Hidup Ardi sekarang benar-benar hampa, kepergian Tania membuatnya seperti orang yang kehilangan separuh nyawanya. Sudah berbulan-bulan dia mencari-cari Nia, namun tak membuahkan hasil. Dia mulai putus asa.
Drrr. . . Drrr ....
Klik ...
"Halo ... ", sapa Ardi yang baru saja bangun.
"Jangan bilang kamu tidur, Ardi?!"
Ardi terdiam. Di melihat layar ponselnya.
"Arlan .... "
"Kamu pikir siapa? Bukakan aku pintu!!",ucap Arlan.
"Eehh...."
"Aku sedari tadi ada di depan apartemen mu. Aku pikir bel nya tidam berfungsi dengan baik",pinta Arlan
Ardi dengan malas bangun dari tidurnya lalu menuju pintu depan. Dari monitor dia melihat Arlan berdiri di depan pintu.
Cekreeeeekkk ...
Arlan melihat sahabatnya itu dari ujung rambut sampai ujung rambutnya, benar-benar kacau.
"Ardi ... ??!",ucapnya dengan nada heran.
"Masuklah ..."
Arlan menebarkan pandangan disekitar apartemen itu, tampak kusam dan tak bercahaya seperti pemiliknya yang kehilangan cahaya dalam hidupnya. Ardi membersihkan wajahnya dengan air hangat di wastafelnya, lalu kembali keluar dan menemui Arlan.
"Sepi sekali, mana Nia?",tanya Arlan membuka obrolan.
Huuuuhh.... Ardi hanya menghela nafasnya. Dia menuju dapur dan mengambilkan secangkir kopi buat sahabatnya itu.
"Minumlah ..."
Arlan masih belum menangkap apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Ada apa Ardi? Kamu tak terlihat seperti biasanya? Dan tampaknya kamu punya masalah besar. Aku tak melihat adanya Tania disini"
"Tania sudah pergi meninggalkan ku. Dia pergi sebelum putusan sidang ceraiku dengan Rachell dijatuhkan hakim",papar Ardi.
"Aku melihat beritanya ditelevisi. Aku turut prihatin. Apa maksudmu dengan Tania pergi? Kalian baik-baik saja bukan?"
"Ya, kami baik-baik saja. Tania pergi begitu saja tanpa sepengetahuan ku dan hanya meninggalkan sepucuk surat"
"Ya, Tuhan ... Aku tak mengetahui hal ini Ardi"
"Mungkin Nia juga ingin berpisah dariku, sama seperti Rachell"
"Kamu tak bisa melakukannya itu. Bagaimana nanti dengan nasib anak kalian nanti, Ardi?"
"Anak???"
Arlan menatap pada Ardi heran. Dia menangkap sesuatu yang ganjil pada laki-laki yang ada dihadapannya itu.
"Ardi ...",panggil Arlan
"Hmm...."
"Jangan kamu katakan kalau kamu tidak mengetahui kalau Nia hamil dan mengandung anakmu?"
Ardi nyaris melompat dari kursinya. Dia melotot menatap Arlan.
"Hamil? Apa maksudmu? Bagaimana kamu tahu kalau Nia hamil dan mengandung anakku, Arlan?"
"Ya....Tuhan Ardi. Jadi kamu benar-benar tidak mengetahui itu?"
"Tidak! Apa yang terjadi Arlan? Demi Tuhan katakanlah padaku yang sejujurnya"
"Jangan bercanda Ardi. Apa Tania tak mengatakan apapun padamu?"
"Tidak. Demi Tuhan, Arlan. Nia tak mengatakan apapun padaku"
Huuuuhhhh.... Arlan menangkap sinyal kejujuran dari ucapan Ardi. Dia menggeser posisi duduknya.
"Beberapa bulan yang lalu sebelum semua ini terjadi, aku bertemu dengannya dikampus, wajahnya begitu pucat. Tampak nya kurang sehat. Dia sibuk mengurus wisudanya. Dan saat pulang aku pun bertemu dengannya dijalan, semula aku hendak mengantar nya, aku kasihan wajahnya makin pucat dan disitu dia tiba-tiba tak sadarkan diri. Saat aku membawanya ke dokter. Disanalah aku tahu bahwa istrimu sedang hamil. Dia melarangku untuk mengatakannya padamu, Dia bilang ingin mengatakannya langsung padamu Ardi", tutur Arlan.
"Aku pikir kamu sudah mengetahui hal itu. Dan itu berarti dia pergi bersama anak yang ada didalam kandungan nya", ucap Arlan lagi.
Mendadak wajah Ardi menjadi pias, hatinya kembali tak tenang, kacau dan makin berantakan. Dia menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya.
"Ya, Tuhan ... Apa yang kamu lakukan sayang? Dimana kamu sekarang?",gumamnya putus asa.
"Kalau tak salah perhitungan ku, Nia akan melahirkan sebentar lagi. Waktu itu kandungannya baru berusia dua minggu"
"Aku tak tahu harus mencarinya kemana lagi Arlan"
Arlan terdiam dia paham benar perasaan Ardi saat ini. Dia sangat mengenal benar watak sahabatnya itu. Ardi tipe laki-laki yang sulit jatuh cinta, namun sangat penyayang pada orang yang dicintainya. Kali ini Tania berhasil merebut separuh hidup Ardi dan membuatnya terlihat sangat payah. Ardi seperti kehilangan separuh nyawanya. Seperti seorang mayat hidup yang tak punya semangat.
******
Malam itu Ardi sangat gelisah. Hatinya merasa tak tenang. Aliran kesedihan dan penyesalan datang silih berganti padanya. Dia hanya bisa mengutuki apa yang telah dilakukannya, sebuah kebodohan yang tidak mengetahui kehamilan istrinya itu. Yaa... Saat itu pikirannya masih bercabang dua. Hatinya pun sedang terbagi. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki, dia merasa tidak mampu melindungi perempuan yang sangat disayanginya itu.
Sedari tadi Ardi hanya bangun, duduk, bangun dan duduk lagi dari tepi tempat tidur lalu ke ujung sofa. Dia begitu marah. Marah pada dirinya sendiri. Dia merasa sangat takut dan khawatir dengan keadaan Tania dan juga anak yang ada dalam kandungannya itu. Anak yang lama dia harapkan.
"Sayang, kamu dimana? Aku mohon kembalilah padaku. Aku merindukanmu dan juga anak ku. Anak kita"
Ada pucuk air yang tergenang diujung matanya. Sebuah kelemahan yang tidak pernah ditunjukkan nya pada siapapun. Sebagai seorang laki-laki, segagah atau sekuat apapun dia, pasti tak akan sanggup melihat orang yang disayanginya menderita. Membayangkan saja Ardi sudah takut, apalagi jika itu benar-benar terjadi pada Tania dan juga anak mereka.
******
Matahari sudah lewat dari puncak kepala saat Ardi membuka matanya, semalaman dia tak dapat memejamkan matanya. Rasa tak tenang membuat dia sulit untuk tidur. Ardi memeluk lagi guling kesayangnya itu. Membenamkan kepalanya jauh lebih dalam.
drr.... drrr...
Ponselnya bergetar. Rasa malas menyelimuti dirinya. Dia enggan untuk bangun dari tidurnya.
drrrr.... drrrr...
Lagi ...
Ponselnya kembali berteriak lantang memekakkan telinga nya. Matanya yang mulai terpejam lagi kembali melotot. Dengan enggan dia bangun menuju sofa dan mengambil telepon itu.
Arlan.
Nama itulah yang tertulis pada layar ponselnya.
Klik ...
"Ada apa, Arlan?"
"Kamu baik-baik saja, Ardi? Suaramu parau sekali"
"Hmmm. .. aku baru saja membuka mataku"
"Sepertinya aku perlu membawamu melihat sesuatu yang bisa membuatmu lebih segar"
"Maksudmu?"
"Minggu depan ikutlah denganku"
"Kemana?",tanya Ardi.
"Apa kamu lupa Ardi? Kita dapat undangan temu Alumni OSA (overseas student association) di villa kota sebelah"
"Oooh... iya. Aku tak janji aku bisa ikut denganmu Arlan"
"Ayolah, Ardi. Kosongkan jadwalmu minggu depan. Kita bersenang-senang disana. Aku ingin kamu sedikit bergembira. Jadi otak mu yang kecil itu bisa berfikir dengan jernih. Aku akan memaksa kali ini. Kamu harus ikut. Aku tak ingin mendengar penolakan darimu. Oke??!"
"Hmmm.."jawab Ardi tanpa kata-kata.
Klik
Dia mematikan teleponnya. Arlan dan dirinya sama-sama pengurus OSA pada zamannya. Sebuab organisasi persatuan mahasiswa yang belajar diluar negeri. Bahkan Ardi pernah didampuk menjadi ketuanya selama dua periode. Mereka sering melakukan temu alumni setiap tahun. Namun kali ini dia enggan untuk pergi. Hanya demi Arlan lah dia bersedia untuk pergi dalam acara itu.
******