Pagi ini embun yang menyejukkan masih melekat pada daun-daun hijau. Sinar matahari di angkasa mulai menyingsing. Namun, suhu di kota ini masih terasa sejuk. Di pertengahan Kota Yogyakarta, suasana kompleks perumahan ini masih sepi. Ada sebuah rumah sederhana dan minimalis di tengah beberapa rumah lainnya.
Siapa yang tak kenal dengan Kota Yogyakarta ini? Sungguh, selain dirindukan wisatawan karena memiliki wisata yang eksotis. Pun orang-orang Yogyakarta masih kental dengan keramahan dan sopan santunnya.
Ding ... Dong ...
Di sana seorang pemuda menekan bel pada bibir pintu di sebuah rumah minimalis. Rumah bercat putih gading itu terlihat kuno dan sederhana tapi terawat. Pemuda bertubuh atletis itu masih berdiri. Dengan sabar menunggu sang empunya rumah itu membuka pintu.
Terlihat dari jendela dengan korden yang sedikit terbuka. Di dalam rumah itu seorang gadis berbusana muslimah lengkap dengan jilbabnya yang menjuntai. Ia bergegas menuju pintu sembari mengernyit dahi. Gadis dengan tinggi 160 sentimeter itu berjalan dengan rasa penasaran.
"Siapakah gerangan sepagi ini datang ke rumahku?" gumam gadis itu.
Gadis cantik ini memiliki wajah putih langsat. Mata bulat dan sayu. Pipinya yang tambam membuat ia terlihat manis. Kemudian saat ia hendak membuka pintu rumah. Tangannya yang lentik menyentuh ganggang pintu. Namun, Ayahnya datang menghampirinya. Gadis itu lantas menoleh ke arah Ayahnya.
"Fina, sepertinya ada tamu, ya?" tanya sang Ayah seraya berjalan membawa sebuah koran.
"Iya, Yah. Ini Fina mau membuka pintunya," jawab gadis yang dipanggil Fina.
Pelan-pelan Fina membuka pintu. Sontak ia tercengang dengan kehadiran seorang pemuda dihadapannya. Mata Fina terpaku oleh paras pemuda itu. Pemuda itu lebih tinggi dari dirinya. Tingginya sekitar 178 sentimeter. Parasnya oriental, tampan dan manis. Memiliki mata bulat agak sipit. Rambutnya yang ikal dibiarkan acak-acakan. Sehingga poninya hampir mendekati kelopak matanya.
Pemuda itu senyum merekah sembari mengucapkan salam kepada Fina. Cepat-cepat Fina sadar dari lamunannya. Kemudian ia membalas ucapan salam dari pemuda itu. Tentu saja Fina terkesima dengan kehadiran sosok pemuda yang belum lama ta'aruf dengannya. Ayah Finalah yang memperkenalkan Fina pada pemuda ini. Karena pemuda ini dekat dengan Ayah Fina.
Mulanya pemuda ini menolong Ayah Fina dari kejadian kecopetan lampau itu. Belum lama juga, lelaki itu berniat baik untuk melamar Fina tepat dihadapan Ayah Fina. Akan tetapi, sepertinya hari ini ada sesuatu yang berbeda. Terlihat dari guratan wajah pemuda itu seperti ada yang mengganjal.
Fina tetap prasangka baik terhadap lelaki yang tiga tahun lebih muda darinya itu. Sebenarnya Fina diam-diam juga mencintainya. Ada harapan yang diimpikan gadis ini. Harapan indah bersama lelaki yang diam-diam dicintainya.
"Dareen!" Mata Fina membulat sempurna.
"Maaf, sepagi ini aku kemari hehehe," ujar lelaki yang disapa Dareen itu.
"Hmm, ada apa, ya?"
"Bolehkah mempersilahkan aku masuk? Eh, tapi ada Om Aan, Ayahmu?"
"Ayah ada, itu lagi baca koran di ruang tamu. Mari silahkan masuk!" Ucap Fina sembari mempersilahkan Dareen masuk ke dalam rumah.
Keduanya berjalan berdampingan menuju ke ruang tamu. Sempat terjadi curi-curi pandang di antara keduanya. Sebelum Dareen duduk, ia bersalaman terlebih dahulu kepada Ayah Fina. Penuh kesantunan dan hormat.
Pria setengah baya yang selama ini Dareen anggap bakal calon mertua. Dareen sesekali mengangguk sebagai tanda hormat kepada Ayah Fina. Mereka duduk berlawan arah. Disusul oleh Fina yang duduk berdampingan dengan Ayahnya.
"Dareen mau minum sesuatu?" tanya Fina.
"Eh, enggak perlu. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu dan Om Aan. Hanya sebentar saja di sini," jawab Dareen tersenyum sembari memainkan jemarinya.
"Memang, apa yang ingin dibicarakan? Langsung saja!" ujar Aan berparas tegas dengan bulu jenggot tipis di dagunya.
"Sebenarnya saya tidak enak dan sangat berat berbicara seperti ini," imbuh Dareen menunduk seraya mengumpulkan nyali.
"Tidak perlu bertele-tele, ayo bicarakan saja!" Desak Aan yang tadinya membaca koran. Kini meletakkan koran tersebut di atas meja.
Dareen mengembuskan napasnya begitu kasar. "Belum lama ini saya ada berniat baik untuk melamar Fina dihadapan Om. Dan saya juga punya rencana untuk mengajak keluarga saya ke mari. Akan tetapi ..."
"Tapi apa?" pangkas Aan.
"Waktu saya pulang ke Surabaya. Sesampainya di sana, saya sudah menyampaikan niat baik saya untuk melamar Fina kepada Ayah dan Umma saya. Namun, di sana, Ayah dan Umma saya telah menjodohkan saya dengan anak sahabatnya sejak lama. Saya tidak bisa menolak perjodohan itu. Maafkan saya, Om." Dareen kian menunduk. Ia tidak berani menatap Aan. Pastinya ia sangat ketakutan melihat reaksi Aan.
"Astaghfirullahal'azim! Saya sangat kecewa!" gertak Aan menarik napas sembari menahan emosinya.
Gurat gusar itu bagai tersulut sambal. Tentunya, ada kekecewaan yang mendalam dalam diri Aan. Aan hanya bisa mengatur napasnya yang agak sesak itu.
Fina beranjak dari duduk dengan mata yang berpijar. "Kenapa begini sih, Reen? Kenapa tidak dari dulu kamu jelaskan bahwa kamu dijodohkan orang tuamu?"
Dareen juga turut berdiri dihadapan Fina. "Maafkan aku, Fin. Aku tahu kamu sangat kecewa. Aku juga terkejut, waktu aku pulang ada berita seperti itu. Dan aku baru tahu."
"Maaf, katamu? Awalnya aku memang ragu padamu tapi kamu dekat dengan Ayah. Dan aku jadi yakin padamu."
Dada Fina semakin sesak namun sebisa mungkin ia bersikap tegar. Pagi itu rasanya hati Fina bagai disayat pisau. Dihujam panah yang menusuk relung hatinya. Rasa kecewanya berhasil menguasai hatinya. Cinta? Entah itu ke mana? Sepertinya sudah diselemuti patah hati. Fina selalu menatap tajam ke arah Dareen seraya mendengus kesal.
"Aku pikir kamu laki-laki yang serius dan tulus, ternyata salah! Selama ini kamu juga selalu meyakinkan aku. Yang awalnya aku acuh tak acuh hingga jadi mengenal ..." Fina menahan pembicaraannya.
"Mengenal apa?" tanya Dareen penasaran.
"Fina, sabar Nak! Sudah, jangan urus lagi laki-laki itu! Biarkan dia pergi dari sini!" hardik Aan masih duduk di kursi ruang tamu dengan perasaan yang menyesakan dada.
"EERRGGHH!" pekik Fina dengan kasarnya mendorong punggung Dareen hingga ke luar dari rumahnya.
Saking pilunya, hingga Fina tidak peduli lagi, Dareen tersungkur di lantai teras rumahnya seraya berkata, "Kamu pergi dari sini! Jangan pernah hadir kembali di hidupku! Jangan cari aku lagi!"
BRAAKK!
Dari balik pintu rumah, Fina tidak bisa membendung tangisnya. Sakit, pilu, kecewa dan terluka beradu jadi satu. Ia menyandarkan punggung di daun pintu. Pelan-pelan ia meringkuk kemudian duduk di atas lantai.
Gadis malang itu meremas jilbabnya dengan kedua tangan. Air matanya kian berderai membasahi jilbabnya. Hati Fina benar-benar meracau. Tubuhnya sontak lunglai. Ingin marah, tiada guna lagi. Yang pastinya dari dasar hatinya sudah terlalu kecewa kepada Dareen.
Melihat sikap putrinya seperti itu. Aan dengan sigapnya memeluk putri tunggalnya yang sedang terluka. Aan membopong Fina untuk dibawa ke kamarnya. Aan juga tak kalah kecewanya dengan Dareen. Hatinya berprinsip untuk tidak lagi memperkenalkan Fina dengan Dareen.
***
Dareen perlahan meninggalkan rumah itu. Sejenak ia menoleh rumah gadis yang sudah masa ta'aruf beberapa bulan. Gadis yang rencananya akan dilamarnya. Dirinya pulang hanya membawa perasaan bersalah. Ia bingung antara memilih Fina dengan Ayahnya atau kedua orangtuanya.
Lelaki yang konon masih keturunan Korea ini meradang sendiri. Ia berkelahi dengan dirinya sendiri. Tentu, ini pilihan yang sulit baginya. Dareen merasa sudah mantap untuk memilih Fina. Baginya, Fina adalah gadis yang tepat untuk diperistri. Walau Dareen tahu, jarak usia di antara mereka selisih tiga tahun. Ya, usia Dareen lebih muda dari Fina. Di sisi lain, ia juga tidak ingin jadi anak durhaka kepada orangtuanya.
Kala Dareen menuju ke mobilnya. Ada suara dering gawai dari dalam saku celananya. Dareen bergegas merogoh saku celana. Begitu melihat layar gawainya. Sontak ia terkejut karena ada panggilan masuk dari Ummanya. Umma adalah Ibu yang selalu disayanginya.
Dengan cekatan, Dareen mengangkat telepon dari Ummanya. Ia juga harus menunjukkan sikap tenang. Seolah hari ini tidak terjadi hal yang memilukan. Di sana Dareen hanya mengatakan sepatah kata kepada Ummanya.
"Dareen tidak mencintainya, Umma. Dareen sudah mengambil keputusan. Dareen hanya peduli padanya. Apalagi Dareen sudah dekat dengan Ayahnya. Sekarang Dareen akan pulang." Ucap Dareen tidak mau bertele-tele dan memperpanjang urusan. Kemudian ia langsung mengakhiri percakapannya dengan Ummanya melalui telepon.
Akhirnya Dareen masuk ke dalam mobilnya. Ia membanting setir mobil. Melaju kencang sepanjang perjalanan. Hatinya berontak, antara merasa bersalah dan dosa. Merasa bersalah dengan Fina dan keluarganya, karena telah mengecewakan mereka. Dosa, jika dirinya jadi anak durhaka apabila menolak perjodohan yang telah direncanakan oleh orangtuanya. Persetan dengan jalanan, ia terus melaju kencang tanpa arah tujuan.
"Aku tidak bisa mengatakan apapun! Aku payah! Aku bingung! Tiada yang bisa aku lakukan selain maaf dan maaf!" Dareen menghardik dirinya sendiri seraya menancap gas kemudi mobil.