawar seorang kakak tingkat yang lain. Otomatis membuat Juju semakin terpojok.
"Saya naikkan jadi Rp 200.000!" Kata kak Hermas. Ia tidak suka dengan sikap temannya yang mengganggu penawarannya. Padahal Hermaa tidak tahu, temannha itu hanya berusaha memancing penawaran agar menjadi lebih tinggi saja.
"Rp 250.000 atas nama Juanita!" Seorang kakak tingkat lainnya menaikkan tawaran lagi. Kali ini seorang perempuan. Ia juga seperti memancing Hermas agar menaikkan tawaran.
"Rp 300.000!" Hermas masih sanggup menaikkan tawaran.
Kali ini karena sudah semakin banyak yang mendorongnya maju, Juju pun bangkit. Ia melangkah menuju panggung diiringi sorakan semangat.
Ketika mikrofon diserahkan kepadanya, Juju semakin gugup. Matanya mulai berkunang-kunang. Ia sudah pernah mengalami ini sebelumnya, ketika ia terpilih menjadi wakil kelasnya dalam perlombaan solois antar kelas. Ia terpilih tentu karena kemampuan bernyanyi yang cukup mumpuni. Tapi hal berbeda terjadi ketika berada di atas panggung.
Seluruh tulang punggungnya serasa lemas, nafasnya sangkut di tenggorokan, bahkan kedua kakinya hampir tak bisa berhenti bergetar.
"Lagu apa?" Tanya panitia.
Juju menyebutkan sebuah lagu yang sungguh dihafalnya. Setiap nada dan liriknya sudah menjadi partitur di ingatannya. Tapi meski pemain musik sudah mulai memainkan intro beberapa kali, Juju tidak dapat mengeluarkan suaranya.
Pemain musik mencoba kembali, memberikan kesempatan sekali lagi bagi Juju untuk memulai lagunya. Sekali lagi, kakinya kembali bergetar keras. Ia mencoba menahannya. Lebih takut jika semua orang mulai mengetahui kelemahan terbesarnya. Diliriknya Kak Hermas yanh justru menikmati kegugupannya.
Sekarang pembawa acara menepuk pundak Juju dan memberi isyarat agar Juju dapat menghilangkan rasa gugupnya. Pemain musik sekali lagi memberikan intro.
Dengan segenap keberaniannya, kali ini Juju mencoba mendekatkan mikrofon di mulutnya. Tepat saat mulut Juju terbuka untuk menyanyikan lirik lagu itu, suara merdu seorang pria terdengar.
Tak mudah bagiku tanpa dirimu
Seakan duniaku tak lagi milikku
Merasa tak mampu menghadapi perjalanan ini
Maafkan diriku yang tak pernah mampu
Masihkah ada maaf di relung hatimu
Kini kusadari hanya engkau tempatku kembali
Kuterhilang tanpamu
Tersesat dalam hampaku
Tenggelamku di dosa lamaku
Runtuh sudah kesombonganku
Hingga berakhirnya lagu itu, ternyata diambil alih oleh kak Hermas. Sejak awal ia bernyanyi, tepujan tangan semakin riuh terdengar. Ia seperti pahlawan yang menyelamatkan Juju dalam kesulitannya.
Terlebih di akhir lagu, kak Hermas dengan percaya diri berlutut di hadapan Juju dan menggenggam tangannya. Semakin riuh penonton menyoraki, sementara Juju wajahnya semakin memerah. Karena marah sebenarnya, bukan karena malu seperti yang diduga orang.
"Juanita, maukah kau menjadi kekasihku?" Tanya kak Hermas dengan percaya diri. Sedikit ramuan yang kemarin ia umbar dan adegan romantis seperti ini, wanita mana yang takkan luluh? Pikirnya.
Sementata Juju sendiri melihat cincin di jari manis tangannya yang saat ini dipegang oleh Kak Hermas. Hanya karena rasa hormatlah yang menahan tangannya untuk tidak menampar pria di hadapannya. Juju mencoba bersabar.
"Maaf, kak. Aku nggak bisa", jawab Juju. Ia menghela nafas karena jengkel.
"Juanita, kita mungkin baru bertemu, tapi sejak pertama kali melihatmu, aku sudah yakin, hati ini milikmu...", tambah Hermas lagi. Ia masih berlutut, menambahkan ekspresi wajah bersungguh-sungguh.
"Sungguh, saya tidak bisa", Juju mulai menambahkan tekanan di setiap jawabannya.
Tapi dasarnya Hermas memang tak kunjung menyerah, ia masih mencoba mengumbar kata-kata manisnya. "Juanita... Aku...", kata-kata Hermas lantas dipotong oleh Juju.
"Maaf, saya sudah menikah!" Kata Juju tegas dan jelas. Siiiiing... Tiba-tiba keadaan ruangan yang sebelumnya heboh menjadi hening. Di kesempatan itu Juju mengangkat tangan kanannya dan menunjukkan cincin di jari manisnya tepat di depan mata Hermas. Tapi yang memandangi cincin itu tidak hanya Hermas, tapi juga semua orang di dalam aula.
Tidak ada yang menyangka Juju telah menikah. Hal itu mungkin wajar bagi beberapa daerah tertentu, tapi tidak di kota ini, apalagi dengan kemajuan jaman seperti sekarang yang memberikan keleluasaan bagi perempuan untuk mengejar karir, langka sekali menemukan perempuan yang sudah menikah di usia Juju, apalagi dia lantas memilih melanjutkan kuliahnya. Bukankah mereka yang menikah muda cenderung memilih menjadi ibu rumah tangga?
"Saya sudah menikah, itu alasannya", jawab Juju sekali lagi karena kebisuan menguasai ruangan. Bahkan pemimpin acara cukup shock. Ia sepertinya berharap acara yang dibawanya menjado momen romantis yang akan menjadi buah bibir, tapi momen itu kini berubah canggung.
Usai berkata demikian, Juju kembali ke tempat duduknya. Tidak ada lagi yang memaksanya untuk bernyanyi atau apalah itu. Sementara pemimpin acara memcoba mencairkan suasana dengan memberikan lelucon dan gurauan termasuk untuk menghibur Hermas yang masih menahan rasa malunya dengan turun dari panggung sambil mengumpat kesal. Ia lalu menghilang ke balik panggung.
Ini buruk, batin Juju. Butuh waktu beberapa hari atau bahkan minggu sampai orang akan berhenti membicarakan kejadian ini. Bukan karena statusnya yang telah menikah, tidak ada yang salah dengan hal itu, beberapa orang bahkan tidak akan peduli dengan hal itu. Tapi rasa malu yang diterima kak Hermas barusan setelah upaya yang dilakukannya, itu pasti akan menjadi gosip hangat. Juju bahkan tidak peduli dengan gosip, tapi yang ia takutkan adalah jika rasa malu yang diterima kak Hermas ia ubah menjadi dendam.
Itu buruk.
***