1 Minggu sebelum menghadiri acara pernikahan saudara di Inggris, Orang tua Zahra telah mempersiapkan acara pertunangan dengan seorang pria yang belum Zahra ketahui.
Keluarga Zahra adalah salah satu Keluarga terpandang di Kota Jakarta. Selain orang tua Zahra yang terkenal dengan kearifannya, Keluarga Zahra sendiri memiliki sebuah Perusahaan El-Rumi Grup yang menjadi salah satu Perusahaan ternama di jajarannya.
Di siang hari, tepatnya di Kediaman Husein tengah sibuk mempersiapkan acara lamaran sekaligus pertunangan untuk mengikat tali sebelum pernikahan. Ayah Zahra yang bernama Muhammad Husein dan Ibunya Nyonya Zainab Husein sedang berada di ruang tamu bersama para sanak saudara dari berbagai kalangan.
Zahra yang saat itu sedang mempersiapkan diri di depan cermin, sejenak merasakan gelisah dan cemas.
"Astaghfirullah, mengapa aku begitu gelisah? Siang ini Engkau memperkenankan aku untuk melihat calon suami yang insya Allah baik untukku. Kuatkan hati hamba Ya Rabb, mudahkanlah segalanya jika memang dia yang terbaik untukku. Amiin..". Gumam Zahra.
Tok.. Tok..
"Permisi Non Zahra, Tuan dan Nyonya memanggil Nona untuk turun segera. Keluarga dari pihak pria sudah datang Non". Kata Bibi Minah salah satu orang yang membantu pekerjaan rumah.
"Baik Bi, aku akan turun sekarang". Balas Zahra. Dia membenahi dirinya dan beranjak dari depan cermin. Langkah demi langkah menggetarkan tubuh Zahra, semakin jauh melangkah justru semakin membuat Zahra gelisah.
"Bismillah...". Kata Zahra menguatkan hatinya.
Perlahan Zahra melangkah menuruni tangga tanpa melihat ke arah para tamu. Di bawah tangga, Ibu Zainab menunggu Zahra dan menemani Zahra untuk masuk kedalam ruang yang sudah riuh oleh para tamu sanak saudara.
Di bagian meja khusus dari belakang terlihat sudah ada seorang pria menggunakan pakaian batik sedang duduk bersama dua orang tua yang kemungkinan orang tuanya.
"Nak Azka, inilah putri Bibi. Dia adalah Zahra putri satu-satunya Bibi" Sapa Ibu Zaenab yang sudah berdiri disamping tempat duduk pihak keluarga pria.
"Assalamualaikum". Sapa Zahra dengan menundukkan sedikit punggungnya di depan orang tua kedua belah pihak.
Pria yang disebut Azka mendengar ucapan salam seketika menoleh ke arah Zahra. "Wa'alaikumsalam" jawab Azka dengan senyuman.
Sekilas mereka saling pandang sebelum akhirnya Zahra duduk di tempat yang sudah di persiapkan. Antara perasaan malu dan gelisah membuat Zahra tidak memiliki keberanian melihat wajah Azka.
"Baiklah, karena kedua keluarga sudah bertemu. Mari kita membicarakan masalah pertunangan dari Azka Imtiyaz Nadir dengan Zahra Salsabila Mafaza". Kata Tuan Husein.
Kedua keluarga saling berbicara layaknya keluarga besar untuk membahas ke jenjang lebih lanjut. Disaat yang bersamaan, kedua orang tua masing-masing meminta Zahra dan Azka untuk keluar dan saling bicara dari hati ke hati.
Di halaman samping rumah terbentang sebuah taman yang tidak terlalu luas namun cukup untuk di tumbuhi beberapa tanaman hias, dan terdapat sebuah bangku taman yang biasa Zahra pakai untuk duduk menyegarkan fikiran.
Meski pada awalnya Zahra merasa canggung, namun disana Azka dan Zahra duduk berdua untuk saling berbicara.
"Menurutmu, bagaimana dengan pernikahan ini?". Tanya Azka tiba-tiba, dengan sekilas memandang wajah manis Zahra.
"Hmmz, pertanyaanmu sedikit mengejutkanku. Mungkin perkataanku terlihat kurang ajar dan kasar, tapi.. Ini adalah keinginan orang tua, bagaimana aku bisa menolaknya. Dalam hidup ada kalanya keadaan tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Dan aku percaya pertemuan kita ini juga karena Tuhan yang telah mengaturnya". Papar Zahra.
"Zahra.. Kamu cukup menarik, cara bicaramu yang jujur tanpa di buat-buat membuat orang yang kamu ajak bicara merasa lebih nyaman. Ternyata orang tuaku memang tidak salah menilaimu". Kata Azka dengan senyum simpul.
"Kamu terlalu melebih-lebihkan. Aku hanyalah wanita biasa yang sedang mengejar mimpiku. Jujur saja, saat sebelum aku melihatmu aku merasa gelisah. Tapi setelah kita duduk bersama dan saling terbuka, ku rasa kita bisa menjadi teman baik" balas Zahra, dia memandang Azka dengan senyum yang menunjukkan lesung pipinya.
"Ehm.. Apakah ini termasuk sebuah pernyataan PENOLAKAN?"
"Mana mungkin, meski ini pertama kalinya aku melihatmu. Tapi dengar-dengar seorang Azka Imtiyaz Nadir adalah Pangeran Kampus yang akan meneruskan gelar Magister di Kairo. Wanita biasa seperti diriku ini mana berani menolak pria idaman semua wanita".
"Benarkah? Apa itu artinya kamu ikhlas menerima pertunangan ini?".
"Aku ikhlas Lillahi ta'ala menerima pertunangan ini, tapi bukan berarti aku mau menikah secepatnya. Aku masih ada cita-cita yang ingin aku gapai".
"Aku tahu apa yang kamu fikirkan Zahra, kamu mengatakan hal ini saja sudah cukup bagiku. Biarlah ini mengalir apa adanya, dan serahkan semuanya pada Sang Maha Adil".