"Hentikan … hentikan!" Noah mundur lagi dan tubuhnya terantuk dengan dinding bata sebuah rumah, ia sadar jika sedikit saja Morgan mengayunkan kaki depannya, ia sudah jelas akan hancur seperti rekan-rekannya itu.
"Biarkan aku hidup! Aku biarkan aku hidup! Aku akan memberitahumu semua informasi mengenai pack Red Moon!" Noah berteriak dengan putus asa, ia menutup matanya dengan penuh ketakutan.
Morgan berhenti sejenak, hawa panas yang keluar dari tubuhnya itu menguar ke sekitarnya, Noah merasakan keringat membanjiri tubuhnya.
"Akan aku beritahu apa pun yang ingin kau tahu, terutama tentang kelemahan pack Red Moon!"
Noah mengangkat tangannya, ia berniat melindungi dirinya dari Morgan, takut kalau serigala besar itu membuka mulutnya dan mengoyak tubuhnya, tapi ia kemudian melihat sosok manusia Morgan yang tiba-tiba mencekik lehernya.
"Akh!" Noah terhempas lagi ke dinding, ia memegang tangan Morgan dan berusaha melepasnya. "Akh, lepaskan aku! Akan kuberitahu apa pun yang ingin kau tahu!"
Noah merasakan nyawanya saat ini benar-benar di ujung tanduk, ia melihat semua rekan-rekannya yang meregang nyawa tanpa ada satu pun anggota tubuhnya yang utuh di belakang tubuh Morgan, darah yang menggenang itu benar-benar terlihat seperti neraka baginya.
Tempat ini tidak hanya menjadi tempat pembantaian untuk pack Blue Moon, tapi juga tempat pembantai untuk rekan-rekannya.
Morgan menatap Noah dengan sorot matannya yang dingin, ia menguatkan cekikannya.
"Tolong," ucap Noah dengan suara yang serak, ia hampir tidak bisa lagi bernapas dan wajahnya sudah mulai merah karena kurang oksigen.
Morgan sama sekali tidak menunjukkan sikapnya yang luluh, ia menarik sudut bibirnya dan tiba-tiba melepas tangannya, tapi dalam gerakan cepat, kakinya sudah menginjak dada Noah.
"Aku punya satu pertanyaan." Morgan akhirnya buka suara, sorot matanya itu melembut dan ia tersenyum, tapi bagi Noah ia seperti sedang melihat malaikat mau di hadapannya.
"Apa … apa yang ingin kau tanyakan? Aku akan menjawab sejujurnya." Laki-laki berkulit gelap itu gemetar hebat, ia menelan ludahnya berkali-kali.
Morgan menyipitkan matanya, ia menganggukkan kepala seakan paham apa yang apa yang ingin ia tanyakan, Morgan membungkukkan tubuhnya, ia meletakkan tangannya di dada Noah.
"Berapa banyak," kata Morgan dengan suara tertahan.
Otak Noah dipaksa untuk berpikir cepat, ia langsung menebak dan memikirkan jika pertanyaan yang dimaksud oleh Morgan adalah berapa banyak jumlah orang yang berada di pack Red Moon.
"Jumlah kami setengah lebih banyak dari kali … ukh!"
Morgan menekan tangannya, Noah merasakan rasa panas yang luar biasa di sana, ia mengerang sebentar dan bertanya-tanya, apakah serigala besar ini kesal karena jawabannya yang tidak memuaskan atau karena jawaban yang ia berikan salah?
Noah gemetar hebat karena ketakutan, mata yang dingin itu berkilat kembali dipenuhi dengan sorot kegilaan.
"Aku bertanya, berapa banyak nyawa yang kau miliki sehingga berani menghabisi Luna tercintaku?"
"A … apa?!" Noah tercekat, dadanya terasa panas membara, ia menjerit keras merasakan bagaimana dadanya itu terasa dibuka paksa oleh lelehan bara api yang menggerogoti semua organ dalamnya, ia berteriak keras untuk yang terakhir kalinya dan meregang nyawa.
Morgan mengangkat tangannya, ia berdiri dan menarik napas.
Packnya telah hancur, orang-orang yang dikenalinya telah tiada, bahkan Luke sebagai orang yang paling ia benci pun telah tiada. Tidak ada satu pun yang bersama dengannya, termasuk Lunanya. Morgan tidak bisa menyelamatkannya.
Morgan melangkah pelan menuju tubuh Giselle yang terbujur kaku di tanah, ia mendekat dan mendekapnya dengan erat, menyeka semua noda darah dari bibirnya dan menyisir rambutnya dengan jarinya.
"Maafkan aku," gumam Morgan dengan air mata yang kembali mengalir tanpa bisa ia tahan lagi, ia menumpahkan semua kesakitannya di sana. "Maafkan aku Giselle."
Seharusnya ia bisa menyelamatkan wanita itu, seharusnya ia masih bisa menggenggam tangannya yang hangat.
Tapi ia terlambat, mengapa kekuatan ini begitu sulit ia kendalikan? Mengapa ia tidak bisa menyelamatkan Giselle saja seorang?
Morgan menangis sambil memeluk Giselle, terus menggumamkan kata maaf berkali-kali meski ia tahu tidak akan ada satu orang pun yang akan menjawab semua tangisan yang menyayat hati itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" Morgan mendongak dan menatap langit yang mulai terang, sinar matahari bersinar menembus pepohonan yang rimbun itu, api yang membakar rumah-rumah sudah lama padam dan hanya menyisakan asap serta darah yang mulai mengering di atas tanah.
Morgan memandang Giselle, ia menempelkan bibirnya di bibir kaku Lunanya lalu memeluknya lagi, ia menyesap aroma khas dari Giselle untuk terakhir kalinya dan menggendongnya.
Morgan memakamkannya, tidak hanya Giselle, tapi seluruh pack Blue Moon.
Ia menaruh sebuah bunga lily di sebuah batu yang digunakannya sebagai nisan Giselle dan menyentuhnya dengan lembut, Morgan tidak mengatakan apa-apa, ia terlalu sakit untuk berkata perpisahan pada Lunanya.
Mereka bahkan belum melaksanakan upacara pernikahan, mereka bahkan belum benar-benar terikat.
Morgan menarik napas, seandainya saja mereka sudah terikat mungkin Morgan juga akan merasakan kesakitan yang sama yang dirasakan oleh Giselle, mungkin ia juga akan terbaring di tempat yang sama dengan Giselle sekarang.
Tapi sayang sekali, semua itu hanya seandainya.
Morgan kehilangan cintanya, kehilangan packnya, kehilangan seorang guru yang mengajarinya, ia bahkan kehilangan rumah yang pernah ia gunakan untuk berteduh dari panasnya sinar matahari dan dinginnya malam.
Morgan kehilangan segalanya.
"Maafkan karena aku tidak bisa terus bersamamu, Giselle."
Morgan berbalik dan memeluk tubuhnya sendiri, semua kesakitan yang ada di dalam hatinya ini semakin lama semakin membekas dan membentuk luka yang semakin besar, Morgan tidak bisa terus menanggungnya, ia ingin menenangkan dirinya sejenak, menjauh dari semua kenangan buruk ini, ia ingin terbangun dan menganggap bahwa semua ini mimpi.
Morgan melangkah dengan gontai, ia bagai raga yang tidak memiliki jiwa, melangkah dengan mata yang kosong, berharap ia segera keluar dari semua kegilaan ini.
Morgan terus melangkah, melintasi padang rumput ilalang, melintasi semak perdu dan melintasi cadasnya bebatuan, ia sudah tidak punya lagi tujuan hidup dan ia juga tidak memiliki keinginan untuk terus hidup.
Ia tidak peduli jika di ujung jalan itu ada jurang, ada laut atau ada tanah bersalju. Morgan tidak peduli, bahkan kalau ia akan mati karena jalan yang ia tuju di depannya ini pun Morgan rela.
Morgan hanya ingin terus bersama Giselle, bahkan untuk mati pun ia rela asalkan tetap bersama Lunanya itu di kehidupan kedua mereka nanti.
Morgan sangat mencintai Giselle.
"Maafkan aku Giselle, aku tidak bisa menipu diriku sendiri lagi, aku ingin menyusulmu pergi ke alam baka!"
Morgan menatap jurang yang dalam terentang di depannya, satu hal yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah.
Mati.