Di hari yang cerah. Matahari bersinar menyinari semesta. Daun mulai menguning dan berjatuhan ke bumi. Angin berhembus membuat beberapa daun yang berjatuhan melambai kesana kemari.
Banyak pohon-pohon besar yang jumlahnya lumayan banyak di SMA N 17 Nusantara. Banyak tumbuhan di sana-sini yang membuat sekolah tersebut begitu asri dan nyaman untuk dilihat. Hijaunya daun, warna-warninya bunga begitu indah dan hal itu merupakan salah satu fakta terbesar kenapa sekolah itu berhasil menyandang gelar Adiwiyata Mandala.
Ketika MC upacara telah menutup rangkaian acara dengan mengucapkan salam, semua siswa yang awalnya berbaris rapi di lapangan langsung dan bergerak abstrak tapi dengan satu tujuan yang sama yaitu keluar dari lapangan.
Wajar jika mereka cepat-cepat ingin masuk ke kelas karena tak tahannya sinar panasnya matahari. Apalagi untuk kaum hawa yang tak ingin kulit mereka menjadi coklat atau hitam.
Empat jam pelajaran pertama hari Senin Lisa di sekolah berjalan dengan lancar. Selain karena Lisa tidak pernah mengantuk di pagi hari, guru yang mengajar pagi itu pun adalah guru yang yang sangat Lisa sukai. Apalagi jam pertama itu adalah pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat dia gemari.
Semua berjalan sebagaimana mestinya. Setelah bel istirahat berbunyi, Lisa mulai bersiap-siap untuk keluar kelas dan menuju kantin bersama teman barunya yaitu Devi.
Lisa pernah bercerita kan bahwa saat pertama kali dia pindah ke sekolah ini dia belum mendapatkan teman satu pun atau orang yang dia kenal kecuali Juna dan keluarga Juna.
Pada akhirnya Lisa mendapat satu, yaitu Devianis atau bisa dipanggil Devi. Devi orang yang humoris, cerewet tapi menyenangkan, dia orang yang cukup masuk akal dan dia yang selalu membantu Lisa jika ia dalam kesusahan. Bisa dibilang Devi itu adalah sahabat keduanya setelah Wawa, yaitu sahabat Lisa di Jakarta.
Mereka berjalan bersama menuju kantin sambil mengobrol dan tertawa cekikikan. Sesampainya di kantin mereka melihat lautan manusia yang memenuhi kantin tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana dramanya tempat itu.
Lisa dan devi cepat-cepat mencari meja yang kosong dan mereka menemukan satu yang berada di pojok tepat di bawah pohon besar lalu mereka berdua duduk di sana.
"Lo mau makan apa?" tanya Devi saat dia sudah mendaratkan pantatnya di kursi depan Lisa.
"Gue oreo ajalah sama es teh," jawab Lisa santai. Matanya berkeliaran ke kanan ke kiri, melihat mereka yang sedang makan.
"Tumben lo pesen sedikit, biasanya juga makan banyak. Lagi diet?" tanya Devi heran, pasalnya Lisa adalah pecinta makanan. Tapi, walau pun Lisa makan banyak, dia tidak menjadi gendut. Cacingan mungkin.
"Isss, makan banyak salah, makan dikit juga salah. Serba salah aku ini dimata human." Lisa melirik Devi kesal.
"Nanyak, elah. Gitu aja ngambek." Lalu Devi berlalu pergi untuk memesan makanan untuk mereka.
"Bodo." Lisa duduk santai sambil menopang wajahnya. Dan tak sengaja mata Lisa melihat Juna dan teman-temannya yang sedang berjalan menuju meja paniang, diiringi dengan tatapan memuja para betina.
"Waahh, Juna ganteng banget!" kata perempuan yang duduk tak jauh dari Lisa.
"Iya, bahh. Emang tiap hari makin ganteng aja."
Lisa yang mendengarnya hanya memutar bola mata malas. Juna tampan sih tampan, tapi nyebelin kadang. Tak berselang lama Devi pun datang membawa makanan dan jajanan yang Lisa inginkan.
"Nih, oreo sama es tehnya."
"Thanks."
"Oh, btw. Gue liat lo pagi tadi sama Juna di halte deket sekolah. Lo berangkat sekolah bareng dia? Kok bisa lo kenal Juna? Seinget gue lo nggak ada pernah ngobrol deh sama Juna." Pertanyaan beruntun dilayangkan oleh Devi. Dia menatap Lisa dengan mata penasarannya. Dan Lisa langsung tersedak saat mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari Devi sampai - sampai buliran es teh ada yang mengenai wajah Devi.
"Iyuh, jorok bet dah lo!!!" ucap Devi kesal sambil menyeka air es teh yang ada di wajahnya dengan tisu yang ada di atas meja.
Lisa yang tak menghiraukan gerutuan kesal Devi pun berkata, "Sstt, diem! Nanti gue cerita, tapi nggak di sini."
Lisa menoleh ke kanan dan ke kiri, takut orang - orang di sekitarnya mendengar. Semenjak Lisa bersekolah di sini, dia sudah membuat perjanjian dengan Juna bahwa mereka akan berlagak tidak saling kenal jika di sekolah.
"Apa-apaan dah, kenapa, sih?" Devi masih merasa penasaran.
"Adalah pokoknya." Lisa berkata sambil mengibaskan tangannya, pertanda bahwa Devi harus mengakhiri topik pembicaraan ini.
"Ck, nyebelin. Eh, lo udah buat PR MTK belom?" tanya Devi sambil memakan nasgornya.
"Oh iya, gue belum buat. Aduh gimana, nih?" Lisa panik dibuatnya karena pertanyaan yang dilontarkan Devi. Karena dia lupa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mtk-nya, Pak Mepi. Dia adalah guru killer, tapi di sisi lain dia juga guru yang humoris.
"Aduh, mana gue juga belum buat lagi." Devi pun juga ikut panik, pasalnya dia juga belum mengerjakan PR MTK itu. Dia berencana untuk menyontek Lisa, yang pada akhirnya si empu yang dia harapkan juga belum mengerjakan.
"Cepet lo habisin tu makanan, mana dah mau bel lagi," kata Lisa dengan panik yang terpampang jelas di wajahnya yang cantik.
"Iya, iya." Devi buru-buru memakan nasgornya sampai-sampai dia tersedak.
Setelah nasgor habis hingga tak bersisa, Lisa dan Devi bergegas menuju kelas mereka dan mengerjakan PR MTK, setidaknya mereka menyonteklah dengan teman-teman yang sudah selesai.
Namun, Dewi Fortuna tidak berpihak kepada mereka hari ini. Saat Lisa dan Devi sudah menginjakkan kakinya di pintu kelas, bel masuk pun berbunyi.
Kriiing!
"Shit! Gimana nih, Lis? Udah bel." tanya Devi yang sudah duduk di kursinya sendiri. Dan yang di tanya pun juga terlihat bingung.
"Bingung gue. Kalau pun mau nyontek yang lain nggak akan sempat," jawab Lisa, dia terdengar pasrah.
Devi berusaha mengerjakan angka - angka yang ada di buku PR yang tadi dia ambil dari tasnya. Setidaknya dia mengerjakan satu soal lah, tapi karena panik, Devi tidak bisa berpikir dengan jernih. Sehingga dia hanya dapat setengah.
Tap .. tap .. tap
Terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai sekolah beriringan juga dengan irama detak jantung para murid dua belas IPS 4, terkhususnya Devi dan Lisa.
Kemudian, muncul lah guru yang diberi julukan, "mati-mati kau" atau juga salah satu guru dalam deretan guru killer di SMAN 17 Nusantara.
Seketika kelas menjadi senyap tiada suara, bahkan kepakan sayap nyamuk pun tidak terdengar. Mungkin dia tahu bahwa ada human yang tidak bisa ia lawan.
Para murid pun juga diam, tidak ada yang bersuara. Badan mereka tegap, tidak ada yang membungkuk atau selonjoran di meja, kalau tidak mau di makan oleh guru killer ini.
Suara sepatu Pak Mepi masih terdengar hingga sampai tepat di tengah - tengah papan tulis depannya para murid. Kemudia dia berkata, "Keluarkan tugas rumah yang bapak bagi minggu lalu, letakkan di atas meja masing - masing."
Para murid pun langsung mengeluarkan tugas rumah mereka. Ada yang biasa saja, itu termasuk Juna juga yang satu kelas dengannya. Ada yang wajahnya pucat karena panik, mungkin dia juga belum mengerjakan tugas dari Pak Mepi, sama seperti Lisa dan Devi.
Awalnya Lisa dan Devi juga panik, tapi melihat mereka juga mengalami hal yang sama, Lisa dan Devi pun menghela napas lega.
Hati akan menjadi tenang bukan karena kata - kata semangat ataupun penghiburan. Tapi, mengetahui jika yang lain mengalami hal yang sama, sehingga ia merasa bahwa dia tidak melakukannya sendiri.
"Untung ada yang sama seperti kita," bisik Lisa kepada Devi dengan ekspresi lega.
"Hmm, aku pun," balas Devi disertai anggukan.
Pak Mepi pun mengambil penggaris kayu andalannya, dan mulai berkeliling untuk mengecek tugas mereka.
Mereka yang mengejarkan hanya diberi anggukan oleh Pak Mepi, hal itu juga terjadi pada Juna. Tidak mungkin juga, Juna yang dikenal genius tidak mengerjakan tugas rumah. Sedangkan yang lain, yang tidak mengerjakan tugas, dipukul tangannya dengan penggaris hingga merah, termasuk Lisa dan Devi juga.
Lisa yang dipukul tangannya, mengaduh palan. "Sshhh, perih banget," ujarnya sambil mengelus tangannya lembut dan pelan serta meniup-niupnya. Devi yang di sampingnya pun juga melakukan hal yang sama.
"Tau gini gue kerjain deh tugasnya." Sesal Lisa.
"Udahlah, nasi dah menjadi bubur," kata Devi.
Di sisi lain, Juna yang memperhatikan apa yang terjadi dengan Lisa hanya mendengus pelan. 'Rasain lo.'
Juna tahu mengapa Lisa tidak mengerjakan tugasnya. Semalam, saat Juna keluar kamar dan hendak mengambil minum, dia mendengar kegaduhan yang Lisa buat. Juna mendengar suara terisak-isak dari kamar Lisa. Dia yang penasaran pun membuka kamar Lisa pelan, dan ternyata Lisa sedang menangis sambil menonton drama korea. Lalu Juna menutup pintu kamar Lisa.
'Menggelikan'
Satu kata yang ada di benak Juna saat itu. Dan Juna yakin, Lisa tidak mengerjakan tugas rumah besok karena sibuk dengan kegiatannya yang sia - sia. Lagi pun, malam itu sudah pukul setengah satu malam. Pastinya setelah menonton drakor, Lisa bakal tidur dan tidak memikirkan jadwal besok.
Kemudian, Juna melanjutkan tujuannya keluar kamar tadi, yaitu mengambil minum di dapur.
Dan inilah hasil yang Lisa dapat, akibat kemalasannya.
***
Jam pelajaran terakhir. Lisa dan teman - teman kelasnya sedang mengerjakan soal - soal ulangan harian pelajaran sosiologi. Beberapa menit kemudian, bel pulang berbunyi.
Kring! Kring!
Pertanda juga waktu ulangan harian sosiologi juga berakhir.
"Kumpulkan kertas ulangan kalian sekarang." Suara serak khas yang dimiliki Pak Deni, guru mata pelajaran sosiologi berkepala empat yang sangat terkenal dengan sikap jujur, toleran dan tegasnya itu mengisi ruang kelas IPS 4.
Para murid bergegas mengumpulkan kertas ulangannya. Ada yang senang karena selesai mengerjakan lalu pulang, ada pula yang mengeluh pasrah karena ada beberapa soal yang belum terisi. Lalu mereka keluar kelas untuk pulang.
"Dan Lisa."
Tiba-tiba suara serak Pak Deni memanggil Lisa. Dia langsung mengerjap seraya langsung menegakkan tubuhnya karena kaget, "I-iya, pak?" jawab Lisa terbata.
"Ke ruangan saya setelah ini," ujar Pak Deni.
Lisa menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya sambil mengangguk pelan. Devi yang di sampingnya pun menyenggol tangan Lisa pelan seolah bertanya 'Apa yang terjadi?'. Lisa menoleh kearah Devi dan menggelengkan kepalanya pelan pertanda bahwa dia tidak tahu.
Setelah Pak Deni keluar kelas, Devi langsung bertanya kepada Lisa. "Lo kenapa? Kok lo bisa dipanggil Pak Deni suruh ke ruangannya?"
"Gue nggak tahu. Tapi, sepertinya gue ketahuan nyontek deh, saat ulangan tadi." kata Lisa dengan suara pelan sarat akan penyesalah atas tindakan yang ia lakukan.
"What the hell?! Kok bisa? bukannya lo dah belajar?" Tanya Devi kaget.
"Belum, boro-boro belajar buat ulangan sosiologi, tugas matematika aja belum gue kerjain."
'Gara - gara nonton drakor semalam, sih.' rutuk Lisa dalam hati.
"Ya udah, gue temenin lo keruangannya Pak Deni."
"Nggak usah, lo pulang duluan aja. Gue sendirian aja ke ruangannya Pak Deni."
"Tapi lo nggak apa-apa, kan?"
"Selow, lo pulang aja. Gue nggak apa-apa."
"Ya udah kalau gitu gue pulang duluan, ya. Bye." Devi pun berlalu pergi dan Lisa juga berjalan menuju ruangannya Pak Deni.
Di ruangan Pak Deni.
"Ada yang bilang sama bapak kamu mencontek saat ulangan tadi." Kalimat yang dilontarkan oleh Pak Deni itu langsung menohok Lisa ketika dia sudah berdiri di hadapannya. Bagaikan disambar petir, wajah Lisa pun langsung sedikit pucat.
Seperti orang kebanyakan, Lisa pun menyangkal nya. "E-enggak kok, Pak."
Pak Deni tertawa pelan. "Jangan bohong. Saya enggak suka orang yang suka nyontek. Tapi saya lebih enggak suka lagi orang yang suka bohong. Lebih baik kamu jujur sama bapak, kamu nyontek atau enggak?"
Lisa menelan ludah, merasa butuh oksigen. Menegangkan sekali rasanya hanya berdua di dalam sebuah ruangan bersama guru di depannya ini. Lisa menundukkan kepalanya dalam dan akhirnya dia mengaku. "I-iya, Pak."
Pak Deni menggelengkan kepalanya. "Kamu tahu nilai itu bukan nomor satu untuk saya, yang penting itu adalah kejujuran, Lisa."
Lisa mengangguk pelan. "Saya minta maaf, Pak. Saya nggak akan mengulanginya lagi."
"Tapi saya nggak percaya. Sudah banyak para siswa yang berkata seperti apa yang kamu katakan, tetapi mereka mengulanginya kembali," jawab Pak Deni cepat.
Lisa lagi lagi menelan ludahnya, tenggorokannya sudah terasa kering bagai di padang pasir. "Saya janji, Pak."
Pak Deni mengangguk lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari dalam laci mejanya. "Ya sudah, saya pegang janji kamu. Tetapi, kamu tetap tidak bisa bebas dari hukuman mencontek yang kamu lakukan hari ini."
Lisa hanya membalas dengan anggukan takut.
"Kita tadi ulangan apa, Lisa?" tanya Pak Deni.
"Anu, pak. Eeee, integrasi dan reintegrasi sosial sebagai upaya pemecahan konflik sosial dan kekerasan." jawab Lisa.
"Baik, sekarang kamu ke perpustakaan dan rangkum semua materi tentang materi ulangan harian tadi dari yang paling dasar. Saya tunggu di sini sampai kamu selesai," kata Pak Deni sembari menyerahkan buku catatan kecil yang dia keluarkan tadi.
Lisa mengambilnya dan mengangguk sebelum berpamitan dan keluar dari ruangan Pak Deni. Hukuman yang sangat bagus, setidaknya begitu bagi Lisa, karena kebetulan Lisa hobi menulis.
Perempuan itu berjalan menuju kelasnya untuk mengambil tas dan membereskan buku-bukunya. Di ambang pintu, dia berpapasan dengan Juna yang sedang berjalan keluar.
"Lo kan yang laporin ke Pak Deni kalau gue nyontek saat ulangan tadi?" ujar Lisa cepat yang dibalas tatapan datar oleh sang empu yang diajak bicara.
"Jun, gue tau lo benci sama gue. Tapi nggak harus gini, kan? Lo kan tau gue bego, bodoh. Gue nyontek pun nggak akan ngalahin nilai lo kok. Lo kena-" merepet janda si Lisa, tapi belum selesai Lisa merepet, sudah di potong Juna.
"Lo ngomong apa, sih?"
Lisa mengerjap matanya pelan, tatapan Juna benar-benar terlihat seperti dia tidak tahu apa-apa. Tapi Lisa tahu kalau bukan Juna, siapa lagi? Devi pun juga tidak mungkin karena dia sahabatnya. Hanya Juna yang dia kenal setelah Devi di sekolah ini.
"Jangan sok polos, gue nggak nyangka kalau sebegitu bencinya lo sama gue."
"Apa, sih? Gue nggak ngerti apa yang lo bilang."
"Udah lah, kalau maling ngaku penjara dah penuh, Bro"
Juna menggeleng-gelengkan kepalanya, dia masih tidak mengerti maksud yang bisa bicarakan oleh Lisa.
"Udahlah, sana lo balik aja." Lisa berkata ketus kepada Juna.
"Nggak mau bareng? Gue tunggu di halte dekat sekolah kayak biasa."
Memang begitu, Lisa akan naik-turun di sana agar tidak ada murid yang curiga kalau Lisa dan Juna sebenarnya saling mengenal. Itu lah yang nantinya akan Lisa ceritakan kepada Devi.
"Berkat lo, gue harus ngerangkum materi tentang ulangan tadi." Lisa mengangkat buku catatan kecil yang diberikan Pak Deni dan menunjukkannya tepat di depan wajah Juna.
Juna hanya mengangkat bahu tidak peduli. "Ya udah gue balik," katanya seraya melewati Lisa dan berjalan begitu saja tanpa menghiraukan gerutuan Lisa.
"Bodo amat!" teriak Lisa kesal.
***
Perempuan imut dengan poni itu keluar dari ruangan Pak Deni sambil meregangkan jari-jari tangannya yang seolah mati rasa karena dipakai menulis terlalu lama hingga berbunyi,
Kratak! Kratak!
Lisa mengambil ponselnya di dalam saku untuk melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 18.30. Dia tidak pernah berada sampai sesore ini di sekolah. Bahkan, di sekolahnya yang lama, ketika bel berbunyi dia selalu langsung pergi dan pulang ke rumah.
Lisa menghela napasnya dan berjalan ke pintu utama, dengusan kesal langsung keluar dari mulutnya ketika dia melihat tetesan demi tetesan air yang menerjang tanah tanpa henti.
"Haish, kenapa hujan, sih?" gumam Lisa kesal. "Gue nggak bawa payung lagi."
Matanya memandang kosong hujan yang turun, lalu matanya bergulir menatap parkiran yang hanya terdiri dari dua motor dan tiga mobil, mungkin milik para guru yang sedang lembur.
"Sial beut deh gue hari ini." Kesal Lisa sambil mengambil ponsel yang berada di sakunya. Terpaksa, Lisa harus menghubungi Juna. Dia tidak punya pilihan lain.
Lisa mencari kontak Juna dan segera menghubunginya. Lalu terdengar bunyi ...Tut tut, pertanda sudah terhubung.
"Hmm." Suara dari seberang ponsel yang terdengar malas.
"Jemput gue." Singkat, padat, dan tidak jelas.
"Dih, pulang aja sendiri." Lisa yang mendengar ini merasa semakin kesal pada Juna. Tapi apalah daya, hanya Juna satu-satunya harapan agar Lisa bisa pulang. Jadi, dia menahan diri.
"Please, ini soalnya dah sore. Masa iya gue pulang jalan kaki, kan jauh dari sekolah ke rumah. Apa iya lo tega sama gue?"
"Dih, jijik gue dengernya. Ya udah, gue jemput." Akhirnya Juna pun menjemput Lisa di Sekolah.
***
Saat Juna di rumah.
Juna mengetukkan jarinya di atas meja ruang tamu. Matanya lagi-lagi melirik jam tangan hitam di pergelangan tangannya, Entah untuk yang keberapa kali.
Entah karena dirasuki setan macam apa, ketika hujan turun, dia tanpa pikir panjang mengambil kunci mobil dan ingin kembali ke sekolah. Saat dia akan mengemudikan mobilnya, Juna diam seperti tersadar dari apa yang dia lakukan sekarang.
Juna pun bimbang, antara dia menjemput Lisa atau kembali masuk ke dalam rumah. Sehingga dia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Dia berencana untuk menunggu telepon dari Lisa saja.
Tak berselang lama Juna mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu, ponsel yang di atas meja pun bergetar pertanda ada telepon masuk dan nama yang tertera di sana adalah nama dari Lalisa Ayunda. Lalu dia mengangkatnya. Inti dari pembicaraan mereka berdua adalah Lisa meminta Juna menjemput dirinya di sekolah. Juna setuju dan akhirnya dia menjemput Lisa.
***
Batam, 25 Juni 2020