"Eh tumben jam segini udah bangun," komentar Kanaya sedang duduk melantai di atas karpet pada ruang tengah.
Aku memutar bola mataku malas, berjalan terus menuju dapur untuk mengambil secangkir teh yang ada dalam poci yang sudah mulai dingin. Memang benar bahwa bangun pagi pada akhir pekan adalah sesuatu yang langkah bagiku.
"Kau juga tumben," balasku duduk di sofa yang terdapat di belakang Kanaya. Bahkan kakak perempuanku itu memakai sofa untuk bersandar.
Kanaya menghela napas sejenak. "Kau akan mengerti jika sudah tamat SMA nanti," ujarnya kemudian menggerakkan tangan di atas keyboard laptop miliknya.
Aku bisa melihat Kanaya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dalam bentuk powerpoint. Wajahnya yang serius dengan cokelat di atas meja untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu.
"Selamat pagi Ayah," sapaku melihat ayah keluar dari kamar dengan memakai baju kaus dan celana olahraga pendek.
"Oh pagi Kiran. Kenapa sudah bangun?" tanya ayah sambil menyungging senyum.
Aku mendengus pelan. "Ayah mau ke mana?"
"Oh ini mau main tenis sama Evan."
Aku langsung bangkit dari sofa dan berjalan mendekati ayah. "Benarkah? Kiran boleh ikut?"
Tanaka--ayahku memandangku dengan heran. "Kau tahu cara mainnya?"
Aku menggeleng pelan. "Enggak, cuma daripada Kiran balik lagi ke kamar dan tidur."
"Mending kau menyelesaikan tugas sekolahmu daripada kelayapan di lapangan tenis," sahut Kanaya membuatku menatapnya tajam seketika.
Suara khas Tanaka tertawa mulai terdengar. "Baiklah, ayah akan menunggumu di mobil jadi bersiaplah."
"Oh yeah!"
Aku dengan sigap berlari masuk kembali ke dalam kamar untuk mengganti celana pendek yang kupakai dengan celana olahraga dan juga memakai jaket. Tidak ada yang tahu bahwa keinginan pergi ke lapangan tenis pagi ini sebenarnya adalah rencana yang telah kususun sejak tadi malam.
Hal itu bermula ketika Evan datang ke rumah membelikan kami pizza dan berbincang dengan Tanaka perihal olahraga tenis yang ternyata menjadi hobi keduanya. Mulai setelah itu, aku mulai menyetel alarm untuk bisa bangun pukul enam pagi, lalu setelahnya meyakinkan diriku untuk pergi ke kamar mandi.
Yah, aku telah mandi dan hanya berkamuflase seolah baru bangun tidur. Itu semua agar Kanaya tidak mencurigaiku. Sentuhan terakhir yang kuberikan sebelum keluar kamar adalah menyemprotkan pewangi pakaian yang biasa digunakan untuk menyetrika. Sebenarnya aku bisa saja memakai parfum langsung, tetapi sepertinya akan tercium seolah tidak alamiah.
"Di sana juga ada jogging track jadi kau bisa sekalian olahraga," ujar ayahku begitu aku masuk ke dalam mobil.
Aku hanya tersenyum kikuk membalasnya. Ayolah, aku tidak akan berkeringat dan hanya fokus berlari untuk ke sana. Itu bukan tujuan utamaku.
Lokasi di mana lapangan tenis berada mulai terlihat. Tanaka mulai memarkir mobilnya dengan hati-hati. Setelah mematikan mesin mobil, kami berdua segera keluar.
"Wah ternyata ramai," gumamku menyadari bahwa tempat yang biasa didatangi ayahku bukan sekadar untuk bermain tenis saja. Ada beberapa permainan olahraga, termasuk basket dan voli.
"Om Tanaka."
Suara seruan Evan membuat badanku segera berbalik dan menemukan lelaki itu dengan pakaian serba hitam sambil memegang raket.
"Kak Evan," panggilku begitu lelaki itu berdiri di hadapanku dengan dahi mengernyit.
"Kiran, kau juga bermain tenis?" tanyanya terlihat penasaran.
Aku tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Belum, sebenarnya mau, cuma belum bisa."
Kulihat ayah yang juga telah memegang raket mengarahkan Evan segera menuju lapangan tenis sebelum dipakai orang lain. Aku pun hanya menghela napas, berpikir bahwa kesempatan untuk bicara lebih lanjut dengan Evan bisa kulakukan nanti setelah mereka berdua selesai.
"Kiran?"
Mataku melebar mendengar suara familier yang berasal dari bagian belakang. Perlahan aku berbalik badan dan terkejut dengan kehadiran Fahmi di tempat ini juga.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyanya berjalan mendekatiku.
Aku berusaha tidak melibatkan emosiku waktu itu ke masa sekarang. "Yah olahraga," jawabku sekenanya.
Fahmi tertawa pelan. "Dulu sewaktu kita masih bersama, kau tidak pernah mau kuajak ke tempat seperti ini."
Aku melongo tidak percaya bahwa Fahmi.masih membahas tentang masa lalu kami. "Kalau begitu kau bisa mengajak Soraya, atau ya mungkin kekasihmu."
"Apa kau cemburu dengan Soraya?"
Mataku membulat mendengar ucapan Fahmi dengan teorinya yang sangat salah besar itu. "Apa? Cemburu?" Kaki bahkan sedikit melangkah ke depan agar tidak didengar oleh orang lain. "Ayolah Fahmi, kurasa kita mengakhirinya cukup baik bukan? Kurasa konsep cemburu tidak akan berlaku."
Baiklah aku tidak bisa mengatakan bahwa hubunganku dengan Fahmi berakhir dengan baik-baik saja. Karena jika memang baik, kenapa harus berakhir? Tetapi meskipun dapat kukatakan Fahmi bermain di belakangku bersama Soraya ketika kami masih berstatus pacaran, aku masih sudi untuk bicara dengannya.
Fahmi terdiam untuk sesaat. Dia kemudian menarik napas. "Baiklah, lalu kau datang dengan siapa?"
Aku reflek berbalik badan untuk menunjuk ayahku. Namun ketika tanganku sudah terangkat, pandanganku malah bertemu dengan Evan. Lelaki itu bahkan memgulas senyum kepadaku sambil melambaikan tangannya.
"Kau datang dengan pria itu?"
Sadar bahwa masih ada Fahmi membuatku kembali menghadap ke lelaki tersebut. "Ya, kami datang bersama," balasku berbohong.
"Kau tidak punya saudara laki-laki dan kulihat dia sudah cukup tua," balas Fahmi terlihat melirik ke arah Evan.
Apa tua?
Jika saja aku tidak sadar bahwa Evan bisa saja melirik ke arahku, maka sudah kujitak dahi Fahni berani berkata bahwa Evan itu tua.
"Ya, dia memang bekerja. Sudahlah, kau lanjutkan olahragamu. Aku mau ke sana," ujarku berusaha menahan diri dan mulai beranjak pergi.
"Kiran," seru Fahmi menghentikan langkahku dan berbalik.
"Ya?"
"Terima kasih untuk segala dan maaf."
Mendapat ucapan tiba-tiba seperti itu membuatku hanya menganggukkan kepala dengan pelan. Kulihat Fahmi mulai berjalan pergi menuju lapangan basket.
Aku pun mulai berjalan dengan semangat menuju lapangan tenis dan duduk di sebuah bangku panjang yang terdapat di pinggir lapangan. Jika tadi Evan dan Tanaka hanya bermain solo, maka kulihat sekarang mereka mulai bermain duo melawan dua orang lainnya.
Radar mataku seolah telah tertanam dalam setiap pergerakan Evan yang begitu lincah ketika memukul balik bola tenis dengan raketnya. Meskipun begitu lelaki itu tetap memberi kesempatan kepada ayahku untuk beraksi.
Aku yang teringat sesuatu kemudian bangkit menuju ke tempat penjual minuman. Membeli dua botol air mineral dingin dan ketika telah kembali, Evan dan ayah sedang jeda istirahat. Pas sekali waktunya.
"Ini untuk kalian," ujarku memberi air mineral tersebut.
Ayah tertawa pelan. "Wah benar-benar putri ayah ini pengertian."
Mendengar pujian itu membuatku melirik Evan yang mana lelaki itu hanya tersenyum simpul, lalu mulai membuka penutup botol air mineral. Ketika mulut lelaki itu mulai menegak air dengan posisi kepala sedikit ditegakkan ke atas, aku seolah tersihir oleh bagaimana air itu bergerak turun seiring dengan gerakan otot leher Evan. Belum lagi keringat yang masih menetes dari wajah lelaki itu.
Ya ampun Kiran sadarlah!!
"Raka!"
"Kenapa itu?"
"Kayaknya ada yang pingsan."
"Jantungnya berhenti ini!"
Seruan orang-orang mulai terdengar. Aku yang berusaha menghilangkan pikiran anehku kepada Evan mulai mencari sumber suara tersebut. Dan terlihat kerumunan orang-orang.
"Sepertinya ada yang tidak sadarkan diri. Evan, tolong antar Kiran pulang. Aku akan berusaha membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Kurasa berisiko menunggu ambulance," ujar ayahku dengan terburu-buru kemudian berjalan cepat untuk membela kerumunan.
Samar-samar aku bisa melihat ayah mulai berusaha melakukan resusitasi jantung paru atau biasa juga disebut CPR. Namun pandanganku teralihkan begitu sebuah tangan menepuk bahuku.
"Ayo kita pulang," ajak Evan menatapku dalam.
Aku yang tersihir oleh tatapannya, hanya bisa mengangguk pelan dan mulai mengikuti langkah kaki lelaki itu menuju parkiran. Sebelum meninggalkan tempat itu, bisa kulihat orang-orang mulai mengangkat pria yang tak sadarkan diri itu ke mobil ayahku. Aku hanya berharap bahwa pria itu akan selamat.
Glurr
Glurr
Mataku membulat begitu suara perutku terdengar. Aku menoleh perlahan ke samping dan bisa melihat Evan kini menatapku serius yang kemudian lelaki itu tertawa.
"Kau pasti lapar bukan? Sepertinya kita butuh mengisi perutmu," ujarnya menyungging senyum.
Aku hanya tersenyum masam. Sialan, kenapa perutku harus meminta makan sekarang? Ouh, betapa malunya aku sekarang ini.
Aku tidak terlalu banyak bicara, masih berusaha menutupi rasa maluku di hadapan Evan. Namun kulihat mobil berhenti di sebuah resto & kafe, tunggu … berarti ini makan perdana kami berdua? Ternyata tidak terlalu buruk juga akibat dari suara perutku.
Aku dan Evan masing-masing memesan bakmie dibandingkan harus makan nasi. Lagipula jam masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Masih bisa makan siang nantilah. Duduk saling berhadapan, membuatku merasa sedang berkencan dengannya. Indahnya, jika bisa sering seperti ini.
Kulirik mangkuk Evan yang hampir habis, namun sebelum benar-benar menghabiskannya, ponselnya berbunyi. Sebelum mengangkat telepon tersebut, lelaki itu menyeruput es lemon tehnya terlebih dahulu.
"Ya Haikal?"
Aku yang sambil berusaha menghabiskan bakmie di depanku, juga melirik diam-diam melihat Evan yang sedang menempelkan ponsel pada telinganya.
Evan menghela napas, seraya memejamkan mata singkat. "Apa maksudnya kau menghilangkan file berisi konsep gambar pada konstruksi proyek pembangunan kondominium?" Raut wajah santai yang selalu kulihat kini berubah menjadi dingin. Bahkan aku bisa melihat kilatan amarah pada kedua mata lelaki tersebut yang kini menatap vas bunga kecil di meja.
Aku menegak salivaku begitu melihat Evan meremas sumpit ditangannya yang sepertinya masih mendengar penjelasan dari pria bernama Haikal tersebut.
"Segera temukan filenya kembali dan selesaikan masalah ini atau," ujar Evan berhenti sejenak. Mata lelaki itu menatapku dengan kalimat terputusnya. "Berikan aku surat pengunduran dirimu hari senin."
Tut.
Evan memutus panggilan secara sepihak, lalu kembali menatapku. "Aku ini orangnya perfeksionis Kiran," ujarnya seolah menjelaskan kepadaku. Pandangannya masih belum beranjak ke mataku.
Kenapa peringai Evan bisa begitu berubah dari yang selama ini kukenal ramah menjadi lelaki yang galak dan menakutkan seperti tadi?
Anehnya lagi, jantungku malah berdetak lebih cepat, apalagi ketika ditatap seperti sekarang.
***