Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Takdir Cinta Juju

Alexa_Odith
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.7k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Memasuki pertengahan bulan agustus tahun itu, musim panas semakin menyengat. Bahkan hari ini, meski baru pukul 9 pagi, teriknya sudah membuat lengan Juju memerah. Seharusnya ia menggunakan pakaian lengan panjang jika tahu cuaca akan membakar kulit seperti ini. Ia sudah dewasa, seharusnya lebih tahu merawat diri.

Juju tidak tahu, untuk mengecek daftar peserta lulus saja harus berdesakan di bawah terik matahari seperti ini. Papan pengumuman yang panitia tempelkan di dinding tepat menghadap arah matahari pagi. Perlu waktu bagi Juju untuk mencari lembaran pengumuman jurusan yang dipilihnya, Pendidikan Fisika.

Universitas Purnama memang terkenal dengan fakultas pendidikannya yang bagus. Itu sebabnya Juju mendaftarkan dirinya untuk kuliah di sini. Selain itu, ia juga tahu dari ayahnya bahwa Prayuda, suami yang ia nikahi tiga tahun lalu juga menjadi dosen di tempat ini. Meski sebenarnya Prayuda adalah dosen Kalkulus dari Pendidikan Matematika. Tapi Juju juga tahu, jurusan fisika akan tetap mempelajari matematika, karena matematika adalah alatnya fisika.

Beberapa saat kemudian Juju menemukan lembar pengumuman kelulusan ujian masuk jurusan pendidikan fisika. Tidak perlu waktu lama, Juju menemukan namanya di urutan kelima pendaftar yang lulus. Juju tidak menyangka hal itu. Di sekolahnya, ia memang terkenal pintar dan selalu juara, tapi ia tidak menyangka dengan persaingan di kota ia tetap berada di tingkat atas.

Cukup dengan pengumuman kelulusan itu, Juju berniat mengurus administrasi yang harus diselesaikan sebelum memulai semester pertamanya kuliah. Ia membalikkan badannya, melangkah menuju bagian administrasi. Tepat di saat itulah ia melihat Prayuda keluar dari ruang tata usaha.

Prayuda sedang mengangkat tumpukan berkas yang terlihat berat. Kedua tangannya memeluk erat berkas itu, tapi pintu dapat terbuka dengan sendirinya. Memberi ruang agar Prayuda lewat. Saat itulah, Juju yang melihat dari jarak lima meter menyadari ada tangan yang membukakan pintu itu. Sebuah lengan yang halus. Prayuda sempat tersenyum ke arah pemilik lengan itu. Setelah ia melangkah keluar, barulah Juju tahu pemilik lengan itu adalah seorang wanita yang mengikuti Prayuda dari belakang.

"Makasih lho Mas sudah dibantu bawain...", katanya sambil mensejajarkan diri di langkah Prayuda. Entah mereka menuju ke mana, tapi Juju sedang berdiri di pintu keluar ruang administrasi, berhadapan dengan mereka. Menyaksikan adegan singkat yang biasa itu tapi dengan aura yang dipahaminya berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa isnting wanita itu kuat kan? Saat itu insting wanita Juju sedang membunyikan alarm. Sedetik saja, dan ia bisa merasakan aura di antara Prayuda dan wanita yang kini menggelayut di lengannya.

Ketika menghadap ke arah depan, barulah Prayuda melihat seorang gadis yang sedang melihatnya. Seorang yang seperti tak asing baginya. Tapi lebih berbeda. Prayuda mengernyitkan dahinya, mencoba berpikir. Mengapa gadis itu menatapnya dingin? Apa ia mengenalnya?

Dalam sikap Prayuda yang masih berpikir, gadis itu membuang wajahnya, memasuki ruang administrasi dengan memegang sebuah map di tangannya.

"Kenapa, Mas?" Tanya Stefani. Ia terheran melihat Prayuda yang terdiam beberapa saat.

"Oh, gak apa. Itu mahasiswa baru yah?" Tanya Prayuda, menoleh kepada gerombolan pemuda-pemudi yang sibuk dengan berkas dan map yang sama-sama mengantri menuju ruang administrasi.

"Iya, hari ini pengumuman lulus ujian masuk. Makanya banyak yang langsung urus admin juga", jawab Stefani.

"Oh... Ya udah, jadi ini di bawa ke mana?" Prayuda mengangkat berkas itu.

"Ke mobilku yah, soalnya mau dibawa ke rektorat", jawab Stefani lagi. Ia adalah staf keuangan di fakultas pendidikan, meskipun rektorat hanya berjarak 1 km dari fakultas pendidikan, tapi ia harus membawa berkas yang banyak itu dengan mobilnya. Ya Universitas Purnama adalah sebuah universitas terbesar di kota S, luas kompleksnya mencapai 15 hektar dengan berbagai fakultas, perpustakaan, dan lapangan olahraga.

Setelah meletakkan berkas yang diangkatnya ke dalam bagasi mobil Stefani, Prayuda memberikan lambaian tangan pada Stefani yang sudah duduk di kursi pengemudi.

"Dah...", kata wanita itu sambil memberikan senyumannya.

Prayuda tetap berdiri di tempat parkir sampai mobil yang dikendarai Stefani keluar dari lingkungan fakultas menuju jalan raya. Ia tersenyum sendiri setelah mendapat senyuman semanis itu. Bukankah Stefani adalah wanita yang cantik? Banyak pria yang menginginkannya, tapi Prayuda selalu merasa wanita itu tidak memberi kesempatan pada pria lain selain dirinya, padahal ia sendiri sudah menjelaskan bahwa dirinya sudah terikat pernikahan dengan seorang gadis di desa.

Mengingat itu, akhirnya Prayuda mengingat gadis yang dilihatnya di depan ruang administrasi. Gadis yang dikiranya mahasiswi baru itu sangat mirip dengan foto terakhir gadis belia yang dinikahinya tiga tahun lalu.

"Apa itu Juju?" Batin Prayuda. "Yah, sudah tiga tahun berlalu. Usianya sudah hampir 18 tahun dan dia juga sudah lulus SMA, apa ia melanjutkan kuliah di sini?"

Prayuda berpikir untuk mengecek daftar peserta yang lulus ujian, tapi baru saja ia berbalik untuk meninggalkan tempat parkir, ia melihat gadis itu berdiri di belakangnya sejauh 5 meter.

Kali ini gadis itu berdiri diam, Prayuda bisa melihatnya dengan jelas. Ia hampir melupakan wajah istrinya itu, tapi sekarang ia yakin gadis itu adalah istrinya. Meski banyak berubah, gadis di depannya tentu terlihat lebih dewasa. Rambutnya tidak lagi lurus, tapi ikal. Tubuhnya lebih tinggi terlebih dengan high heels yang ia pakai. Tubuhnya sekarang lebih berlekuk dengan payudara yang besar. Dia bukan gadis kecil lagi. Hampir menjadi wanita dewasa. Hanya dalam tiga tahun perubahan fisiknya benar-benar luar biasa.

"Hai...", gadis itu tersenyum. Tidak kalah dengan senyuman Stefani, tapi gaya mereka memang berbeda. Jika Stefani wanita yang anggun dan cantik, gadis di depannya cantik dalam hal yang berbeda. Jika Stefani bagaikan seorang putri kerajaan, gadis di hadapannya seperti superhero wanita yang percaya diri. Apalagi tubuhnya yang... Ah, sudahlah. Prayuda harus meraih kesadarannya.

"Kamu kuliah di sini?" Tanyanya. Tidak membalas senyuman itu. Dan membuat Juju menghilangkan senyumannya. Ia menunjukkan ekspresi dingin yang membuat Prayuda tak paham kenapa.

"Iya, baru lulus ujian masuk", jawab Juju. Ia memang tidak memberi berita pada suaminya itu karena belum mendapatkan pengumuman kelulusannya, tapi melihat keterkejutan suaminya dalam arti yang berbeda dengan yang diharapkannya, ia merasakan sedikit penyesalan.

"Kenapa ga kasih tahu sebelumnya?" Tanya Prayuda lagi.

"Kan belum pasti diterima atau nggak, makanya saya tunggu pengumuman dulu", jawab Juju. Ia tidak bisa menahan cara bicaranya, meski sedang berhadapan dengan suaminya tetap saja ia merasa sedang berbicara dengan seorang dosen.

Prayuda melihat-lihat sekitarnya. Beberapa orang yang baru saja memarkir kendaraannya memandang mereka aneh karena berbicara dengan jatak 5 meter.

"Ayo, kita bicara di tempat lain", kata Prayuda sambil melangkah menuju mobilnya. Juju tidak memiliki urusan lain karena telah selesai mengurus administrasi, ia mengikuti langkah Prayuda.

Keduanya diam cukup lama dalan perjalanan. Suasananya benar-benar canggung. Prayuda mengemudikan mobilnya menuju sebuah restoran tidak jauh dari universitas.

"Ini restoran milik temanku", Prayuda menjelaskan sebelum memarkir mobilnya.

Dari tempat parkir Juju dapat melihat restoran itu tidak terlalu besar. Hanya sebuah gedung dengan dua lantai tapi di bagian atas seperti memiliki lantai tiga, meski hanya sebuah ruangan. Seperti sebuah rumah di bagian atap.

Restoran yang dimaksud ada di lantai satu, lantai dua hanya tempat tinggal.

Prayuda mendahului memasuki restoran itu. Konsepnya cukup unik. Bagian dapur terbuka dan berada di depan pintu masuk. Memudahkan pengunjung langsung memesan dan melihat proses pengolahan makanan. Terdapat bar di balik meja kerja koki di situ, pelanggan dapat duduk menikmati makanan sambil bercengkerama dengan koki, atau memilih duduk di meja dan kursi yang disediakan.

Karena sudah mengenal pemilik restoran itu, prayuda memilih duduk di bar.

"Biasa ya, Ren!" Katanya. Ia menunggu Juju duduk sebelum menanyakan pesanannya.

"Ada menu apa aja?" Tanya Juju pada koki. Koki itu terlihat lebih muda beberapa tahun dari Prayuda. Ia memakai seragam berwarna hitam, tertulis 'Rendi' di bagian dada sebelah kanan. Dengan tersenyum ia memberikan kartu menu yang berada di hadapan Juju.

Juju cukup malu mengetahui kartu menu sebenarnya berada di depan matanya.

"Yang ini dua... Sama ini yah...", tunjuk Juju. Membuat Prayuda dan koki bernama Rendi itu terkejut.

"Aku sudah pesan", kata Prayuda. Ia mengira Juju sedang memesan untuk dirinya.

"Iya, 'yang biasa' kan? Itu pesananku", jawab Juju santai. Prayuda dan Rendi saling bertatapan, memikirkan hal yang sama. "Dia perempuan, tapi makannya banyak!"

"Memangnya nggak ada universitas lain? Kenapa harus di sini?" Tanya Prayuda tiba-tiba. Nadanya santai, tapi itu tetap pertanyaan yang tidak diharapkan Juju.

"Saya tahu Universitas Purnama yang terbaik, lagi pula universitas swasta lain ga punya jurusan fisika", jawab Juju.

"Masalahnya... Saya dosen di sini... Apa jadinya kalau orang-orang tahu? Bisa-bisa nanti mereka bilang saya memberikan penilaian yang tidak adil ke kamu..." Prayuda menjelaskan.

"Nggak apa, saya cukup membuktikan diri aja. Lagian mata kuliah Kalkulus cuma di tahun pertama kuliah kan? Tahun depan nggak akan ada masalah lagi", Juju mencoba menjawab. Ia paham kekhawatiran Prayuda. Tapi itu hanya masalah pendapat orang lain. Yang bahkan tidak harus didengar.

"Buat kamu mungkin ga masalah, tapi karir saya bisa terganggu. Saya dosen baru... Apa jadinya kalau orang bilang seorang dosen punya hubungan dengan mahasiswinya sendiri?" Kata Prayuda. Rendi yang sedang menyiapkan pesanan mereka mendengar percakapan itu. Rendi sempat berhenti sejenak, sebelum memutuskan tidak ikut campur dengan masalah pribadi temannya itu.

"Apa itu masalah?" Tanya Juju.

"Ya. Tentu! Masalahnya karena kita menikah 3 tahun lalu saat usia kamu masih 15 tahun!" Prayuda hampir saja kehilangan kendali. Ia mulai menaikkan suaranya. Untuk menenangkan diri ia menghela nafas.

"Apa kamu nggak berpikir kalau pernikahan ini seperti main-main?" Duarr! Serasa jantung Juju meledak mendengar perkataan Prayuda. "Dengar... Kita menikah karena dipaksa dua orang kakek yang sudah meninggal, walaupun menikah, kita ga pernah bersentuhan sedikit pun! Apa salahnya...", Prayuda berpikir sejenak. "Apa salahnya kalau kita sudahi saja pernikahan ini. Toh, sejak awal kamu juga tidak setuju, orang tuamu juga malah menangis saat kita menikah! Dua kakek itu sudah meninggal sekarang, apa lagi yang perlu kita jaga? Janji mereka?" Ada sedikit kesedihan di mata Prayuda. Setahun setelah kakek Juju meninggal, begitu pula kakeknya. Mereka yang memaksa pernikahan ini justru sudah pergi...

"Tapi janji kita di depan pendeta, saya masih ingat", jawab Juju. Matanya mulai berkaca-kaca, tak menduga akan mendengar hal itu dari suaminya. Bukankah dia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi istri yang baik? Seperti pesan dari ibunya.

"Tapi kita dipaksa untuk mengucapkan janji itu!" Jawab Prayuda.

"Itu alasannya, atau karena wanita itu?" Juju mulai menemukan ketegaran hatinya. "Wanita yang di tempat parkir... Dia cantik. Semua pria akan mudah jatuh hati padanya, tapi saya tidak menyangka, seorang pria yang sudah menikah juga bisa jatuh hati dengannya". Juju bahkan tidak menoleh pada Prayuda saat berbicara.

Rendi telah meletakkan makanan yang mereka pesan, tapi Juju hanya bisa meminum jus sirsak di hadapannya. Prayuda masih terdiam, ia tidak bisa berbohong. Memang karena wanita itu.

"Saya memang masih muda, tapi saya sadar sejak saya menjadi seorang istri, hati saya sudah terikat", sambung Juju. "Tapi orang yang lebih dewasa ternyata tidak bisa seperti itu...".

"Stefani berbeda", jawab Prayuda. "Meski tidak terikat hubungan apa pun, hati kami sudah terikat". Prayuda seakan menantang Juju. Mempertanyakan ikatan mana yang paling kuat, apakah pernikahan tanpa cinta, atau cinta tanpa pernikahan.

Melihat ketegaran hati Prayuda, Juju kembali berkaca-kaca. Ia tak menyangka akan menjadi seorang janda sebelum sempat menjadi seorang istri. Tapi kembali ia menemukan kekuatan hatinya.

"Itu ga adil. Sebagai istri, saya bahkan tidak melakukan kesalahan sehingga patut diceraikan. Tapi kalau memang itu sudah keputusan, saya cuma mau berikan waktu untuk berpikir ulang...", kata Juju.

"Apa yang perlu saya pikirkan lagi?" Tanya Prayuda. Kretek! Bunyi piring ditaruh kasar pada rak piring sempat mengganggu pembicaraan.

"Sesuai perjanjian, di ulang tahun saya yang ke 18 bulan november nanti, putuskan saja pernikahan ini harus dihentikan atau dilanjutkan. Seharusnya kita memang belum bertemu. Jadi anggap saja, kita memang belum bertemu. Apapun keputusanmu saat itu, sampaikanlah kepada orang tuaku", Juju menguatkan hati untuk memakan makanan yang telah dihidangkan meski nafsu makannya telah hilang.

Prayuda berpikir sejenak. Pasti ada niat lain sehingga Juju meminta waktunya diundur. Bulan november masih 3 bulan lagi. Mungkin Juju masih membutuhkan sokongan dana untuk kuliahnya, pikir Prayuda. Selama ini ia memang mengirimkan uang setiap bulan sebagai nafkah kepada istrinya. Prayuda berpikir mungkin Juju hanya tidak bisa melepaskan sokongan finansial darinya.

"Baiklah. Hanya sampai ulang tahunmu yang ke 18. Karena itu, tolong rahasiakan hubungan kita, terlalu merepotkan untuk menjelaskan pada orang banyak situasi seperti ini", jawab Prayuda. Takk! Kali ini sebuah piring terjatuh ke meja.

"Kamu kenapa Ren?" Tanya Prayuda pada temannya itu.

"Nggak apa, tanganku licin!" Jawab Rendi berusaha tersenyum.

***