Tidak terasa sudah malam bagi mereka berdua, Monika dan Nico pun sampai di rumah. Nico menggendong Albert langsung dimasukan ke kamar. Satu harian ajak jalan-jalan bukanlah hal biasa bagi Nico.
Monika mengeluarkan tas perlengkapan milik Albert, walau pun bawa tidak banyak tetapi mainan milik Albert sudah dibilang lumayan. Dari jalan-jalan ke komplek perumahan, kemudian ke komplek cemara asri, di sana ada beberapa mainan seusia Albert, sembari menghibur dirinya.
Ketika Nico membaringkan Albert ke tempat tidur, hanya sekilas namun lama dia menatap wajah polosnya anak itu. Tenang dan sangat nyenyak. Semakin lama menatap Nico ingin punya anak seperti kejahilan Albert.
Santi dan Herman sedang nonton televisi diputarnya. Monika bukannya langsung mandi, malah sibuk di dapur sambil mengobrak-abrik tempat itu.
"Ma, Pa! Tadi siang makan apa?" Monika bertanya pada Santi dan Herman.
"Makan seadanya, tadi Mama masak nasi goreng buat Papa kamu!" jawab Santi tanpa menoleh sibuk dengan televisi sambil mengupas kulit kuaci di tangannya.
Monika pun tidak bertanya lagi, dia juga melihat ada sisa nasi goreng penutup sayur. Dia hampir lupa menelepon Go-Jek memesan makanan untuk mereka. Keasyikan ngobrol seru dengan Fera semua pun dilupakannya. Nico keluar dari kamar itu lalu melihat istrinya sibuk dengan kegiatan dapur. Dia pun menyusul tidak memedulikan kedua orang tua mertuanya.
"Sedang apa?" Nico menegur istrinya hingga buat Monika terperanjat kaget.
"Hah? Oh? Buat makan malam untuk mama dan papa," sahut Monika kembali melakukan kegiatannya memotong.
"Kenapa tidak pesan Go-Jek saja?" tanyanya lagi.
"Tidak akan sempat, mama dan papa sudah lapar, kamu mau makan lagi tidak? Biar aku masak sekalian?" jawab Monika menanyakan kembali pada Nico.
Nico yang sedang buka kulkas lalu mencomot potongan apel di sana. Setelah itu dia berbalik, sambil memikirkan sesuatu.
"Penginnya di kamar saja," jawabnya pelan, Monika berhenti memotong untung saja tidak mengenai jari saat potongan itu hampir di ujung kulitnya.
"Apa kamu mengatakan sesuatu?" Nico langsung mengelak, "Tidak! Nanti buatkan teh hangat buatku, aku mandi dulu jangan terlalu capek, kamu sudah seharian temani Albert bermain," ujarnya kemudian.
Setelah kepergian Nico dari dapur, Monika masih mencerna kata-kata dari suaminya. Monika merasa cara omongan Nico agak berbeda. Tetapi Monika menghalau kan pikiran itu, mungkin efek kesenangan saja. Karena Albert selalu buat Nico jengkel atas keusilan tersebut.
Nico melepaskan bajunya yang dari tadi gerah, dia membuang sembarang lalu ditunjukkan arah cermin memperlihatkan wajahnya lebih dekat. Semakin lama berada di cermin, semakin muak dia lihat wajah yang penuh bulu-bulu rambut di wajahnya. Hanya bekas goresan panjang di dekat matanya itu. Tidak bisa hilang lagi.
Lima belas menit Monika masuk ke kamarnya dan membuat Nico salah tingkah setelah dia bercermin sangat lama di sana. "Ternyata mukaku banyak tumbuh rambut kecil, kayak om-om, pantesan kamu jijik sama aku setiap ku dekatin!" cibir Nico menjauh dari cermin itu.
"Ternyata kamu baru sadar, muka kamu memang mengerikan?!" balas Monika tidak mau kalah dari cibiran suaminya.
Nico agak tersinggung atas balasan dari Monika tadi, tapi dia coba untuk tidak membalas. Sudah cukup dia bersikap kasar padanya dilihat wajah istrinya yang mengikuti jejak dari awal berkarir hingga sekarang, dia tidak pernah mengeluh sedikit pun.
"Meskipun aku terlihat menjijikan, kita tetap sepasang suami istri, bukan?" ucapnya meraih teh hangat buatan Monika.
Monika tidak menanggapi, dia mengeluarkan baju tidur dan bergegas untuk mandi. "Kalau besok-besok kita tidak sibuk, kita ke rumah sakit, ya," lirih Nico menunggu tanggapan Monika.
Monika berhenti pada aktivitas setelah apa dikatakan oleh Nico tadi. "Buat apa?" tanyanya.
"Cek up saja, tidak ada maksud apa-apa," jawabnya.
"Tidak perlu, memang kamu pikir aku punya penyakit aneh harus cek up. Kalau belum diberikan sama yang di atas, sabar-sabar saja, aku ...."
Sebuah tangan melingkar di perut rata milik Monika. Kedua tangan kekar inilah yang membawa Monika menjadi wanita yang tegar hingga sekarang. Meskipun dua tahun pernikahan belum juga dikaruniai seorang anak. Tetap bagi Monika tidak merasa sedih hati. Melihat teman-teman lain telah bergandeng tangan mungil sambil tertawa bersama.
"Tidak ada salahnya kita coba, ya, aku tahu kamu takut. Takut hasil itu mengecewakan. Tetap saja aku sebagai suami harus bertanggungjawab memberi kebahagiaan dan kenyamanan untuk seorang istri dan ...."
Nico membungkuk badannya dan menyandar dagu di pundak Monika. "..., aku berterima kasih telah memiliki seorang istri sabar seperti kamu, ada benar dikatakan oleh Chandra. Suami dari temanmu, bukan orang lain yang harus mengubah sikapku, tetapi dari diriku sendiri menyadarinya. Semua berulah dariku, aku memang sosok pria paling egois tidak memikirkan sekitarku," ucapnya panjang lebar. Monika bungkam tidak mengeluarkan kalimat untuk suaminya.
Dari ucapan semua Nico lontarkan adalah ketulusan hati yang sebenarnya. Nico membalikan badan Monika, ditatap lekat-lekat, momen ini adalah paling aneh. Tetapi kesempatan itu tidak akan pernah terulang lagi.
"Kita lakukan sekali lagi, hmm ...." ucap Nico pelan yang pasti jelas ditelinga Monika.
"Lain kali saja, badanku pegal," tolak halus oleh Monika dan masuk ke kamar mandi.
Nico ter bengong-bengong perasaan kemarin tidak seperti ini. Dia pikir Monika tidak menolak ajakan lakukan hubungan suami istri lagi. Tadi Monika benar- benar menolak. Benar- benar memalukan banget untuknya. Tapi di dalam kamar mandi, Monika senyum-senyum malu kucing.
****
"Sungguh melelahkan, seru juga ternyata jalan-jalan seperti ini. Minggu depan kita pergi lagi, ya, Chan!" seru Fera mendaratkan bokongnya ke sofa. Claudia sudah tidur di kamarnya saat Chandra membawa ke kamar tersebut.
"Lagi?" ulang Chandra menghidupkan kompor gasnya kemudian membuka kulkas dan beberapa bungkusan sempat mereka beli tadi.
"Iya, minggu depan pergi lagi?! Kenapa? Kamu tidak mau? Ya sudah aku pergi sendiri saja," jawab Fera cepat dan terdengar nadanya ngambek gitu.
"Bukan begitu, apa tidak bosan pergi ketempat itu lagi?"
"Tidak! Daripada di rumah tidak ada kegiatan apa pun. Kafe tutup kalau minggu, mendingan keluar dari udara segar, ke rumah kamu? Sudah bosan, sekali-sekali lihat pemandangan lain, ya mana tau ada rumah yang lebih menarik perhatian?" tutur Fera panjang lebar sembari mengelus perutnya.
Chandra memanasi air dan juga camilan ringan. Tidak lupa dia buat minuman sehat untuk istrinya. Ya, Chandra tidak akan pernah menolak permintaan istrinya. Apa pun Fera mau, Chandra turuti asal tidak mengeluarkan tanduk iblis nya lagi. Seram soalnya, belum lagi kandungannya sudah mulai memasuki ke-7 bulan.
"Iya, iya, minggu depan kita ke sana lagi. Asal fisik kamu harus tetap terjaga, jangan terlalu kelelahan. Sudah dengar yang dikatakan sama dokter, kamu itu harus lebih banyak istirahat, pekerjaan kafe kamu urus, terus jalan sana sini. Aku yang mengelus dada setiap hari. Kadang kamu bandel, di suruh tepat waktu minum obat vitamin tetap juga tidak dipatuhi, nanti kalau sudah terjadi hal buruk siapa lagi yang kamu salahkan? Aku juga?" omel Chandra sangat panjang. Fera tidak merespons malah mendiami.
Selama pernikahan dengan Chandra, Fera suka sekali ketawa kecil. Ternyata selain sifat Chandra yang penyabar dan pendiam, lebih bawel ketimbang dirinya.
"Iya, Papa bawel! Aku kerja juga untuk kamu biar bisnis kita lancar terus," cuap-cuap Fera sambil bermanja-manja dengan suaminya.
Namun suara tekok berbunyi tanda air sudah mendidih. Chandra beranjak untuk mematikan kompor tersebut. Fera meminum teh hangat dari rempah-rempah.
"Chan, aku mau katakan sesuatu padamu," ucap Fera kali ini nadanya serius.
"Soal apa?" sahut Chandra menuangkan secangkir teh hijau di sana.
"Kamu keberatan tidak, kalau anak kedua kita sudah lahir nanti, dijadikan anak angkat Monika dan Nico?" ungkap Fera pelan sambil mengeratkan segelas hangat di tangannya.
Chandra melangkah dan membawa beberapa camilan di piring dan juga teh tersebut. Diletakkan atas meja, lalu duduk bersebelahan dengan Fera. Dilihat wajah kesedihan Fera membuat Chandra tidak bisa menjawab.
"Bagaimana? Rasanya aku tidak tega lihat mereka berdua. Kamu masih ingat hubungan pernikahan kita dulu? Kamu berusaha untuk mendapatkan keturunan agar mama dan papa tidak menceramahi kita lagi. Setelah dengar cerita dari Monika, aku merasa dia lebih menderita daripada kehidupan aku, aku bahkan merasa dulu aku wanita yang tidak ...."
Chandra tidak ingin istrinya melanjutkan kisah sedih di pernikahan mulai memasuki genap 8 tahun itu. "Semua punya takdir masing-masing, jangan berpikir hal-hal tidak penting itu. Memang kamu ikhlas mengangkat anak kedua untuk mereka? Kalau dari aku, aku tidak permasalahkan, bagaimana dengan kedua orang tua kita? Itu yang harus kita bicarakan pada mereka, bukan aku tidak setuju, kamu tahu bagaimana sifat-sifat mamaku apalagi mamamu," sambung Chandra menjelaskan.
"Iya sih, mereka pasti mengerti kok," ujar Fera kemudian.
****