"Pah, bisa bantu Maureen jalan ga? Setahun tiduran lumayan susah buat seimbang kalo lagi berdiri." pinta Maureen kepada Heri yang duduk di sofa sambil memandangi layar ponselnya.
"Emang kamu mau ke mana?"
"Ke ruangannya Kak Aldy." ucap Maureen sambil bangkit dari posisi berbaringnya. Kini ia telah duduk di pinggiran ranjang sambil mencoba menurunkan kedua kakinya, meski belum menyentuh lantai.
Heri memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya dan berdiri. "Jangan maksain buat jalan dulu. Tunggu ya, papah maintain kursi roda."
Maureen melihat ke bawah, memandangi jari-jari kakinya sendiri. Setelah menjalani beberapa terapi sederhana yang diberikan oleh salah seorang dokter belakangan ini, ia memang sudah leluasa menggerakkan jari-jari kaki bahkan pergelangan kakinya. Namun untuk menggerakkan persendian lutut dan paha masih menjadi PR untuk Maureen. Itulah sebabnya, bahkan untuk berdiri sambil berpegang kepada sesuatu saja masih cukup sulit baginya.
Maureen kembali mengarahkan pandangannya pada Heri. "Ya udah, pake kursi roda aja."
Heri langsung meninggalkan Maureen sendirian di ruangannya setelah menyunggingkan senyuman ramah yang hangan ala seorang ayah kepada puterinya.
Heri membantu Maureen untuk duduk di kursi roda. Setelah ia memastikan puterinya telah duduk dengan nyaman, Heri memindahkan infus ke gantungan yang sudah tersedia di kursi roda itu. Mereka pun keluar dari ruangan yang selama ini ditinggali oleh Maureen menuju lorong rumah sakit.
Pemandangan yang sudah biasa tersaji di lorong rumah sakit pun tak begitu mengusik pandangan Maureen.
"Pah."
Heri membelokkan kursi roda Maureen dan terus membawanya hingga ke depan pintu lift. "Hm, kenapa nak? Kamu ngerasa pusing? Mau balik?"
"Engga, bukan itu." balas Maureen yang masih duduk tenang di atas kursi rodanya.
"Terus, ada apa? Kamu masih ragu buat ketemu kakakmu?"
"Engga juga. Kalo aku ragu, aku ga mungkin minta papah buat anterin aku ke sana."
"Jadi kenapa?"
Kini mereka sudah berada di dalam lift. Seorang perawat yang memegang dokumen yang berisikan data salah satu pasien yang mungkin menjadi tanggung jawabnya tersenyum ramah ke arah Heri dan Maureen. Ia berjalan keluar lift. Setelah memastikan tidak ada lagi orang yang ingin masuk ke dalam lift, Heri menekan tombol untuk menutup pintu lift dan juga angka lantai di mana kamar Aldy sedang dirawat inap berada.
Meskipun lantai tempat kamar Aldy berada hanya berbeda satu lantai dengan kamar tempat Maureen dirawat.
Pintu lift terbuka. Orang-orang yang ingin masuk ke dalam lift mempersilahkan Heri dan Maureen keluar lebih dulu. Heri pun kembali melanjutkan langkahnya membawa Maureen menuju kamar tempat Aldy berada.
"Jadi, apa yang mau kamu tanya tadi?"
Maureen menggeleng pelan. "Kira-kira, Kak Aldy tuh orangnya kayak gimana sih?"
Untuk sesaat, Heri jadi teringat saat Aldy menanyakan hal serupa kepadanya saat pertama kali bertemu dengan Maureen. Kira-kira setahun yang lalu saat Maureen koma pasca kecelakaan yang merebut nyawa mantan isterinya, yaitu ibunya Maureen.
"Gimana ya. Susah juga jelasinnya. Kalo di rumah, dia anaknya sopan, penurut dan juga disiplin. Kalo di luar rumah, kayak yang kamu liat sendiri, dia suka tawuran sampai babak belur begitu."
"Jadi Kak Aldy tuh orangnya nakal kalo di luar rumah?"
Heri masih ingat, alasan sebenarnya kenapa Aldy sampai sebrutal itu jika di luar rumah. Ia benar-benar ingat, mengapa Aldy rela mati-matian berkelahi dengan murid-murid dari sekolah lain.
Ya.
Dia rela babak belur hingga hampir kehilangan nyawanya demi menciptakan kehidupan sekolah yang aman bagi Maureen.
Walau alasan itu terdengar konyol, namun Heri tak masalah dengan itu. Karena yang Heri lihat, Aldy ingin melakukan hal konyol yang tak berguna itu bagi Maureen.
Dan juga, alasan mengapa Heri tak keberatan Aldy melakukan tawuran itu, Heri telah menelusuri masa lalu Aldy. Ia juga sudah beberapa kali pergi ke psikiater, bukan untuk dirinya namun untuk mempelajari karakter Aldy tanpa Aldy ketahui.
Heri sudah tahu apa saja yang Aldy lakukan saat masih di dalam penjara remaja. Aldy pernah membuat kekacauan besar yang bahkan sampai membuat beberapa petugas penjara juga terluka.
Heri tahu betul apa yang bisa dilakukan oleh Aldy.
Itulah sebabnya mengapa Heri sampai berani mengambil resiko seperti ini, membiarkan Aldy mengamuk di luar rumah.
Ia tidak ingin Aldy merasa terkekang dengan tinggal bersamanya. Hal itu juga tak dilakukan oleh Heri dengan cuma-cuma, karena Heri juga bisa membaca karakter Aldy bahwa Aldy sudah bisa memikirkan tanggung jawabnya sendiri. Sehingga Heri yakin, Aldy bukan anak yang cukup bodoh untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya kembali ke dalam penjara remaja.
Yang lebih Heri takutkan adalah jika ia mengekang Aldy untuk berkelahi sama sekali. Ia takut Aldy merasa tidak nyaman dan malah memberontak di dalam rumah.
Namun untuk sekarang, Heri tak perlu khawatir lagi. Karena Maureen sudah tersadar dari koma-nya.
Kenapa?
Tentu saja. Karena Aldy akan memiliki sesosok adik. Heri tahu, perlahan, Maureen bisa menjadi orang yang membimbing Aldy untuk keluar dari dunia kelamnya, menghilangkan rasa haus akan bertarung pada diri Aldy, meskipun hal itu tak akan mudah.
Dalam hati, Heri ingin sekali menangis bahagia. Karena ia memiliki Aldy dan Maureen. Karena Aldy adalah sesosok kakak yang Heri yakin akan menjaga adiknya. Dan Maureen adalah sesosok adik yang akan menuntun kakaknya ke jalan yang lebih baik.
Heri merasa sangat bahagia.
Karena ia sendiri tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa bersama Aldy dan Maureen.
Mungkin tak lama lagi.
Heri tersenyum, "Nah kita udah sampai." ucapnya sambil membuka pintu kamar tempat Aldy dirawat dan membawa Maureen masuk.
***
Dari tempatnya duduk, Maureen bisa melihat wajah damai Aldy yang masih belum sadar. Tidak, Aldy tidak dalam keadaan pingsan. Ia hanya tidur.
Heri mendekatkan wajahnya pada telinga Maureen. "Kayaknya kakakmu lagi tidur."
Maureen menoleh. "Tanpa papah kasihtau juga Maureen bisa lihat kalo Kak Aldy lagi tidur."
"Jadi gimana?"
"Maureen mau di sini dulu."
Heri melihat arloji yang berada di pergelangan tangan kirinya. "Udah waktunya makan siang. Kamu mau papah beliin apa?"
"Mmmm. Pengennya burger keju. Tapi kayaknya bakal dimarahin dokter kalo ketahuan makan junk-food."
"Pesenin burger keju dua dong, Yah." ucap Aldy yang entah sejak kapan membuka kedua matanya. Kini Aldy sudah duduk di atas ranjangnya. Maureen menoleh ke arah sumber suara, mendapati Aldy dengan tampilan yang lumayan menyedihkan.
Meski begitu, Maureen kembali melihat senyuman yang begitu menenangkan dan juga memberikan rasa hangat di balik wajah babak belurnya.
Dan kenyataannya, wajah babak belur Aldy masih terlihat tampan bagaimanapun Maureen melihatnya.
"Tapi kata dokter—"
"Ya kalo lo ga mau, dua-duanya buat gue."
Heri kembali menyunggingkan senyuman. Ia menaruh telapak tangan kanannya di kepala Maureen lalu mengusapnya dengan lembut. "Kalo gitu, papah pesenin Go-Food dulu ya. Kalian ngobrol aja dulu."
Heri berjalan keluar.
"Kan papah bisa pesen dari sini."
"Gak apa-apa. Papah juga mau ngurus sesuatu."
Dan setelah pintu tertutup, tersisa Aldy dan Maureen di dalam ruangan itu. Maureen kembali mengarahkan pandangannya pada Aldy. Kini keadaan menjadi hening.
Aldy memandangi Maureen untuk beberapa saat. Dan entah kenapa, jantung Maureen berdetak lebih cepat dari biasanya.
Apakah karena Aldy memandanginya?
Tidak mungkin. Aldy adalah kakaknya. Walau tak bisa dipungkiri, baginya, Aldy masihlah orang asing yang belum ia kenal.
"Ke-kenapa?" tanya Maureen karena Aldy masih saja menatapnya tanpa mengatakan apapun.
"Gapapa … Ternyata lo lebih cantik dari pas masih koma."
Deg …
Jawaban sederhana Aldy membuat jantung Maureen berdetak sedikit lebih cepat lagi.
Aldy menurunkan kedua kakinya dari tempat ia berbaring, sambil memegangi perut bagian kanannya. Tempat di mana ia menerima luka tikam yang kini telah dijahit dan diperban. "Njir, masih sakit ternyata." keluh Aldy.
"Kenapa bangun?" tanya Maureen yang belum mendapat jawaban dari Aldy.
Aldy turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah Maureen. Kini Aldy berdiri di belakang Maureen dan mendorong kursi roda yang diduduki Maureen, membawanya mendekat ke arah ranjang.
Aldy berhenti dan berdiri di samping Maureen. Ia mengulurkan tangannya. "Gue tau lo pasti capek duduk di kursi roda terus, karena belom lama lo sadar dari koma."
Maureen masih menatap uluran tangan Aldy.
"Udah gapapa, istirahat aja di tempat gue. Ayah juga paling masih lama."
Perlahan Maureen meraih uluran tangan Aldy, dan Aldy pun membantu Maureen pindah dari kursi roda ke tempat tidur. Saat itu, Maureen merasa tubuh mereka terlalu dekat. Hal itu kembali membuat jantung Maureen berdebar.
Bahkan Aldy menahan belakang kepala Maureen saat ingin berbaring.
Kini Maureen sudah berbaring, dengan Aldy duduk di pinggiran ranjang. "Gimana, ngerasa pusing?"
Maureen menggelengkan kepalanya. "Bukannya Kak Aldy juga lagi sakit?"
"Gapapa. Luka kayak gini udah biasa."
Setelah mengatakan hal itu, keadaan kembali menjadi hening.
Aldy menahan tawanya, membuat Maureen bingung. "Kenapa? Ada yang lucu?"
"Gue tau, lo masih ngerasa canggung sama gue kan? Sebenernya gue juga ngerasa canggung."
"Hmm." jawab Maureen. Di kepalanya memang terdapat jutaan pertanyaan, namun sekarang ia belum bisa berkata apa-apa.
Lebih tepatnya, ia tak tahu apa yang harus ia katakan kepada Aldy.
"Oh iya, kita belum kenalan. Gue Rizaldy Pradipta, lo bisa manggil gue Aldy. Dan karena gue diadopsi sama Ayah, otomatis gue adalah kakak lo."
"Maureen … Maureen Gabriella."
Ya, Maureen masih terlalu canggung dengan Aldy.
Aldy tertawa pelan. "Gue harap lo bisa cepet terbiasa sama gue."
"I-iya."
"Ngomong-ngomong, gue penasaran, waktu lo koma, emang lo bisa denger apapun yang lo denger gitu?"
"Iya, bisa." jawab Maureen singkat. Bukan karena ketus. Maureen masih kebingungan bagaimana harus bersikap di depan Aldy.
"Berarti lo denger semua dongeng-dongen gue dong?"
Maureen menganggukkan kepalanya, dengan aksen malu-malu.
Aldy tersenyum lebar hingga memperlihatkan deret gigi-gigi depannya. "Maaf ya, lo yang harusnya istirahat malah jadi dengerin ocehan gue selama setahun."
"Mmm … Kak … Kak Aldy."
"Hm?"
"Emang … Kak Aldy beneran diadopsi dari … Eh, engga. Nggak jadi."
"Penjara? Iya. Maaf ya, lo jadi harus punya kakak mantan kriminal kayak gue gini."
Maureen membuka kedua matanya lebih lebar. "Eh, enggak kok, nggak apa-apa. Dari setahun dengerin Kak Aldy ngomong sama aku, aku tau kalo Kak Aldy tuh orangnya baik."
"Gitu ya?" tanya Aldy yang kembali mendapat anggukkan dari Maureen. "Makasih ya."
"Makasih buat apa?"
Aldy menyunggingkan senyuman, satu tangannya telah menggapai kepala Maureen dan mengusapnya lembut. "Lo orang kedua setelah Ayah yang bilang kalo gue itu baik."
Semburat kemerahan terlukis di wajah Maureen yang masih tergolong pucat. Maureen memang masih belum kembali ke keadaan fit pasca koma, jadi wajar kalau kulitnya terlihat sedikit pucat.
Maureen terdiam saat Aldy mengusap kepalanya dengan lembut seperti itu.
Ia tidak membencinya.
Malah, rasanya ia ingin terus merasakan itu. Seolah-olah Aldy menunjukkan bahwa ia benar-benar sayang kepadanya. Di balik wajahnya yang tampan dan luka-luka lebam yang sedikit mengintimidasi, tatapan mata Aldy memberikan kenyamanan bagi Maureen.
Perasaan yang Maureen rasakan benar-benar tak bisa ia mengerti.
Rasanya aneh.
Terlalu aneh.
Tapi ia menyukainya.
Ia menyukai perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya itu.
Perasaan disayangi oleh seorang kakak yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Aldy adalah sosok seorang kakak penyayang yang belum pernah Maureen miliki.