Hendra
Bagaimana kabar Fatma dan Isyana ya, aku sangat merindukan mereka. Gumam ku.
Aku pun segera meraih ponsel yang ku letakkan di samping komputer kerja ku. Ku tekan nomor Fatma untuk melakukan panggilan video call, namun seperti biasa hasilnya nihil. Sudah sembilan bulan ini Fatma tidak pernah mau menjawab panggilan telepon dari ku, bahkan ribuan pesan singkat yang ku kirim untuknya juga tak pernah di balas.
Padahal aku sangat merindukan anakku, aku ingin sekali berkunjung ke Malang namun setelah aku dan Annisa resmi menikah, Annisa sama sekali tidak mengijinkan aku untuk berkunjung ke Malang untuk menemui anak semata wayangku. Aku pun menghela nafas panjang dan ku letakkan kembali ponselku. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan dari luar pintu, aku pun mempersilahkan masuk dan ternyata sekretaris ku yang datang.
"Iya Vina, ada apa?". Tanya ku.
"Maaf pak menganggu, bapak di tunggu Pak Arif di ruang direktur".
"Oh iya baik, terima kasih Vina". Sahut ku dan aku segera bergegas merapikan meja ku dan langsung menuju ruang direkturdan sesampainya disana aku langsung di sambut dengan muka masam dari atasanku.
"Hendra, saya kecewa sama kinerja kamu. Belakangan ini kinerja kamu benar-benar menurun". Ujar Pak Arif.
"Maafkan saya pak, kondisi saya memang sedang tidak baik".
"Saya juga minta maaf Hendra, saya hanya bisa memberi kesempatan kamu menduduki posisi manajer hanya sampai bulan ini". Ketus Pak Arif.
"Maksud bapak, saya di pecat?". Aku terbelalak.
"Tidak, saya tidak memecat kamu. Kamu hanya saya kembalikan lagi ke bagian produksi di Malang. Jadi mulai bulan depan kamu sudah bisa bekerja disana, saya masih baik hati kasih kesempatan untuk kamu. Oh ya satu lagi, saya juga akan menarik seluruh aset perusahaan yang kamu gunakan termasuk rumah, mobil dan seluruh peralatan rumah tidak boleh ada yang kamu bawa. Kalau sampai kamu ketahuan, saya tidak segan-segan untuk memecat kamu. Apa kamu mengerti dengan ucapan saya?". Seru Pak Arif.
"Iya pak, saya mengerti".
"Bagus, kalau begitu silahkan kamu kembali ke ruangan".
Aku pun tertunduk lesu setelah mendengar penjelasan Pak Arif, Aku benar-benar bingung bagaimana caranya aku menjelaskan hal ini dengan Annisa. Aku tidak ingin ia bersedih tapi aku juga tidak bisa menutupi ini semua, tapi kabar baiknya kalau aku di pindahkan kembali ke Malang itu tandanya aku bisa sering bertemu dengan Isyana.
Setelah jam pulang kantor tiba, aku segera bergegas untuk kembali ke rumah. Aku benar-benar bingung memberi penjelasan kepada Annisa. Aku takut dia kecewa mendengar kabar ini, jadi sepanjang perjalanan pulang aku mencoba untuk merangkai kata agar bisa memberi penjelasan yang mudah dimengerti olehnya.
Dan sesampainya di rumah, kedatanganku langsung disambut olehnya. "Sayang, akhirnya kamu sampe juga dirumah. Aku udah nunggu-nunggu kamu dari tadi". Gumam Annisa.
"Oh ya? ada apa?". Tanya ku penasaran.
"Nanti aku kasih tau pas kita lagi makan malam, mendingan sekarang kamu mandi dulu".
"Iya, yaudah ini tolong bawain tas aku ya".
"Yaelah mas, emang gak bisa bawa sendiri apa?". Sergah Annisa kesal dan langsung bergegas pergi dari hadapan ku.
Aku pun hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Annisa, dia benar-benar beda 180° dengan Fatma. Bahkan Fatma sering sekali membawakan tas kerjaku ketika aku akan berangkat dan pulang dari kantor, bahkan ia melakukan hal itu atas inisiatifnya sendiri. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dan aku telah kehilangan semuanya.
Waktu makan malam pun tiba, aku sangat gugup untuk menjelaskan pada Annisa. Tapi aku berusaha untuk tenang dan mulai membuka percakapan.
"Nis, mulai bulan depan aku sudah tidak bekerja sebagai manajer lagi".
Annisa terbelalak mendengar ucapan ku. "Apa!! maksud kamu apa mas? maksudnya kamu di pecat?".
"Bukan, bukan di pecat. Aku hanya diturunkan dari jabatan aku, tapi aku masih bisa bekerja disana sebagai karyawan biasa".
Annisa berdecak tidak percaya mendengar hal ini. "Apa? Karyawan biasa? astaga, gimana ceritanya sih mas".
"Ini berawal dari aku suka bolos kerja tanpa izin, sebenarnya waktu itu aku sudah mendapatkan surat peringatan tapi aku mengabaikan akan hal itu".
"Tuh kan mas, apa aku bilang. Kamu ini udah aku peringatin masih aja susah. Kalau gini kan kamu juga jadinya yang susah, baru aja aku mau minta di beliin mobil baru sama kamu, eh kamunya malah udah turun jabatan. Udahlah kamu makan aja sendirian, aku udah gak nafsu jadinya". Sergah Annisa dan langsung bergegas pergi dari hadapan ku.
Aku pun benar-benar tidak percaya melihat reaksi Annisa seperti itu, bahkan aku mengira Annisa akan berusaha untuk menenangkan aku dan mendukung apapun pekerjaan yang aku lakukan. Namun ternyata semuanya di luar ekspektasi ku, Annisa terlihat marah besar dan tidak bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.