"Aku pernah merasa istimewa saat itu. Pernah merasa menjadi ratu dihidupmu dengan segala istimewanya, dengan segala mimpi indahnya saat itu. Namun takdir merebut segalanya dari kita. Mencabik-cabik lembaran indah dari hidup kita. Aku berpura-pura buta dari kenyataan. Berpura-pura tuli dari suara hati kecilku ini"
Tania menghabiskan sorenya dengan duduk santai diteras rumah kecil yang disewanya. Dia tersenyum sambil mengusap-usap perutnya yang mulai membesar. Hari ini dia tidak bekerja, dia ingin beristirahat sejenak. Dengan perut sebesar ini gerkannya jadi terbatas, rasa lelah itu sering datang menghampirinya. Apalagi harus mengitari perkebunan teh yang bertingkat-tingkat dan seluas itu.
"Anak mama yang baik, sehat terus ya sayang. Sebentar lagi kita akan bertemu. Mama sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu, sayang", ucapnya pada bayi yang ada dalam perut nya itu.
Sudah lima bulan dia menghilang dari kehidupan Ardi, mengganti nomor ponselnya, dan menyepi disebuah desa kecil didekat perkebunan teh yang sejuk. Dia berharap jika Rachell akan kembali pada Ardi.
"Nia ....", sapa seseorang dari sampingnya.
Tania menoleh, dia terkejut melihat sosok laki-laki yang sangat dikenalnya itu. Dito.
"Dito ... Bagaimana kabarmu? Kapan kamu kembali dari San Diego?"
"Baru saja. Dan aku langsung mencarimu kesini Nia begitu Bude menceritakan keadaanmu. Aku mengkhawatirkan mu Nia"
"Aku baik-baik saja Dito kamu tak usah khawatir"
Dito memandang pada perut besar Tania dengan hati sedih. Dia masih berharap pada sahabat kecilnya itu.
"Kamu mengandung anak laki-laki itu, Nia?", tanya Dito
"Ya, ini anak Mas Ardi"
"Dasar laki-laki tak bertanggungjawab. Akan ku hajar dia nanti. Dia harus mendapatkan balasan dariku. Aku tak rela melihat dia mengabaikamu seperti ini, Nia"
"Mas Ardi tidak mengabaikanku, Dito. Akulah yang menjauh darinya dengan membawa anak ini sebagai kenangan darinya. Aku ingin melihat Mas Ardi dan Rachell bahagia tanpa aku diantara mereka"
"Nia, kenapa kamu harus menanggungnya sendiri"
"Ini sudah menjadi keputusan ku, Dito. Aku rela dan ikhlas menerimanya"
Tatapan sedih Dito tak lepas dari Tania, dia tak kuasa mengendalikan rasa sedih, kecewa dan marah dalam dirinya melihat perempuan yang disayanginya itu harus menderita seorang diri. Begitu mendapat kabar dari Budenya yang kebetulan tinggal didesa sebelah, Dito langsung kembali dan mencari Nia. Ada rasa sesal dihatinya, kenapa dulu dia pergi meninggalkan Nia seorang diri, jika saja dia masih disana waktu itu, mungkin dia akan membawa Nia lebih jauh dari ini.
Sejak saat itu Dito jadi lebih sering menemuinya. Dia ingin memastikan bahwa Tania baik-baik saja. Hampir setiap saat dia ada didekat Tania, menemaninya belanja, membantunya dirumah, menemaninya bekerja dikebun bahkan menemaninya kedokter yang letaknya dikota. Tania bukan nya tidak senang dengan keberadaan Dito disampingnya, namun dia merasa tak nyaman dengan laki-laki lain selain suaminya disisinya.
"Taniaaaa....!!!",Dito separuh berlari saat dia melihat Tania yang baru saja pulang dari pasar.
"Dito, please ... aku rasa ini sudah cukup. Terima kasih atas semua bantuanmu. Aku minta kita menjaga jarak mulai sekarang. Aku ini masih istri orang, Dito"
"Aku tak perduli dengan semua itu. Ini adalah saat yang tepat Nia. Aku akan membahagiakanmu, jadi ikutlah denganku dan tinggalkan laki-laki itu, Nia"
"Jaga bicaramu, Dito. Aku tak ingin mengkhianati Mas Ardi, jadi aku mohon padamu menjauhlah dariku"
"Tak ingin mengkhianati? Ayolah, Nia ... jangan sepolos itu pikiranmu. Laki-laki mana yang tahan ditinggal oleh perempuan yang disayangnya, paling-paling suamimu itu sudah kembali pada istri tuanya"
Nia membelalakkan matanya mendengar ucapan Dito, entah kenapa ada sedikit rasa sakit diujung hatinya mendengar ucapan laki-laki itu. Walaupun dia berfikir itulah yang sudah terjadi. Nia tak menghiraukan Dito dia terus masuk kerumahnya. Dito menarik tangannya saat dia hendak menutup pintu.
Mata Dito dipenuhi oleh nafsu saat itu, pandangan matanya liar menatap Tania. Dia mendesak Nia dibelakang pintu, mengunci pergerakan nya. Tangannya membelai perut besar Nia sehingga membuatnya merinding.
"Biarkan aku menjadi bapak anak ini Nia. Dan biarkan kita menjalani kisah kita yang tertunda", bisiknya diujung telinga Nia.
"Lepaskan aku, Dito", Nia memohon dengan sangat pada laki-laki itu.
"Tidak, Nia. Aku tidak akan melepaskan mu lagi, Aku tak akan menyerahkan lagi pada laki-laki itu"
Dito mendekatkan wajahnya pada Tania, perempuan itu memalingkan wajahnya, menghindari serangan Dito. Merasa mendapat penolakan Dito dengan kasarnya menyerang bibir mungil Nia yang sedari tadi menggodanya. Kasar dan membuat Nia berontak lalu mendorong tubuh Dito kedepan. Dito berdiri dan menatap Nia yang ketakutan akibat perlakuannya tadi.
"Ingatlah, aku tak akan menyerahkan mu lagi pada laki-laki", ancam Dito sebelum pergi meninggalkan perempuan cantik itu sendiri.
Nia masih berdiri ketakutan menatap kepergian Dito. Tiba-tiba saja ada rasa nyeri dan kram yang dirasakan. Perlahan dia terduduk dilantai sambil menahan nyeri hebat itu. Untuk beberapa waktu dia masih berusaha menahan rasa sakit itu. Dan untungnya saja rasa itu segera hilang.
"Maafkan mama ya sayang, kamu pasti ketakutan didalam sana. Mama janji akan jaga diri baik-baik. Mama akan jaga kamu sayang", ucapnya pada si cabang bayi diperutnya.
******
Nia masih duduk ditepi tempat tidurnya. Sakit di pinggangnya membuat di harus beristirahat sejenak. Keringat nya bercucuran, maklum metabolisme nya naik memasuki bulan ke tujuh kehamilannya ini.
drrr... drrr ...
Ponsel Nia berteriak nyaring, dengan susah payah dia bangun dari tempat duduknya menuju meja untuk mengambil ponsel itu. Nia melihat satu panggilan masuk dari Dito.
Huuuhhh....
Helaan nafasnya terasa berat melihat panggilan pada layar ponselnya. Dia mengabaikan panggilan masuk itu dan memilih melanjutkan pekerjaannya membereskan rumah. Jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Nia segera bersiap-siap, hari ini adalah jadwalnya kontrol ke klinik bersalin di kota.
Sepuluh panggilan tak terjawab dari Dito dan laki-laki itu mengirimkan banyak pesan WhatsApp padanya.
"Nia, Angkat teleponnya ... please"
"Maafkan aku, Nia... aku benar-benar khilaf kemarin. Aku mohon angkat teleponnya aku ingin bicara"
"Maafkan aku. .."
Entah apa lagi isi pesan itu, Nia tidak membacanya dan langsung menghapusnya. Dia sangat kecewa dengan perlakuan yang diterimanya dari sahabatnya itu. Dito benar-benar sudah berubah. Tidak seperti Dito yang dia kenal dulu.
"Anak mama yang pintar, sekarang kita ke klinik dulu yuukk... mama mau lihat kamu. I love you sayang"
Nia sudah siap dan rapi. Perlu waktu sepuluh menit berjalan dari rumahnya menuju pemberhentian angkutan umum. Jika tidak sedang hamil, jarak segitu tidak masalah baginya. Dari sana menuju kelinik diperlukan waktu tiga puluh menit menggunakan angkutan umum, itu juga jika angkutannya tidak berhenti terlalu lama menunggu penumpang.
******