Kejora tidak dapat tidur dengan nyenyak, setiap beberapa detik terlelap dengan seketika tubuhnya terperanjat karena mimpi buruk. Pengalaman pertama yang menyakitkan itu selalu terbayang dan menghantuinya sampai kebawa ke alam bawah sadar.
Kejora ingin berteriak meratapi kehidupannya, akan tetapi tenggorokannya tercekat seperti dicekik. Baginya di dunia ini tiada satu orangpun yang menyayanginya, sekalipun itu kedua orang tuanya sendiri. Kejora merasa heran kenapa semenjak kecil selalu dibeda-bedakan oleh Ayah dan ibunya.
Waktu menunjukkan pukul tiga malam, dari pada dia tidak bisa tidur Kejora memilih mencurahkan kejadian ini pada sahabatnya.
03.20
Dear Diary
Mawar merah adalah bunga kesukaanku, tapi kini aku membencinya. Karena mawar merah telah memberikan kenangan menyakitkan.
Sekarang aku sudah menjadi seorang istri, dari lelaki yang hanya aku tahu namanya saja.
Aku takut, jika setiap malam akan terus-terusan menjadi mimpi buruk seperti ini.
Teman…
Pada siapa lagi aku mengadu, jika kedua orang tuaku sendiri mengabaikan aku.
Sebenarnya siapa aku? Apa aku ini bukan anak kandung mereka?
Mengingat tulisan tangannya yang terakhir membuat luka Kejora semakin dalam.
Kejora terlahir dari keluarga yang cukup mampu, dia memiliki adik lelaki yang kini masih kelas dua SMA.
Biarpun sama-sama anak kandung tapi dia dan Levian diperlakukan secara berbeda. Alasannya hanya karena dia perempuan yang kelak ikut suaminya. Sedangkan adiknya adalah laki-laki yang akan meneruskan usaha keluarga.
Miris memang, Levian sejak kecil tanpa meminta segalanya sudah dicukupi, masuk SMA sudah punya motor sendiri. Bahkan uang jajan juga diberi lebih.
Sedangkan Kejora diberi jatah uang pas-pasan, untuk membeli barang juga berusaha sendiri dengan bekerja sambilan sebagai penjaga toko yang gajinya tak seberapa. Kedua orang tuanya menganggap jika seorang perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi, karena ujung-ujungnya hanya bertugas di dapur. Untung saja Kejora anak yang rajin sehingga dia bisa mendapatkan beasiswa di perguruan tinggi.
Namun baru dua tahun kuliah dia sudah mendapatkan lamaran dari keluarga kaya, jadi orang tuanya dengan bangga menerima lamaran tersebut tanpa meminta persetujuan putrinya terlebih dahulu.
Tiada terasa dua jam Kejora hanya termenung mengingat masa kecil kurang bahagia.
"Sebaiknya aku mandi dan keluar dari kamar, sebagai menantu aku tidak mau di cap pemalas," batin Kejora mengambil baju di lemari.
Saat berjalan Kejora merasakan selangkangannya masih perih, Kejora hanya meringis menahan sakit dan tetap melangkah secara perlahan agar suaminya tidak terbangun.
Setelah selesai mandi kejora keluar dari kamar dan menuju dapur, di sana sudah ada Ibu mertua dan pembantu.
"Selamat pagi, Ma," sapa Kejora sopan.
"Selamat pagi, kebetulan sudah bangun. Kamu bisa masak kan?" tanya Ulva tanpa basa-basi.
"Sedikit-sedikit bisa, Ma," jawab Kejora tersenyum ramah.
"Baguslah, sebagai seorang istri kamu harus bisa memasak. Kalau tidak bisa sebaiknya kamu belajar pada Bik Warni," kata Ulva berlalu pergi.
Kejora hanya tersenyum menanggapi ibu mertuanya yang agak judes itu, dia sudah banyak mendengar jika ibu mertua memang seperti itu.
"Bik, makanan kesukaan Mama, Papa dan Mas Haidar apa?" tanya Kejora lembut.
"B Ulva sama Pak Imron suka soto. Sedangkan Mas Haidar menyukai rendang," jawab Warni sopan.
"Baiklah, kalau begitu sekarang kita masak itu saja," jawab Kejora.
"Iya, Mbak Kejora. Mari saya bantu," ucap warni bersuka cita.
Kejora merasa terhibur juga berkenalan dengan Warni, biarpun usia mereka terpaut jauh tapi Warni sangat baik dan ramah.
Mereka berdua mulai menyiapkan bumbu-bumbu dana bahan yang akan di masak. Sambil bekerja mereka saling mengobrol agar tidak jenuh.
"Bik Warni punya anak berapa?" tanya Kejora.
"Dua, Mbak. Yang pertama kelas Satu SMP sedangkan anak saya yang kedua kelas empat SD," jawab Warni.
"Apa mereka tidak sedih jika ditinggal bekerja?" tanya Kejora penasaran.
"Saya bekerja dari jam Lima pagi sampai jam tujuh malam saja. Setelah itu saya pulang ke rumah. Tidak jauh kok dari sini, berjalan sekitar Dua puluh lima belas menit," jawab Warni tersenyum lebar.
"Oalah, kalau begitu enak ya? Bisa mencari uang tambahan tapi juga masih bisa melihat anak-anak," timpal Kejora ikut senang.
"Iya, Mbak. Untung saja anak-anak pengertian dan mandiri," jawab Warni bangga.
"Suami Bik Warni kerja apa?" tanya Kejora semakin penasaran.
"Tukang bangunan, saya sendiri sih tetap bersyukur yang terpenting ada pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari," jawab Warni.
Lewat perkenalannya dengan pembantu tengah baya itu Kejora mengambil hikmah, jika hidup harus banyak-banyak bersyukur.
Satu jam kemudian semua sudah di masak, tinggal menunggu makanan matang saja.
"Bik Warni sebaiknya mengerjakan tugas lainnya saja. Biar aku yang mencuci perabotan sambil menunggu masakan matang," pinta Kejora.
"Jangan! Biar saya yang mencuci," sergah Bik Warni cemas.
"Tidak apa-apa, kalau kita cepat selesai nanti bisa lanjut ngobrol lagi," sela Kejora.
"Baiklah, terima kasih banyak ya Mbak Kejora karena sudah meringankan beban saya," ucap Warni tulus.
"Iya sama-sama. Mulai sekarang kita keluarga, jadi seharusnya saling membantu," jawab Kejora tulus.
Pembantu tersebut langsung pergi dengan hati yang terbaru, karena baru kali ini ada majikan yang sebaik itu.
Tepat dengan selesainya Kejora mencuci perabotan kotor, masakannya juga sudah matang. Kejora segera mematikan kompor dan memindahkan ke wadah khusus.
Kejora memindahkan masakan tersebut menuju meja makan. Tidak di sangka jika tak jauh dari ruang meja makan ada kedua mertuanya.
"Loh, Apa Nak kejora yang memasak?" tanya Imron ramah.
Kejora hanya menundukkan kepalanya dan tersenyum saja.
"Tadi Mama sudah melarang, tapi Nak Kejora sendiri yang ingin memasak untuk kita," sela Ulva.
"Oalah, kalau keinginannya sendiri tidak apa-apa. Tapi jika kecapean tidak perlu melakukan apapun. Apalagi dua hari lagi mulai masuk kuliah," kata Imron bijaksana.
Kejora hanya tersenyum sekali lagi dan kembali ke dapur untuk mengambil rendang. Namun hatinya terasa tersayat saat Ibu mertuanya berbicara yang bukan sebenarnya. Kini Kejora tahu, jika di rumah ini orang yang benar-benar tulus hanyalah Bik Warni dan Bapak mertuanya. Sedangkan untuk adik iparnya dia masih belum tahu. Karena orang bisa saja berubah seiring berjalannya waktu.
Lima belas menit kemudian Haidar, Indah dan suaminya sudah turun dari lantai dua secara bersamaan.
"Wah, makannya harum sekali," ucap Indah senang.
"Ini kakak ipar kamu yang masak," jawab Imron senang.
"Ayo kita mulai makan, aku juga sudah penasaran dengan rasanya," ajak Ulva tersenyum ramah.
Kejora tidak menyangka jika Ibu mertuanya bermuka dua, di hadapan orang banyak tersenyum padanya. Sedangkan hanya hanya berdua berubah ketus.
"Wah, enak! Istriku, lain kali kamu belajar memasak pada kakak iparnya ya?" Ujar Hidayat.
"Oke, tapi Minggu depan saja. Setelah ini kita langsung pulang ke rumah," jawab Indah.
"Indah, di rumah orang tua sendiri kok tidak betah," sindir Ulva.
"Bukan begitu, Ma. Tapi mertuaku sudah nanyain terus kapan pulang, kasihan mereka kesepian di rumah," jawab indah.
"Ngobrolnya nanti saja setelah makan!" tegur Imron lembut.
Akhirnya mereka mulai fokus makan. Dari obrolan barusan dan dari raut wajah indah dia tahu jika adik iparnya itu hidup bahagia.
Kejora ikut tersenyum melihat kebahagiaan orang lain, tapi ketika merasa ada yang menatap tajam padanya Kejora langsung menunduk melihat nasi di piringnya.
Haidar sejak tadi hanya diam, ekspresinya juga terlihat kaku. Kejora merasa takut terhadap suaminya sendiri. Seakan-akan orang yang semalam merenggut keperawanannya adalah monster.