Aku membuka mataku dengan sebuah senyuman. Bagaimana tidak, bertemu dengan Evan dan mengetahui kepindahan lelaki itu ke depan rumahku adalah salah satu kejutan terbesar tahun ini. Aku menaruh tangan di atas dada sebelah kiriku dan merasakan degupan jantungku kala membayangkan kembali suara, tatapan dan senyuman Evan kemarin.
"Sungguh indah ciptaanmu Tuhan," gumamku menggambarkan sosok Evan.
Aku segera bangkit dari tempat tidur. Biasanya untuk hari senin, selasa dan rabu, diriku merasa tidak terlalu bersemangat. Selain akhir pekan yang masih lama, pelajaran pada hari-hari itu juga berat. Namun melihat tanggal di kalender yang menunjukkan hari rabu, rasanya tidak semengerikan minggu-minggu kemarin.
Setelah mandi dan berpakaian lengkap, aku mengambil tas ransel berwarna merah polos yang semalam kuganti dengan tas ransel dengan motif bunga.
"Selamat pagi," sapaku kepada ayah dan Kanaya yang telah berada di depan meja makan.
"Kiran, cepetan duduk. Ayahmu bisa terlambat ke rumah sakit," ujar ibu membuatku segera melakukannya.
Kanaya mulai memakan nasi goreng dengan sebelah tangan masih sibuk memegang ponsel. Aku bisa melihat bagaimana perempuan itu begitu terburu-buru seperti biasanya.
"Oh sudah ada teman di luar." Kanaya bangkit, lalu meminum segelas air putih. "Aku pergi duluan," ujarnya sambil berjalan cepat menuju bagian depan.
Aku hanya menggelengkan kepala, kulirik ayahku yang tampak berusaha menghabiskan nasi goreng di depannya. "Ayah, jadi Kak Evan sudah ada di rumah depan?" tanyaku pelan.
Tanaka, ayahku menatapku sekilas. "Belum, nanti sore baru datang beserta perabotan rumahnya."
Ibuku menggantikan Kanaya untuk duduk. "Kalau begitu kita undang saja Evan untuk makan malam bersama," ujarnya membuat mataku sukses membulat.
"Benar, benar. Pasti Kak Evan lelah habis berbenah," ujarku kemudian melanjutkan makanku seolah sekadar berkata setuju.
Kulirik ayah tampak berpikir sejenak. "Baiklah, nanti aku coba hubungi dia."
Yes! Sorakan dalam diriku tidak terbendung lagi.
Kak Evan bakal datang ke rumah. Pikiran itu terus bersarang dalam kepalaku, bahkan hingga aku telah sampai di sekolah.
"Daritadi senyum sendiri, lagi bahagia ya?" Ruri datang sambil mengemut permen kaki setelah masuk ke kelas.
Aku yang begitu tiba di sekolah hanya duduk bertopang dagu di dalam kelas. "Enggak, kulihat tasmu sudah ada. Darimana aja?"
Ruri yang berdiri di depan mejaku mengubah posisinya dengan duduk di sebelahku. "Oh itu, bahas serial drama terbaru."
"Drama Korea?" tanyaku memastikan.
"Bukan, bukan. Tapi drama TV Amerika gitu, entar malam nonton yuk di rumahku, sekalian kerja tugas matematika," ajak Ruri menyenggol lenganku.
Aku menoleh menatapnya sambil tersenyun lebar. "Enggak bisa, nanti malam ada tamu spesial."
Alis Ruri terangkat bingung. "Siapa? Keluarga jauh."
"Ada deh," balasku sok misterius. Aku belum ingin cerita apa-apa soal Evan kepada Ruri. Nanti setelah aku dan Evan telah bersama untuk beberapa waktu.
Bel tanda apel pagi kemudian membuat mood-ku sedikit terganggu. Pasalnya rutinitas setiap pagi itu hampir sama halnya dengan upacara. Bedanya aku masih bisa memaklumi upacara yang diadakan satu kali seminggu sebagai tanda penghormatan kepada pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan. Namun apel pagi berbeda, kegiatan itu seolah menguras setengah dari tenaga tubuhku.
"Eh, eh tahu gak Tia? Katanya pacaran sama mahasiswa semester lima loh."
Barisan antar kelas yang berdempet membuatku dengan mudah mendengar obrolan dari murid kelas lain. Terutama para murid perempuan yang senang berbisik-bisik bahkan ketika seorang guru sedang memberikan petuahnya.
"Gila, itu sih sudah tahun ketiga kuliah. Gak ketuaan buat Tia."
"Aku juga pernah bilang gitu sama dia. Tapi katanya Tia pacaran sama yang lebih dewasa itu bikin nyaman. Lebih perhatian, pengertian dan kalau cemburu katanya gemesin gitu."
Aku tersenyum diam-diam mendengarkan percakapan mereka. Tanpa sadar, aku mulai membayangkan bagaimana jika berkencan dengan Evan. Apakah lelaki itu juga akan perhatian padaku?
Akhirnya sepanjang apel pagi hari itu, aku hanya bisa memasang kuping agar bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Terutama fakta bahwa Tia duluan yang berjuang untuk bisa pacaran dengan mahasiswa tersebut. Belum sempat mereka bicara tentang cara Tia menaklukkan lelaki itu, namun apel pagi telah selesai dilakukan.
Aku pun langsung mengeluarkan ponselku dan menuju ke aplikasi laman pencarian dan mengetikkan sesuatu di sana.
Cara membuat pria yang lebih tua jatuh cinta.
Bibirku tak henti-hentinya melengkung ke atas mana kala mulai membaca satu per satu artikel yang ada.
"Hei."
Namun hal tersebut harus terusik oleh seruan seseorang yang membuatku hampir masuk ke dalam kelas, menjadi terhenti dan memandang ke depan.
"Deril?" seruku mengernyit melihatnya berjalan ke arahku. Membuat perhatian teman satu kelasku, maupun murid lain yang lewat menjadi memandangku ataupun Deril.
"Ada apa?"
Deril menghela napas singkat. "Buku catatan fisikaku," ujarnya membuka telapak tanganku.
Sebelah tanganku menutup mulut, sedangkan satunya lagi masih memegang ponsel. "Aku lupa. Bukan, ketinggalan di tasku yang satunya. Semalam aku mengganti tas," balasku berkata jujur sekaligus mengingat buku milik Deril tersebut.
Aku memang tidak lagi mengeluarkan barang-barang dari tasku
Kulihat mata Deril terbelalak. "Apa? Kau bilang akan membawanya hari ini."
Aku mendengus pelan. "Ya namanya juga lupa. Terus gimana dong?"
Deril menyeringai sesaat. Membuat perasaanku seketika tidak nyaman. "Kalau begitu aku akan mencatatnya pada kertas biasa, jadi … kau akan mencatat ulang ke buku catatanku padamu."
"Apa!"
Suaraku sedikit keras saat memprotes ucapan Deril. Aku saja kadang terlalu malas untuk mencatat contoh soal pada papan tulis, apalagi menuliskan catatan orang lain. Mataku kemudian melebar begitu Ruri berjalan ke arah kami.
"Kau harus bertanggungjawab atas apa yang kau katakan kemarin, ingat janjimu," ujar Deril yang mungkin telah didengar oleh Ruri.
Aku memasang senyuman palsu. "Okay, aku akan melakukan. Kau boleh kembali ke kelasmu, karena sebentar guru juga akan datang," balasku lalu menarik tangan Ruri.
Dan bisa dibayangkan bagaimana hariku selama di kelas yang selalu dilempar pertanyaan oleh Ruri seputar hubunganku dengan Deril.
Aku mengira ucapan Deril hanya isapan jempol belaka. Namun ternyata aku salah, lelaki itu kini berdiri di depan kelasku dengan wajah datarnya. Sepertinya kelasnya selesai terlebih dahulu. Yang membuatku kini menghela napas panjang adalah lirikan teman satu kelasku yang seolah menegaskan bahwa aku dan Deril memiliki semacam hubungan spesial.
Begitu bel pulang berbunyi dan guru keluar dari kelas. Segera aku berjalan keluar menuju Deril, sebelum teman satu kelasku, utamanya yang laki-laki akan bersiul menggoda kami.
"Mana kertasnya?" Aku membuka telapak tanganku terburu-buru.
"Kau tidak ingin kuantar pulang lagi?" balasnya sambil mengeluarkan tiga lembar penuh catatan.
Aku merebut dari tangan Deril dengan cepat, lalu memasukkannya ke dalam tasku. "Tidak, makasih ajakannya. Besok akan aku kembalikan, bye."
Aku berjalan dengan cepat sebelum Ruri akan mencecarku dengan pertanyaan lagi. Taksi daring menjadi pilihanku untuk pulang sekolah. Untung saja bayangan wajah Evan membuat pikiranku teralihkan. Aku segera melanjutkan membaca artikel yang sempat kutinggalkan tadi, karena kedatangan Deril. Waktupun berlalu tanpa terasa, hingga aku telah sampai di depan rumah.
Pukul tiga sore, aku melirik sekilas rumah yang berada persis di depan rumahku yang tampak masih kosong, berarti Evan belum datang berbenah. Tidak ingin lelaki itu melihatku dengan keadaan kucel sepulang sekolah seperti sekarang membuatku segera masuk ke kamar.
Aku yang biasanya akan mandi sore pada sekitar jam lima, kini telah menuju kamar mandi. Salah satu tips dari artikel yang kubaca adalah bahwa pria yang sudah dewasa akan menyukai perempuan yang bersih dan wangi.
"Loh?" Ibuku bahkan heran melihatku telah berganti pakaian dengan wajah cerah sehabis mandi.
"Kiran mandi cepat, soalnya gerah banget. Ibu lagi masak?" ujarku dengan sebuah alasan klasik. Aku berjalan menuju kulkas untuk mengambil segelas air dingin.
"Iya lagi persiapin bahannya, kan mau undang Evan nanti buat makan malam bareng. Ayahmu juga mau ajak dia ngopi dan cerita tentang sahabatnya," balas ibuku menjelaskan.
Aku tersenyum mendengarnya. Namun bayangan Deril melintas dalam pikiranku mengenai kertas yang diberikannya tadi membuatku menggerutu dalam hati. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengerjakan catatan Deril sambil menunggu datangnya makan malam.
Mengapa hal tersebut kulakukan? Karena aku tidak ingin melewatkan momen sedikitpun dengan Evan dengan harus mengerjakan catatan Deril pada malam hari nanti. Untuk mempermudah pemantauanku terhadap kedatangan Evan di rumah depan, aku bahkan membawa kertas, buku catatan Deril dan tempat pensilku ke ruang tamu.
Ketika aku melihat kertas yang berisikan tulisan Deril, seketika diriku terdiam sesaat. Kenapa tulisan lelaki itu begitu bagus? Seolah seperti hasil ketika font yang terdapat pada aplikasi pengolah kata. Namun aku tidak ingin memikirkannya lebih jauh untuk bisa segera menuntaskannya.
Tepat hampir sejam setelah aku menulis, namun catatan yang sebagian besar berisikan rumus dan angka tersebut, belum juga selesai. Aku bahkan lupa untuk mengintip melalui jendela ruang tamu untuk melihat apakah rumah depan sudah kedatangan Evan atau belum.
Cklek!
Aku mendengar suara pintu terbuka. Ah, pasti ayah baru saja pulang. Aku segera bangkit dan berdiri akan menyambutnya. Namun mataku melebar begitu melihat sosok Evan yang datang. Aku melirik jam dinding dan masih menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit, apa ini? Bahkan masih ada dua jam sebelum makan malam.
"Kak Evan," seruku pelan.
Evan tersenyum singkat. "Tadi Om Tanaka menghubungiku untuk bisa menunggu di sini, lagipula rumah masih kotor. Rencana nanti mau panggil orang buat bersihinnya."
"Oh, kalau begitu silakan duduk di sini." Tunjukku pada sofa depanku. Namun Evan malah duduk di sofa bagian belakangku. Sofa yang kubelakangi ketika duduk melantai sambil mencatat tadi.
"Lagi belajar ya?" komentarnya melihat buku di atas meja.
Aku hanya tersenyum kikuk, lalu menutup buku catatan. Namun tersadar akan sesuatu, nama Deril terlihat dan kulihat Evan telah membacanya!
Tangan Evan bergerak mengambil selebaran kertas berisi tulisan Deril. "Pindahin?" ujarnya melirikku. "Nama pacarnya Deril? Baik sekali mau mencatatkannya."
Aku menegak saliva. "Tidak, bukan. Aku … hanya membantu. Soalnya aku lupa kembaliin bukunya jadi dia catat di kertas itu," balasku membantah.
Namun Evan hanya terkekeh pelan. "Indah ya masa SMA? Kapan jadiannya?"
Eh, kok bisa begini sih? Kenapa juga Evan harus datangnya sekarang, belum jam makan malam juga.
***