Chereads / FAVOURITE SIN / Chapter 2 - Belum Tersentuh

Chapter 2 - Belum Tersentuh

Bram masih di tempat kerja ketika Stevi tiba di kediaman sang kekasih. Ia membawa dua buah koper berukuran besar berisi pakaian yang akan dia gunakan selama satu pekan ke depan.

Stevi tersenyum manis begitu Lisa membukakan pintu untuknya.

"Selamat sore, Nona Lisa," sapa Stevi dengan keceriaan yang terlalu dibuat-buat. Dia bahkan sengaja memanggil Lisa dengan sebutan nona. Seolah menegaskan bahwa setelah menikah selama dua tahun pun, Lisa tetaplah seorang gadis. Sama sekali tidak ada tanda-tanda akan segera menjadi sosok ibu.

Lisa bukannya tidak sadar pada sindiran Stevi, tetapi dia berusaha untuk tidak terlalu ambil pusing.

"Selamat sore juga, Stevi." Sapaan balik lah yang akhirnya meluncur dari mulut Lisa. Dia membuka daun pintu rumahnya jauh lebih lebar. "Silakan masuk. Tapi maaf, Mas Bram belum pulang. Dia masih di tempat kerja."

"Aku sudah tahu, kok. Dia kan, selalu mengabariku setiap waktu!"

'Selalu dikabari setiap waktu?' ulang Lisa dalam hati. 'Kapan ya, Mas Bram bisa berbuat seperti itu padaku? Jangankan mengirim chat duluan, membalas pesan dariku pun tidak pernah.'

Setidaknya, lima kali dalam satu hari, Lisa mengirimkan pesan singkat kepada sang suami. Entah itu untuk mengingatkan makan, salat, atau sekadar ucapan 'aku mencintaimu'. Namun, hingga detik ini, tiada satu pesan pun yang berbalas.

"Kenapa kau malah melamun?"

Lisa tersentak. Suara ketus Stevi berhasil mengembalikannya ke realita. "I-iya. Maaf. Aku tadi ...."

"Ya, sudah. Cepat bawa koper-koperku ke kamar. Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat."

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Lisa menuruti perintah Stevi begitu saja. Ia menyeret dua koper super besar milik Stevi untuk naik ke kamar pribadi Bram di lantai dua.

Dulu Lisa pernah mencoba berontak dengan tidak membiarkan dirinya diperlakukan seperti pembantu oleh Stevi. Tapi sayang, Bram yang ternyata memang sesayang itu pada Stevi, langsung murka setelah mendengar pengaduan dari sang kekasih. Tak ayal Lisa pun menjadi bulan-bulanan Bram. Tubuh kecilnya dihajar habis-habisan oleh sang suami.

Beruntung saat itu Stevi langsung memeluk Bram, sehingga emosi pria tersebut perlahan surut kembali.

Lisa tidak tahu dirinya harus berterima kasih pada Stevi atau tidak, mengingat cikal bakal kemurkaan suaminya justru gara-gara Stevi itu sendiri. Yang jelas, dia bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup.

Selesai menaruh koper Stevi di depan kamar Bram, Lisa bergegas turun ke dapur.

Sebentar lagi Bram pulang. Lisa mesti cepat-cepat menyiapkan makan malam yang akan dinikmati oleh sang suami bersama dengan ... kekasihnya.

Lisa menyeka setetes air yang mengalir dari sudut mata. Dengan lirih ia berkata, "Ya Tuhan ... mengapa hidupku semenyedihkan ini?"

***

Keesokan harinya, Lisa terbangun dengan hati yang jauh lebih hancur.

Bagaimana tidak? Semalam suntuk dia mendengar suara-suara mencurigakan dari arah kamar Bram dan Stevi berada.

Meski tidak punya pengalaman, bukan berarti Lisa tidak memahami apa penyebab timbulnya suara tersebut. Dia tentu paham. Sangat paham malah. Yang Lisa tidak habis pikir, mengapa Bram lebih memilih menyentuh wanita yang belum halal baginya, alih-alih Lisa yang jelas-jelas merupakan istri sahnya?

"Selama ini orang tua kita terus bertanya-tanya kapan mereka punya cucu dariku?" Lisa bermonolog. "Andai mereka tahu bahwa sampai detik ini aku masih gadis, dan andai mereka tahu bahwa sampai detik ini pun kau belum menyentuhku sama sekali ...."

Bahu Lisa berguncang pelan. Dia membiarkan segala sedih, kecewa dan sesal yang dirasa ikut larut dalam tangisan.

"Lisa!"

Panggilan keras itu lagi.

Lisa buru-buru menghapus air matanya secara asal, kemudian berlari menuju sumber suara.

"Lisa!" teriak Bram tak sabaran. "Apa kau tidak punya telinga?!"

"I-iya, Mas. Aku segera ke sana!" sahut Lisa setelah yakin suara Bram bersumber dari ruang TV.

Ketika Lisa tiba di sana, tampak Bram dan Stevi sedang duduk berpangkuan mesra. Tatapan mereka lurus ke depan, menyaksikan film luar negeri yang tidak Lisa ketahui apa judulnya.

Kehadiran Lisa berhasil mendistraksi kesyahduan kisah- kasih Bram dan Stevi. Gadis itu refleks turun dari pangkuan sang kekasih sambil merapikan bajunya yang sedikit berantakan. Pipi Stevi tampak merona. Mungkin malu. Namun, rona tersebut justru menambah nilai plus bagi Stevi.

Dari segi fisik, patut diakui bahwa Stevi memang sempurna. Usianya dan Lisa hanya selisih satu tahun, tetapi Stevi tampak sepuluh tahun lebih muda. Perawakannya pun begitu proporsional. Komposisi ukuran pinggang, lengan, bahu dan kaki terlihat benar-benar pas.

Jadi, wajar saja jika Bram begitu tergila-gila pada Stevi. Apalagi dengan adanya fakta bahwa Stevi telah memberikan 'segalanya' untuk Bram.

Kalau sudah begini, Lisa punya kuasa apa?

"Ma—" Lisa menutup mulutnya kembali karena mendapat tatapan tajam dari Bram. Ia lupa, Bram tidak ingin dipanggil mas ketika ada Stevi di sampingnya.

"Jam berapa ini?" tanya Bram tiba-tiba.

Lisa celingukan mencari jam dinding.

"Sekarang pukul sepuluh siang." Stevi yang menjawab. Ia menunjuk arloji putih tulang di pergelangan tangannya. Arloji yang Lisa yakini pemberian dari Bram.

"Pukul sepuluh?!" Lisa kaget sendiri. "Lho? Kenapa kamu belum berangkat kerja, Ma—" Ia menjeda ucapannya sejenak. "M ... kenapa Anda belum berangkat bekerja, Pak Bram?"

"Pak Bram? Hahaha ...." Stevi terang-terangan tertawa puas mendengar panggilan Lisa pada suaminya sendiri.

'Kau benar, Stevi. Kehidupan pernikahanku memang begitu penuh lelucon,' batin Lisa satire.

"Bukan urusanmu aku pergi bekerja atau tidak. Yang jelas, kau bangun terlalu siang hari ini."

'Asal kau tahu, aku terlambat bangun gara-gara kalian juga! Suara kalian terlalu berisik.'

"Dan karenanya, kau membuat kami kelaparan," sambung Bram datar dan diangguki oleh Stevi.

"Astaga, Pak. Maafkan saya," sesal Lisa yang baru menyadari apa kesalahan utamanya. "Saya benar-benar menyesal karena terlambat bangun. Akan tetapi, mengapa Anda tidak coba memesan makanan dari luar dulu?"

Bram terlihat tidak suka. "Kau jangan coba mengajariku! Untuk apa aku menikahimu kalau makan saja harus pesan dari luar, hah?!"

Terdengar menyakitkan. Namun, setidaknya Lisa masih berguna di mata sang suami.

"Sekali lagi, maafkan saya. Saya akan segera memasak untuk kalian. Kebetulan semua bahan dan bumbu sudah saya persiapkan di dalam kulkas."

Bram dan Stevi tidak berniat menjawab. Justru, Bram malah memaksa Stevi untuk naik ke pangkuannya kembali. Menganggap seolah Lisa sudah tidak ada di hadapan mereka lagi.

Kedua insan itu pun kembali berpangkuan mesra. Lengan kekar Bram melingkar di perut rata Stevi. Sebuah pelukan erat dan posesif.

Jujur saja, Lisa iri sekaligus sakit melihat pemandangan di depan matanya itu. Tetapi dia tidak bisa beranjak sekalipun ingin. Kakinya seolah terpaku, hingga tak mampu melangkah.

Di tengah kekalutan hati Lisa, tiba-tiba saja dia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kemudian disusul ketukan pelan di pintu depan.

Lisa, Bram dan Stevi refleks saling bertukar pandang.