Rayhan meloncat turun dari atas Yacht yang di sewanya dengan tidak sabar. Tanpa membuang waktu Rayhan terus berlari sambil berharap dalam hati semoga ia tidak terlambat.
Kepalanya sudah sangat sakit, dalam perjalanan yang sangat lama, Rayhan sama sekali tidak tidur dan hanya memikirkan Rose.
Walaupun hatinya masih dapat merasakan sakit karena penolakan Rose tapi hati kecilnya masih berharap jika ada sebuah kesalahpahaman diantara mereka jadi perpisahan diantara mereka tidak benar-benar terjadi dan Rose tidaklah mengkhianatinya.
Semoga saja.
Dari pesisir pantai, Rayhan dapat melihat Mansion berdiri megah tidak jauh dari tempatnya berlari semakin mendekati gerbang yang menjulang tinggi dan kokoh.
Seperti menyambutnya dengan baik, gebang itu tidak terkunci dan ia dapat melewatinya dengan mudah.
Sedikit lagi, hanya tinggal sedikit lagi sampai kedepan pintu yang tidak kalah besar dengan gerbang yang telah dilewatinya sebelumnya, sebuah pintu yang terukir indah dan terbuat dari pohon kayu ek tertutup rapat seolah tidak ada yang boleh memasukinya.
Masih dengan deru nafas yang terengah-engah, Rayhan menekan tombol bel berkali-kali dengan tidak sabaran.
"Rose..." Panggil Rayhan seraya terus menekan bel.
"Rose..." Panggil Rayhan sekali lagi namun tetap tidak ada jawaban.
Rayhan melihat kearah sekeliling yang sepi, mungkinkah Sammy salah memberikan alamat kepadanya? Rayhan tidak dapat berpikir lagi, ia hanya terus menekan bel hingga akhirnya pintu perlahan terbuka lebar.
Dan seperti harapannya, Rose membukakan pintu untuknya.
"Rayhan..."
Seperti mendapatkan bantuan oksigen, Rayhan begitu senang melihat Rose hingga ia ingin segera menarik Rose kedalam dekapannya tapi langkahnya terhenti begitu menyadari keadan Rose saat ini.
Rose mengenakan kemeja seorang pria, dengan rambut yang terikat asal dan sebuah bercak kemerahan di sudut lehernya.
Apa itu artinya Rose sudah...
"Sepertinya ada tamu yang terlambat datang. Sayang sekali pesta pernikahan kami sudah usai kemarin."
Hati Rayhan yang sebelumnya hancur kini berubah menjadi serpihan debu, William datang menghampiri Rose dan langsung merangkulnya masih dengan jubah mandinya.
Seperti orang bodoh, bahkan sampai detik ini Rayhan masih tidak ingin mempercayai apa yang saat ini dilihatnya.
"Ponselmu." Ucap Rayhan dengan berat hati sambil menahan air matanya ia menyerahkan ponsel milik Rose pada Rose.
Tapi belum sempat tangan bergetar Rose meraihnya, William sudah mendahuluinya lebih dulu.
"Terimakasih." Ucap William.
"Sayang, sebaiknya kamu mandi. Aku tahu kamu menyukai aroma tubuhku tapi kita telah bersatu, aroma tubuh kita sama sekarang, kamu tidak perlu terus menerus memakai kemeja ku." Lanjut William seraya mengecup pipi Rose hangat.
Rose tidak dapat menjawab untuk membantah selain berlari menuju kamarnya.
"Masuklah, kelihatannya hatimu sedang sakit." Ajak William melangkah meninggalkan Rayhan yang masih berdiri diambang pintu.
William benar, hatinya sakit dan terluka dan sakit hatinya bahkan membuat merasa terbunuh secara perlahan.
"Apa yang kamu tunggu? Kamu ingin tetap disana? Maka aku akan menutup pintunya kembali." Ucap William.
Dengan berat hati Rayhan melangkah masuk dan mengikuti langkah William yang memimpin.
"Duduklah, setelah ini kita sarapan bersama. Aku masih memiliki urusan dengan istriku." Ucap William mempersilahkan Rayhan untuk duduk lalu kemudian ia segera meninggalkan Rayhan sendirian.
....
William menyempatkan diri membawakan Rose gaun untuk dipakainya dari kamar sebelah sebelum akhirnya kembali ke kamarnya.
Ketika William memasuki kamarnya, tidak ada Rose di sana sampai kemudian terdengar suara tangis dari balik pintu kamar mandi. William segera meletakkan gaun yang di bawanya keatas tempat tidur lalu tanpa permisi menerobos masuk kedalam kamar mandi.
"Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu menerobos masuk?" Pekik Rose sambil menyeka sisa air matanya dengan kasar.
"Kenapa tidak boleh? Aku adalah suamimu artinya kamu adalah milikku." Jawab William sambil melangkah mendekati Rose.
William sudah berada dihadapan Rose kini, ia menunduk untuk melihat lebih dekat wajah Rose dan kedua matanya yang sembab.
William terus bergerak mendekat tanpa mengucapkan apapun sementara Rose tidak dapat menghindar karena tubuhnya terhimpit antara tembok dan William.
"Jangan sentuh aku." Ucap Rose lirih sambil memalingkan wajahnya ketika ia merasa William akan menciumnya.
Terdengar William tertawa pelan membuat Rose semakin merasa takut dengan apa yang akan William lakukan padanya.
"Mandilah dan berhenti menangis jika kamu ingin aku tetap berada dalam batasanmu." Bisik William memperingatkan yang terdengar lebih menakutkan dari apapun.
Rose dapat merasakan perlahan William menjauh darinya dan kemudian terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Dengan sedikit keraguan Rose menoleh dan William sudah pergi meninggalkannya. Dengan nafas yang tercekat, Rose berusaha untuk tidak menangis sambil menanggalkan satu persatu pakaiannya.
****
Rose sudah selesai mandi dan begitu keluar dari kamar mandi, ia mendapati William berdiri menghadap kearah jendela dengan pandangan kosong.
"Aku ingin memakai pakaianku, tolong keluarlah." Pinta Rose dengan suara yang parau.
William menoleh sejenak lalu kembali menatap kearah jendela.
"Sepertinya akan datang badai. Sebaiknya Rayhan pulang setelah badai berlalu." Ucap William.
Rose kemudian melangkah mendekati William dan melihat kearah jendela dimana memperlihatkan awan mendung yang bergerak cepat dari atas hamparan lautan.
"Kamu senang bukan?" Tanya William, Rose mengangkat kepalanya dan menatap William bingung.
"Apa maksudmu?"
"Pria itu tetap mencarimu bahkan ketika ia tahu kekasihnya telah mengkhianatinya."
"Aku tidak pernah berkhianat."
"Tapi kamu sudah menjadi istriku setelah mencampakkan lamarannya, dengan kata lain kamu sudah berkhianat."
Air mata Rose kembela menetes, tidka dapat dipungkiri jika apa yang dikatakan William memang benar.
"Sebut saja aku cemburu, aku tidak suka melihat istriku menangisi pria lain." Ucap William seraya menarik tubuh Rose merapat padanya dan menatapnya tajam.
"Kamu adalah milikku sekarang dan aku tidak suka berbagi apa yang sudah aku miliki. Jadi berhentilah menangisinya dan bersikap seolah kamu menderita dihadapannya atau aku..."
Rose dapat merasakan tangan kekar William menurunkan jubah mandinya sehingga bahu polosnya terekspos dan mungkin jubah mandinya telah jatuh kelantai jika saja tangan William tidak melingkari pinggangnya.
Tangan William kemudian bergerak membelai wajah Rose, menyapukan jarinya melewati pelipis mata Rose turun kehidung lalu mendarat di permukaan bibirnya.
William menyapukan ibu jarinya di permukaan bibir Rose secara perlahan, sedikit menekannya dan membuat Rose hanya dapat menahan geramannya.
Air mata Rose kembali menetes, ia tidak dapat bersuara dan hanya dapat menangis sementara tangan William mulai turun menyusuri leher jenjangnya dan semakin turun.
"Hentikan..." Pinta Rose lirih dan William langsung mengentikan tangannya ketika hampir menyentuh dada Rose yang masih setengah tertutup dan kemudian melepaskan Rose perlahan.
Rose segera membetulkan jubah mandinya dan melangkah mundur.
"Jika kamu ingin tahu apa luka di hatiku, luka itu berasal dari hal yang aku miliki tapi aku tidak dapat menjaganya dan berakhir dengan kehilangan. Untuk itu aku akan menjaga 'milikku' saat ini agar aku tidak kehilangan lagi. Dan yang sekarang aku miliki adalah dirimu."
Tubuh Rose terjatuh lemas, William begitu dingin seperti angin yang berhembus kencang dari balik celah jendela yang terbuka karena dorongan angin yang kencang.
Sangat dingin sehingga seluruh tubuhnya bergetar merasakan dinginnya hati William.
"Pakailah bajumu, dan jangan keluar jika matamu masih memerah atau aku akan pastikan ini adalah kali terakhir kamu bertemu dengan kekasih hatimu itu." Ucap William sebelum melangkah meninggalkan Rose sendirian.
.....