Bumi, 2090.
Jangan harap kehidupan manusia akan lebih baik di masa depan, jika manusia bejat tak bermoral masih dibiarkan memimpin negeri. Teknologi canggih menjadi percuma, bukannya akan membuat kehidupan menjadi lebih mudah, namun terasa seperti boomerang.
Derap langkah bercampur rintik gerimis di sebuah malam yang pengap di sudut kota Roctur. Pria berjaket kulit menutup kepalanya dengan hoodie. Berlari sambil menunduk, melindungi tubuhnya dari siraman gerimis. Tubuhnya mencari tempat berteduh di sebelah trotoar yang temaram. Pandangan matanya terhenti sejenak menatap ratusan barisan robot-robot pekerja yang melintas didepannya. Pria itu melesatkan tatapan kesal ke arah berikade besi yang telah merenggut lapangan pekerjaan manusia, termasuk dirinya.
Ponsel pintarnya berdering. Dilayar tertera nama David, sahabatnya.
"Dua jam lagi, tunggu di pelabuhan." Suara dibalik telpon memberi pesan singkat. Pria itu mengangguk mengiyakan. Wajahnya melesatkan senyum. Akhirnya, setelah tiga bulan menjadi pengangguran. David, sahabatnya menawarkan pekerjaan sebagai teknisi reparasi Robot di sebuah kapal pesiar milik keluarga Bangsawan di Kota Roctur.
Pria itu meninggalkan trotoar yang temaram. Sebuah tangan mencegat betis sebelah kirinya, langkahnya tertahan. Seorang pengemis tua, mengulurkan tangan hendak meminta sesuatu. Pria itu, merogoh kantong jaketnya dan menyerahkan selembar uang. Sang pengemis tua menggamit dengan cepat. Tanpa permisi, dia berlari meninggalkan Jonathan.
Langkah Jonathan, terhenti sejenak. Seorang ibu menggerutu dan mengomel kepada anak gadisnya di trotoar. Si ibu dan anak gadis itu menghalangi langkah Jonathan. Si gadis kecil sedang merajuk.
"Beli boneka itu ibu! Aku mau boneka itu!" Rengek-an si gadis kecil makin menjadi.
Sang ibu menggeleng dengan tegas. Membeli boneka bukanlah sebuah prioritas. Lebih baik uangnya dipakai untuk membeli sesuatu untuk mengganjal perut. Demikian pemikiran sebagian orang di saat resesi dunia saat ini. Kehadiran Jonathan di hadapan mereka, membuat sang ibu menarik tangan si gadis kecil dengan keras. Jonathan melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang, ke arah dua ibu dan anaknya yang barusan bersitegang.
Di alun-alun kota. Suasana berubah tenang. Dulu, nyaris 2 kali dalam sebulan, alun-alun itu berisikan manusia-manusia penuh amarah yang memberontak. Demontrasi buruh menolak kehadiran robot-robot pekerja yang akan merenggut mata pencarian jutaan orang.
Demontrasi teakhir, terjadi 2 bulan yang lalu. Mahasiswa, para pekerja, ibu rumah tangga, tua muda dan semua lapisan masyarakat bergerak ke alun-alun. Mereka menyuarakan kebengisan terhadap ketamakan penguasa yang mengeruk hasil bumi dengan rakus. Hutan-hutan ditebang. Ceruk-ceruk menganga berhektar-hektar. Udara semakin berpolusi. Banjir sering menghadang, keseimbangan alam terganggu. Namun apa yang didapatkan para demonstran? Pukulan, gas air mata, tembakan, ratusan nyawa melayang. Penguasa tak menggubris seruan mereka. Penguasa semakin kalap mengeruk-ngeruk tanah. Alat-alat berat berbentuk robot raksasa dikerahkan untuk mengobrak-obrik perut bumi. Penguasa semakin kaya dengan hasil bumi tambangan mereka.
Jonathan bergerak mendekati alun-alun Kota. Mendekat ke arah Air mancur, yang kini disulap menjadi altar kenangan. Photo-photo berjejer di antara karangan bunga. Seorang ibu meletakkan bunga disana. Matanya sembab memerah, air matanya samar bersatu dengan rintik gerimis. Luka mendalam masih bersisa di hati keluarga para demonstran yang tewas dihadang peluru petugas penguasa.
Semenjak 3 dekake. 30 tahun yang lalu. Demonstrasi besar sering pecah. Diantaranya yang paling menoreh sejarah adalah saat masyarakat menuntut tuntas atas raibnya 25 tokoh berpengaruh dunia, yang menghilang secara misterius. Saat itu masyarakat berspekulasi. Mereka menuduh penguasa telah melakukan konspirasi pembunuhan. Namun tak satupun bukti bisa menyudutkan para penguasa. Hingga kasus itu menguap begitu saja.
Bumi tak lagi menjadi tempat ternyaman untuk dihuni semenjak 25 tokoh berpengaruh di dunia ini menghilang. Sang penguasa semakin lincah geraknya tanpa penghalang. Sang penguasa beserta koloni semakin menggila mengeruk hasil bumi. Kebijakan yang dibuat penguasa hanyalah untuk memperkaya diri mereka. Korupsi dimana-mana. Masyarakat terpaksa hidup bertahan di tengah krisis yang menghadang. Tak sekali pun penguasa menunjukkan keberpihakan.
Jonathan meninggalkan alun-alun setelah mengusap sebuah poto seorang wanita. Wanita itu adalah Renne, kekasih Jonathan yang ketika masa demontrasi berorasi paling lantang. Sebuah peluru melesat melobangi dadanya, saat Renee berkoar di atas podium alun-alun. Jonathan menatap photo itu sendu, airmatanya telah kering untuk menangisi Renne. Dan hari inipun, Jonathan ke alun-alun tanpa membawa karangan bunga. Jonathan tak ingin berduka terlalu lama. Mengikhlaskan Renne adalah sebuah keharusan, menurutnya.
Satu jam lagi Kapal Pesiar akan merapat di Pelabuhan. Jonathan memasuki sebuah kedai minuman. Memesan Vodka untuk menghangatkan tubuhnya. Bar penuh sesak oleh Pria-pria yang sengaja menghabiskan sisa malam. Suara gaduh terdengar riuh rendah. Tak satupun kalimat yang jelas tertangkap oleh telinga Jonathan. Meski begitu, topik pembicaraan mereka masih dapat ditebak.
Politik dan kebijakan penguasa selalu menjadi bahan pembicaraan. Seorang pria melempar gelas bir ke arah Televisi. Makian kasar keluar dari mulutnya. Untung saja Televisi itu dilapisi tempred Glass anti benturan. Wajah salah satu Menteri penguasa muncul dilayar televisi. Senyum sumringah melebar dibalik kumis hitam yang lebat. Sang mentri itu, menyeringai saat wawancara tentang suksesnya proyek Robot pekerja, yang telah meluluhlantakkan mata pencarian masyarakat. Host Televisi mengumbar puja puji kepada sang menteri. Media berubah menjadi keparat di rezim ini.
Seorang pria tua di samping Jonathan, bercerita tanpa diminta.
"30 tahun lalu, semua terasa mudah. Nilai tukar mata uang kuat, mau beli apa saja murah. Gaji bisa disisihkan untuk ditabung untuk hari tua. Tapi sekarang, jangankan menabung, hutang bertumpuk. Hidup tak tenang. Penagih hutang semakin kejam mengancam. Aku yang setua ini, harus ikut berlayar bersama mereka." Telunjuk Pria Tua itu mengarah ke meja paling riuh, para nelayan sedang menikmati bir mereka sambil bermain kartu.
Jonathan tak memberi komentar apa-apa. Kelamnya rezim ini hanya membuat semua orang membathin. Semua orang sudah muak untuk mengumpat. Mereka memilih menelan amarah dan kesal kedalam jiwa mereka, termasuk Jonathan.
"Minumanmu aku yang bayar," ujar Jonathan, menutup percakapan dengan pria tua itu.
Kapal Pesiar telah merapat. Jonathan melangkah meninggalkan bar dan pria tua yang berwajah muram. Dengan langkah riang penuh harapan, dia melangkah menuju David yang sedang berdiri di ujung pelabuhan. Mereka masuk ke dalam Pesiar melewati pintu khusus awak kapal.
Di pintu gerbang Kapal pesiar bagian belakang. Puluhan limousine berjejer rapi dan merambat perlahan memasuki kapal. Di pintu gerbang yang lain, ratusan orang menaiki tangga. Mereka berwajah cerah dan berseri-seri dalam balutan pakaian mewah yang mereka kenakan. Wanita dan anak-anak berjalan dengan riang memasuki Kapal. Para pria memakai Tuxedo, berjalan beriringan dengan pria yang berpakaian sama sambil menyesap cerutu.
The Addam, Kapal Pesiar berukuran 150 Meter ditopang dengan teknologi hidrogen sebagai sumber energi penggerak kapal. Melesat perlahan meninggalkan bibir pelabuhan. Kemudian geraknya merambat, melesat cepat di 25 knot dan akan menjangkau 8000 Mil laut. Dalam sekejap The Addam sudah berada di atas samudra terluas menjauhi benua. Keluarga besar The Addam beserta undangan elite politik, kolega bisnis, para investor akan berlayar mengarungi dunia untuk menikmati liburan super mewah diatas kapal tercanggih di abad itu.
Jonathan mengikuti langkah David menuju ruang kabin karyawan. Perutnya mual merasa ada goyangan yang mengalun di dasar kapal. David merasakan hal yang sama. Kapal pesiar secanggih ini, meski melesat dengan kecepatan kilat, tidak akan memberikan sensasi goncangan barang sedekitpun.
"Kau tunggu disini dulu." Ucap David tiba-tiba. Jonathan mengangguk tanpa merasa curiga akan sesuatu yang berbeda.
Semenit kemudian. Sirine berbunyi. Awak kapal meminta seluruh penumpang memasuki ruangan masing-masing dan duduk dibangku darurat memakai sabuk pengaman. Guncangan semakin terasa. Pada dinding bagian luar kapal mengeluarkan katub menyelimuti seluruh permukaan kapal. The Addam menenggelamkan dirinya menuju ke bagian dasar lautan, menjelma menjadi kapal selam. Pesiar itu mencari tempat berlindung di zona yang luas di dalam lautan, agar tidak mendapat benturan. Magnet antigravitasi dilepaskan, The Addam membatu di tengah lautan. Energi terdalam dari dasar lautan menyeruak ke atas permukaan. Menciptakan riak gelombang besar yang menghantam.
Badai besar tak berhujan menggila di atas lautan.
***
Sementara itu di Kota Roctus.
Pria-pria menghambur keluar dari dalam Bar pelabuhan. Goncangan yang memualkan perut mengoncang Kota Roctur. Orang-orang berlari kocar-kacir menyelamatkan diri. Alun-alun kota yang luas menjadi tujuan pelarian mereka. Selang 2 menit, gempa berhenti. Wajah-wajah tegang berubah lega. Namun orang-orang masih memadati alun-alun. Khawatir gempa susulan akan datang.
Gerimis berganti hujan. Masyarakat memilih meninggalkan alun-alun sebelum mereka kuyub dan membeku karena dingin. Langkah kaki mereka terhenti kembali. Gempa susulan datang dan kali ini lebih hebat goncangannya dibandingkan yang pertama.
Suara kepanikan dan ketakutan melebur menjadi sebuah soundtrack adegan di film-film bertema kiamat. Bunyi gemeretak dari aspal yang retak. Gemuruh hujan. Kaca-kaca gedung berhamburan. Gedung roboh dan … tanah di alun-alun kota amblas ke dalam bumi. Ribuan warga kota Roctus yang berdiri disitu, terperosok ke dalam lubang besar yang mengisap apa yang ada di Kota. Mobil-mobil, Gedung-gedung, Manusia. Semuanya menjadi kecil oleh lubang besar yang menganga di tengah benua.
Gelombang laut merambat dengan kecepatan kilat menyapu benua yang berlubang . Gelombang laut menjadi penutup peristiwa kiamat hari itu. Menyapu segala yang tersisa. Puncak-puncak gunung melebur seperti istana pasir di siram air oleh seorang bocah di tepi pantai. Daratan tenggelam. Lautan meraja di sebuah malam yang berhujan. Menenggelamkan orang-orang, Sang penguasa, sang menteri, Robot-robot pekerja, Sang pengemis tua di trotoar, si ibu dan si anak gadis yang menginginkan boneka, Keluarga para demonstran, pria-pria di Bar dan bapak tua yang berwajah muram. Perjalanan hidup mereka telah usai. Kiamat mematikan Bumi.
Adakah manusia yang tersisa?