"Betapa naifnya dirinya, hingga merelakan dirinya untuk diolok - olok. Teman tak punya, pengikutpun tak punya. Masa lalunya yang buruk, mungkin salah di mata manusia. Tapi ia tak pernah salah!"
Seorang nenek tua berkotbah pada pembelinya. "Apaan sih nek! Nenek percaya saja yang begituan. Siapa dia memangnya?" Pembelinya, menepuk bahu nenek itu, sambil memilih barang. "Dia adalah cahaya, dan terkuat. Sorot matanya, bagaikan bulan purnama. Darah selalu ada bersamanya. Dua adalah sang dewa nasib!" Pembelinya tak menghiraukan perkataan nenek itu. "Ya, baiklah! Terima kasih atas ceritanya nek! Aku akan beli yang ini ya!" Nenek itu menerima uang, namun ia tak puas.
"Ingatlah baik - baik! Ia tak segan mengambil semua yang kau sayangi darimu! Nyawamu sekalipun! Memohonlah padanya, dan buktikanlah kau bisa!" Nenek itu berteriak padanya. Namun gadis itu hanya berbalik, sambil mengacukan jempol dengan senyum meriahnya itu. Nenek itu menatapnya, lalu pergi. Siapa sangka, bahwa nenek itu, adalah seorang dewa?
Sebuah kereta melaju kencang. Gadis muda itu berada di dalam sebuah mobil. Dengan hati tenang, ia bersenandung. Tak menghiraukan sekitar. Menatap birunya langit, serta menghirup udara segar. Ia melihat ke luar, dan melihat sebuah kereta melaju kencang, melintasinya. Wajahnya itu terlihat ketakutan.
Tak lama setelah itu, pandangannya menjadi hitam. Ia berusaha membuka matanya, dan yang ia lihat, hanyalah sekelompok orang - orang yang panik, darah, dan tangannya sendiri yang juga berlumuran darah. Seluruh tubuhnya terasa sakit, tak sanggup ia berjalan. Lalu, ia melihat seorang pria tampan. Ia berambut putih, dan kulitnya juga sangat putih, disertai oleh mata birunya. Malaikat maut. Itulah pikirnya. Namun, bukan itu sebenarnya, identitas sosok yang ia lihat.
"Aku bukan malaikat maut. Mereka sedang sibuk, aku hanya melihat - lihat saja. Aku, adalah sang dewa nasib." Pria itu berdiri, dan sorot matanya melambangkan betapa gagahnya ia. Gadis malang itu, teringat kata - kata nenek itu. "Tu...tuan... Tolonglah aku... Aku mohon...Jangan ambil semuanya milikku..." Gadis itu menangis, dan kerumunan orang - orang terheran, melihatnya masih bisa bicara. "Ini bukan salahku. Aku tidak merebut apapun darimu. Kau akan selamat, dalam satu jam lagi. Melihatmu berbicara, sepertinya mereka akan memanggil pertolongan. Tenang saja kau disitu. Nyawamu akan aman. Tapi, aku mengambil sesuatu darimu, karena kau tak berhak mendapatkannya."
Dewa itu menjauh, dan melepas mantelnya. Ia memakaikannya pada gadis itu. "A...apa yang akan tuan ambil?" gadis itu bertanya penuh harapan. Dewa itu menatap mata gadis itu. "Di tengah salju ini, kau akan kedinginan. Pakailah itu. Aku akan mengambil kekayaan orang tuamu, dan itu otomatis berefek padamu. Lebih tepatnya aku hanya mengambil nasib orang tuamu. Kau akan kuberi nasib yang lumayan baik. Kau akan mendapat gelar mahasiswi terbaik, dan lulus. Pekerjaanmu sangat stabil, dan penghasilanmu bagus. Kau harus bekerja sambilan untuk sementara ini. Tapi...sayangnya aku tidak melihat adanya kekasih untukmu, di daftar nasibmu." Gadis itu tersenyum lega.
"Tak apa, toh aku sudah muak. Mereka memukuliku, dan masih menyebut diri mereka sebagai orang tuaku. Aku tak keberatan soal kekayaan, ataupun kekasih. Asalkan, aku bisa hidup tenang..." Gadis itu menutup matanya. Ia hanya tidur sebentar. Tak lama kemudian, ia diangkut ke sebuah ambulans, dan matanya terbuka kembali. Ia melihat dewa itu, dan tersenyum padanya. Walaupun nasibnya seperti itu, ia masih bisa tersenyum hingga akhir.
Dewa itu pergi, dan ia menemui seorang pelayan dari dewa lain. "Ah, Tuan, sudah lama ya?" Dewa itu menoleh, dan tersenyum. "Iya, sudah lama, Haruka..." Haruka berjalan mendekati dewa itu. "Ah, tuan. Apakah kau sudah menemukan pelayan?" Haruka menanyakan hal itu, dengan kondisi khawatir. "Belum. Setiap orang yang mati, selalu hidup kembali. Apa yang dilakukan Izanami, dan para shinigami?" Mendengar hal itu, Haruka tertawa kecil. "Itu pasti berat untukmu. Tapi, walaupun begitu, pasti masih ada satu roh, yang tersisa. Belum diambil, dan belum diketahui jenis silumannya." Haruka, menawarkan segelas teh pada dewa itu.
"Ya, aku akan berusaha mencarinya. Tapi, kenapa anda terlihat sangat khawatir? Apa terjadi sesuatu?" Wajah Haruka semakin khawatir, dan takut. "Tuan, sebenarnya, para dewa sedang bertikai." Mendengar hal itu, wajah dewa itu tak menunjukkan respon.
Pengumuman:
Novel ini telah berpindah ke lapak sebelah ( Wattpad). Silahkan kunjungi disana untuk baca lebih lanjut.