Entah berapa kali aku sudah mengerjapkan kedua mataku lalu meraba punggungku dengan jari-jari tanganku. Sesaat aku berpikir ini hanya mimpi, tapi tidak pernah ada mimpi yang sejelas dan senyata ini.
Kualihakan pandanganku ke lantai kamar mandi selama beberapa saat sambil mengatur nafasku yang menderu dan jantungku yang mulai berdebar keras. Seluruh tubuhku juga tidak terasa sakit lagi, tidak ada sedikitpun rasa nyeri yang tersisa.
Kukenakan kaos longgarku lagi dengan terburu-buru, karena perban yang membalut punggungku sebelumnya dikaitkan hingga ke bagian dadaku jadi aku tidak bisa menggunakan bra.
Aku berjalan agak terhuyung karena kepalaku masih berusaha mencari penjelasan yang masuk akal. Lorong di depan kamar yang kutempati masih terasa sepi sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku bisa mendengar beberapa suara yang mengobrol di ruang makan dan komunal di lantai satu. Tapi aku berbelok menaiki tangga ke lantai tiga.