Malam itu hujan turun dengan derasnya menimbulkan aura dingin yang khas.
Suara petir menggelegar seperti menghantam kaca jendela kamar Alvina.
Gadis itu masih berdiri di depan jendela kamarnya.
Air matanya mengalir deras sederas hujan yang turun.
Dulu, setiap kali memandang hujan, perasaannya akan jauh lebih tenang.
Tetapi sepertinya keadaan kali ini berbeda.
Hujan tidak mampu lagi menghilangkan kesedihannya.
Air matanya terus mengalir membuat setiap orang yang melihatnya pasti akan ikut merasakan kepedihan yang sedang di alaminya.
Sekejam itukah?
Sekejam itukah orang yang selama ini begitu di percayanya?
Bahkan sekarang ia bukan sebuah prioritas lagi.
Semua janji-janji itu hanyalah bualan !
Semua lelaki sama saja !
Benak Alvina kacau oleh pikiran-pikiran buruk yang terus berkecamuk di kepalanya.
Tangannya bergerak menghapus air matanya dengan kasar. Sebuah kilat aneh penuh kekecewaan terbersit dari matanya.
Sementara itu Rio yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Alvina, melangkah dengan tergesa-gesa menuju kamar adiknya.
Tok tok tok
Suara pintu di ketuk terdengar di susul suara petir yang menggetarkan kaca jendela.
Tok tok tok
Masih tidak ada sahutan dari dalam.
"Alvi ? Ini kakak buka pintunya !" Teriak Rio sambil terus mengetuk pintu kamar adiknya.
Cklek
Ternyata tidak di kunci.
"Al ?" Rio melongok ke dalam, gelap.
Ia pun mencari saklar lampu dan menghidupkannya.
"Al !!" Teriaknya ketika melihat tubuh adiknya terkulai di lantai dengan darah berceceran dimana-mana.
*****