''Nona Rika.''
''Mmh...''
Pagi itu, Rika merasa tak sanggup bangun. Sejak tadi nona manis itu terus-terusan berada di atas tempat tidur. Butler paruh baya hanya berusaha membantu Rika membangunkannya namun nihil.
Rika masih terlihat malas atau... memang tak sanggup sekedar untuk melangkah ke kamar mandi?
Tubuhnya super letih. Ken sialan itu menyetubuhinya tak kenal kondisi. Bahkan saat ia merasa lemah tak berdaya dan hampir pingsan-pun, bajingan itu masih saja melanjutkan aksinya entah berapa jam lamanya.
Rika serasa ingin mati saja. Yang terpikir hanya itu. Mati. Menghilangkan eksistensinya dari dunia.
''Aku lelah, Paman,'' ucap Rika bersuara serak, lirih.
Butler tua menghela nafas singkat dan mengangguk paham. Diselimutinya tubuh Rika sampai sebatas leher.
Niat memeriksa keadaan gadis tersebut jadi berganti membiarkan Rika lebih lama istirahat. Beliau tak habis pikir, bagaimana bisa Tuan Mudanya segila itu pada seorang gadis tanpa mau mengerti perasaan gadis tersebut?
See, Rika tersiksa berat. Batinnya sudah lemah tanpa daya. Hanya menunggu gairah hidup gadis itu berkurang lalu menghilang.
Seorang Fujisaki Kenkichi tak akan pernah menyadari bagaimana gadis pujaannya menderita sampai sebesar ini lalu mungkin bakal memutuskan bunuh diri.
Haruskah begitu?
Rika mengerang pelan kemudian menarik selimut sampai menutupi kepalanya. Ia terisak lagi, lagi, dan lagi sampai puas hingga mata itu akan bengkak nantinya Seluruh tubuhnya ngilu. Mati rasa.
Bahkan ia abaikan saja cairan kental putih milik Ken yang masih menempel di area sekitaran selangkangannya.
Di kamar itu, seorang gadis muda meringkuk dalam selimut sembari menjerit, mengeluarkan semua emosi dan amarah yang ia punya.
Rika merasa ingin mati saja. Serius. Pikiran orang yang sudah nekat tak akan menggubris hal lainnya, sih.
Tapi entah bagaimana perasaannya sedikit tak enak mengenai hari ini. Bukan soal Ken. Heh? Jangan terlalu berharap tinggi, tapi soal entah apa itu.
•◊•◊•◊•
Ken selesai mengantar Nyonya Tadashi ke rumah sakit sekitar jam 12 siang. Lalu ia mengajak jalan-jalan dulu membeli roti dan beberapa baju bagus untuk Nyonya tersebut.
Jam 1 siang setelah selesai makan siang di resto mahal, Ken pun mengantar Ibunya Rika pulang. "Bye, Okaa-san! Jangan lupa minum obatmu secara teratur, ne!" Ia melambai ke Nyonya Tadashi yang membalas serupa.
Sesampai di rumah, Ken mendapati Rika masih meringkuk di kasur kamar Ken. "Putri tidur, bangunlah. Kalau kau tetap seperti itu hanya akan membangkitkan berahiku lagi. Kau mau?" godanya.
"Ayo cepat bangun dan bersihkan badanmu," Ken pun memeluk Rika yang masih meringkuk di kasur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas leher.
"Hei? Kenapa matamu sembab begitu? Sebentar, aku akan ambilkan obat tetes mata yang sangat mujarab membuat mata merah langsung jernih, dan aku juga punya gel hebat untuk mengempiskan mata sembab."
Ken pun berjalan menuju sebuah lemari di kamarnya dan mengambil dua macam benda. Obat tetes mata dan tube kecil isi gel khusus. Sebenarnya, Ken biasa menggunakan produk itu bila ia menangis merindukan orang tuanya.
"Nah, pakailah ini semua lalu ikut aku ke suatu tempat. Aku juga sudah membelikanmu satu stel pakaian yang manis. Itu sudah ada di atas meja. Tenang saja, bukan mini-dress, kok. Ini... perintah, sayank..."
''Haik.'' Rika menatap Ken tanpa gairah seraya menatap dua benda yang tadi diberikan oleh pria tersebut. Apa ia harus ikut? Tapi Rika sedikit takut dan trauma dengan sebab sangat jelas.
Memangnya siapa yang membuat matanya sembab, hah?!
''Gomennasai merepotkan Ken-sama,'' ujar Rika lirih. ''Mata saya sembab mungkin karena terus menangis saat Anda menjamah saya,'' imbuh Rika seraya teteskan obat mata tadi pada dua matanya.
Trauma mendalam Rika membuat ia berpikir buruk tentang Ken. Bahkan sebelum tahu akan dibawa kemana, Rika sudah berpikir jika pria muda itu akan mengakhiri semuanya pada seks lagi.
Usai mengoleskan gel pada area bengkak, Rika melangkah turun dari ranjang. Ia bahkan menolak kala Ken menawarkan bantuan memandikannya namun, pria itu memaksa.
Rika bahkan menjerit seperti orang kesetanan kala Ken bermaksud memandikannya. Gadis itu masih merasa was-was saat tangan itu mulai menyentuh permukaan kulitnya.
Akhirnya, Rika memakai pakaian yang diberikan oleh Ken. Hari itu ia sedang beruntung karena pria Fujisaki itu tak melakukan pemaksaan lagi.
Rika terlihat cantik, tapi mukanya pucat bagai orang sakit. Trauma berkepanjangan tak akan berhenti dengan mudah jika pelakunya bahkan membuat trauma itu semakin besar, bukan malah menguranginya
Ken sudah berkali-kali meminta maaf soal ia yang dikata pelaku yang membuat mata Rika bengkak karena kebanyakan menangis.
Maka dari itu, Ken tak mau memaksa Rika hari ini dengan hal-hal yang berhubungan dengan seks.
"Nah, lihat... kau sangat cantik dan manis. Ahh, jangan lupa tas tanganmu ini. Kuharap kau suka modelnya." Ken tersenyum lembut. "Ayo kita berangkat sekarang."
Ken pun memasukkan Rika ke mobilnya dan melaju pelan-pelan. Tidak ngebut. Ia seperti menikmati waktu berduaan begini. Hati Ken merasa bungah karena ini bagai mereka sedang kencan berdua. Ohh, mungkin kapan-kapan Ken harus membawa Rika keluar begini untuk kencan agar Rika tak bosan.
Mobil pun berhenti di tempat yang tak asing untuk Rika. Rumah sang gadis itu sendiri.
"Ayo." Ken membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangan agar Rika bisa keluar, karena mobil itu agak susah bagi wanita yang memakai rok.
Ken mengetuk pintu rumah Rika, dan dibuka oleh Ibunya yang sangat kaget melihat siapa tamunya. Wanita itu langsung merengkuh Rika, lalu menoleh ke Ken, akan mengatakan sesuatu, namun di belakang Rika, Ken menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberi kode pada Beliau.
"Saya... sopir keluarga tempat nona Rika bekerja, Nyonya," sahut Ken agar Nyonya Tadashi tidak bingung mengenai apa yang ingin disandiwarakan Ken.
"Ahh... sopir keluarga tempat anakku bekerja! Baik sekali majikanmu mau mengantarkan Rika berkunjung ke Ibunya ini, ahaha... ayo kalian semua, masuklah!" Nyonya Tadashi mengikuti alur sandiwara Ken.
Rumah. Ibu. Dua hal yang amat Rika rindukan ada di depan mata. Rika tidak tahu apa maksudnya Ken membawanya ke tempat ini, namun ia tak perduli.
Anggap saja... mungkin bayaran atas tubuhnya. Haha. Rasanya semua yang Ken lakukan selalu ia pikirkan berpuncak pada satu hal. Membayarnya. Kejam? Salah siapa? Ken sendiri.
Setelah masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa, Rika langsung memeluk Ibu-nya erat dan menangis. Ia keluarkan semua sesak di dada yang selama ini dirinya tahan melalui satu pelukan.
''Ahh, Rika sepertinya sangat merindukan Ibu. Bagaimana pekerjaanmu? Tak ada masalah, bukan? Tidak membuat majikanmu marah, kan?'' tanya si Ibu beruntun dan hanya diangguki Rika.
Justru majikannya-lah yang membuat ia marah besar. Rika marah. Benci. Kecewa. Semua bercampur jadi satu.