Pagiku tak pernah sekacau ini. Aku terlambat karena terbiasa bangun siang selama liburan. Segalanya menjadi lebih kacau karena ayah sudah berangkat kantor saat aku sedang bersiap. Beliau juga tak mau terlambat ke tempat kerja pada hari pertama. Tanpa memikirkan sarapan aku berlarian menuju gerbang perumahan.
Tak tahu harus menggunakan kendaraan apa untuk sampai ke sekolah, aku bertanya pada dua orang satpam yang sedang berjaga di pos. Seorang satpam bertubuh gempal menjelaskan dengan ramah bus apa yang harus aku naiki dan dimana halte untuk menunggunya. Setelah mengucapkan terima kasih aku berlari menuju halte kecil berwarna merah yang tak jauh dari gerbang perumahan.
Aku menghela nafas lega. Rupanya tak hanya aku saja yang harus menunggu bus. Ada dua anak dengan seragam SMA sudah menunggu disana. Seorang anak perempuan berambut sebahu duduk di kursi sementara anak laki-laki dengan rambut cepak bersandar pada tiang halte. Keduanya mengenakan seragam abu-abu dari dua sekolah berbeda. Yang perempuan berseragam rapi lengkap dengan dasi sementara yang laki-laki penampilannya lebih santai. Baju dikeluarkan dengan celana menyempit di bagian bawah. Keduanya bukan berasal dari sekolah yang sama denganku.
Bus yang harus aku naiki datang tak lama kemudian. Bus itu berwarna merah terang berukuran sedang. Dari jendela aku bisa melihat bus itu sudah hampir penuh karena melihat bannyaknya pelajar berdiri. Tangan mereka berpegangan pada tali gantungan bus.
Aku menjadi orang terakhir yang masuk bus sebelum pintu tertutup. Tak banyak tempat tersisa sehinga aku berdiri paling dekat dengan pintu. Kondektur bus langsung sibuk menarik ongkos. Aku melihat anak laki-laki yang tadi menunggu di halte menyerahkan selembar uang seribu dan aku mengikutinya. Kondektur menukar uangku dengan selembar tiket lalu menyuruhku agak mundur. Aku harus menggeser tubuh ke bagian tengah bus agar bisa berdiri memegang tempat gantungan.
Untuk bus yang beroperasi di sebuah kota kecil ternyata fasilitasnya cukup lumayan. AC bekerja dengan normal, terdapat banyak gantungan diantara deret kursi yang posisinya berhadapan dan penumpangnya cukup tertib. Orang tua diprioritaskan untuk duduk di kursi sementara mereka yang lebih muda berdiri di tengah-tengah bus. Tak banyak orang tua yang naik di bus ini sehingga separuh kursi diduduki pelajar. Seorang siswi SMA berambut panjang duduk di kursi di depanku. Aku memundurkan diri agar lutut kamu berdua tak bersentuhan.
Bus berjalan dengan kecepatan penuh dijalan yang mulai sepi. Sebuah gedung sekolah mulai terlihat dari kejauhan dan kecepatan menurun. Bus merapat ke sisi halte sebuah SMA. Anak perempuan yang aku temui di halte turun ke halte diikuti empat anak laki-laki yang sebelumnya duduk.
Pintu tertutup dan bus kembali berjalan dengan kecepatan penuh. Kondektur tadi sempat bilang aku harus turun di halte kedua. Aku mencoba menyipitkan mata, karena tak tahu dimana sekolahku berada. Tapi sepanjang mata memandang aku tak menemukan gedung sekolah. Bus mulai menurunkan kecepatannya. Apakah ini halte yang benar?
Saat aku masih berfikir, gadis di depanku menepuk lenganku. Hampir saja aku terlonjak. Dengan wajah mengantuk dia bertanya apakah sudah melewati sekolahnya? Aku tanya dimana sekolahnya. Ternyata dia satu SMA denganku. Aku mengatakan bahwa bus ini baru sampai ke sekolah x. Gadis itu segera berdiri.
"Kalau begitu harus turun disini."
Bus berhenti di depan halte dan gadis itu segera melompat turun. Aku belum melihat gedung sekolah tapi aku ikut melompat ke halte. Anak perempuan itu lari cepat sekali, gantungan kelinci ditasnya bergoyang hebat.
Meski awalnya ragu, akhirnya aku yakin kalau turun di halte ini adalah jalan yang tepat. Ada sekitar setengah penumpang bus dengan seragam yang sama persis denganku ikut turun di halte yang sama. Aku ikut berlari mengikuti mereka menyusuri jalan. Gedung sekolah mulai terlihat, sekitar 500 meter dari halte.
*
Aku memasuki ruang tata usaha karena tak tahu harus masuk ke kelas yang mana. Seorang wanita paruh baya dengan kacamata persegi menyambut dan mendengarkan penjelasanku. Beliau menyuruhku duduk di sofa selagi menunggunya pergi.
Tadi aku sempat memperhatikan. Sekolah ini lebih kecil dari pada dugaanku. Mungkin karena letaknya di sebuah kota kecil, tak seperti sekolahku yang lama. Meski begitu, kata ayah sekolah ini adalah yang terbaik di seluruh kota. Hanya anak-anak tercerdas yang bisa masuk ke sini. Deretan piala di sepanjang koridor membukatikan hal itu.
Aku sedang melamun sambil mengamati deretan piala di ruang TU saat wanita itu masuk kembali bersama guru laki-laki yang mungkin usianya sudah 50-an. Beliau mempernalkan diri sebagai Pak A rif, guru bahasa jawa. Pak Arif akan menjadi wali kelasku selama disini. Setelah perkenalan singkat, Pak Arif mengajakku masuk ke dalam kelas karena tak ada waktu lagi. Bel masuk kelas sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu.
"Dari SMA mana dulu?"
Aku menyebutkan sekolah asalku sampai semester lalu.
"Oh… terus pindah kesini karena?"
"Ikut orang tua."
"Padahal sayang. Kenapa nggak dilanjutin aja sampai lulus di sekolah lama?"
Menjadi anak baru di pertengahan semester 1 kelas 12 bukanlah hal yang wajar. Kalau boleh memilih aku juga akan tetep tinggal disana. Masalahnya itu bukan kuasaku untuk menentukan. Aku mengulas senyum sebagai jawaban.
Kami berhenti di depan sebuah kelas dengan pintu tertutup. Kelas 12 IPA 1. Pak Arif menyuruhku menunggu di luar sementara beliau masuk ke dalam kelas. Dari celah pintu aku melihat Pak Arif sedang menjelaskan situasinya kepada seorang wanita muda yang duduk di meja guru. Guru muda itu mengangguk beberapa kali, lalu melihat kearahku sambil tersenyum. Pak Arif melambaikan tangan, menyuruhku masuk.
Aku masuk ke dalam kelas dengan santai. Toh ini bukan pertanya kalinya aku pindah sekolah. Aku sudah terbiasa mendapat sorakan, ejekan, tatapan penuh minat dan reaksi aneh lainnya.
Aku berdiri dengan penuh percaya diri, sambil mengamati reaksi mereka. Dahiku berkerut. Baru pertama kali aku melihat reaksi seperti ini. Mereka terlihat tak peduli dengan keberadaanku. Tak ada wajah antusias, mengejek, jahil ataupun penuh tanya yang biasa aku lihat. Mereka hanya melirikku sekilas lalu menunduk lagi, sibuk dengan buku. Hanya ada beberapa siswa yang masih menatapku dengan wajah datar.
"Ayo kenalan dulu!"Pak Arif mempersilahkan,
"Hallo."suaraku bahkan terdengar sumbang oleh telingaku sendiri. "Namaku Khafa Kevandra. Salam kenal."
Kehingan menyusul kemudian. Sudah kuduga. Menjadi seorang soliter di sekolah akan terulang lagi kali ini.