Wanita renta itu melepas pelukannya, kembali menatap wajah bingung Ivana dengan seulas tarikan bibir. "Kenapa kamu pergi, Nak?"
Ivana menoleh ke arah pelayan yang sedari tadi tertunduk. Seolah paham, wanita itu mengambil piring yang digenggam sang pelayan dan mengaduknya pelan. "Ibu makan dulu ya. Nanti saya ceritakan kalau makanannya sudah habis," ucapnya dengan senyum semringah.
Sang ibu mengangguk, wajah murungnya kini berubah cerah. Sementara itu, tanpa Ivana sadari—seseorang memeperhatikannya dari balik layar monitor yang cukup besar. Ia tengah menatap gerak-gerik Ivana dengan wajah nyaris tanpa ekspresi.
Di tempat lain, Tuan Alex tengah berada di sebuah rumah sederhana, di mana 2 hari yang lalu ia berusaha mengusir penghuninya. "Maaf, Tuan. Saya belum bisa membayar hutang saya."
"Urusanku bukan itu, tapi ini ...." Tuan Alex melempar dua amplop cokelat ke arah pria tersebut. Satu berukuran besar, dan lainnya berukuran kecil.
Pria itu mengernyit, menatap kertas amplop itu dengan perasaan heran. Tanpa basa-basi, ia memilih amplop cokelat berukuran besar dan lantas bergegas membukanya. "Surat cerai?"
"Lepaskan istrimu, dan apa yang kamu mau akan terpenuhi," tegas Tuan Alex, membuka kaca mata hitamnya.
****
"Kak, aku boleh bertanya? Siapa ibu yang tadi?" tanya Ivana setelah memberikan obat dan menyelimuti ibunya Tuan Alex. Ia sengaja mengajak pelayan tadi untuk bicara di luar, agar tidak terdengar oleh wanita paruh baya yang sudah tertidur.
"Panggil saya Imel, Nyonya. Saya di sini khusus merawat Bu Siska, dia adalah ibunya Tuan Alex."
Ivana mengangguk, sebagai tanda mengerti. "Dan ... Bianca?"
Baru saja sang pelayan akan menjawab, suara sepatu seseorang membuat keduanya menoleh. Imel hanya tentunduk, tak berani menatan seseorang yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan dilipat di dada.
"Mel, tinggalkan kami berdua!" ucapnya dengan nada datar.
Pelayan yang ternyata suster untuk ibunya Tuan Alex itu lantas meninggalkan Shela dan Ivana yang tengah saling menatap.
Jantung Ivana berpacu cepat. Ia merasa berada di posisi tidak nyaman. Mengingat Shela adalah istri Tuan Alex, pastinya ia akan menyuarakan perasaannya sebagai seorang istri yang mempertahankan suami.
"Aku perlu bicara, ikut aku Ivana!" ucap Shela lembut, dan diiyakan oleh Ivana. Kini, mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih persis sebagai kantor. Terlihat dari buku dan map file yang berjejer dengan rapi, serta meja besar dan laptop bertengker di atasnya.
"Duduklah, Ivana!" Shela menunjuk sebuah sofa minimalis yang berada di sudut sebelah kiri—tak jauh dari meja kerja.
Tanpa ada kata iya atau pun sebuah penolakan, wanita itu mengikuti apa yang diperintahkan oleh sang nyonya rumah.
"Ivana, kamu sudah menjawab permintaan Alex?" tanya Shela dengan sangat hati-hati.
Ivana terpaku sejenak, menatap wajah datar Shela yang pasti hatinya hancur karena pilihan sang suami. Lantas Ivana hanya menggeleng pelan, pada kenyataannya ia tak ingin menikah dengan Tuan Alex.
Shela menghelan napas, ia berdiri dan melangkah menuju sebuah lemari kecil dekat meja kerja, lalu menarik laci dan mengambil kertas putih berukuran kecil dan sebuah bolpoint.
Wanita bermata sipit dan tegas itu kembali menghampiri Ivana. Disodorkannya alat tulis itu, membuat Ivana menatapnya tak mengerti. "I-ini ...."
"Tulis nominal hutang suamimu, biar aku yang melunasinya. Setelah itu pergi dari sini!" tegasnya.
"Kenapa Nyonya melakukan ini?"
Bola mata yang nyaris tak terlihat itu berputar sebal. "Tentu saja aku ingin mempertahankan Alex! Susah payah aku bisa menikah dengan dia, sementara kamu yang bukan siapa-siapa bisa begitu saja diminta jadi istrinya."
Sebuah cambukan seperti membawa Ivana pada rasa bersalah. Tanpa sengaja, ia sudah menyakiti perasaan Shela yang notabennya sebagai istri Tuan Alex. Meski dalam lubuk hatinya mengecam keras permintaan Tuan besar itu, tapi Ivana tetap merasa sudah melukai hati orang lain.
"Jangan banyak berpikir Ivana. Kamu sangat membutuhkan ini, kan?" Suara Shela membuat wanita yang tengah mematung dengan menggenggam secarik kertas itu menoleh seketika.
Tanpa basa-basi, ia lantas menggoreskan nominal yang dibutuhkan oleh suaminya. Wanita cantik itu berharap bisa keluar dan mengembalikan keluarga kecilnya itu. Sementara wanita di hadapannya hanya tersenyum puas, karena ia merasa pekerjaannya sangat mudah—mengingat uanglah yang paling dibutuhkan Ivana saat ini.
"Sudah, Nyonya. Setelah ini, apa yang harus saya lakukan?" tanya Ivana menyodorkan cek berisi deretan angka dengan nominal yang lumayan.
"Berikan pada Alex, dan pergi dari sini. Jangan bilang itu dari aku," ucap Shela dengan senyum penuh kemenangan. "Kalo begitu, kamu boleh keluar dan kemasi barangmu!"
"Baik, Nyonya. Terima kasih untuk bantuannya," ucap Ivana yang dibalas dengan sebuah anggukan spontans.
Lantas, wanita berambut pirang itu pun meninggalkan ruangan itu. Ia melangkah pelan seraya menatap sebuah deretan angka—di mana itu akan jadi jalan satu-satunya melepaskan diri dari cengkeraman Tuan Alex—termasuk permintaan menikah.
Suasana rumah mewah itu begitu hening, sampai suara sepatu Ivana nyaris terdengar jelas. Namun, sebuah panggilan dari arah depan membuatnya berhenti melangkah. Wajah cantik yang tadinya tertunduk, kini menoleh ke arah pria yang begitu terlihat tampan dengan kemeja biru yang melekat di tubuh kekarnya.
"Dari mana?" tanyanya dengan mimik seramah mungkin.
Namun, pertanyaan itu tak lantas membuat Ivana menjawab. Ia hanya menatap sang pemilik rumah ini dengan sorot mata penuh kebencian.
Disodorkannya secarik kertas yang ia genggam. "Biarkan aku pergi, karena urusan kita sudah selesai, Tuan!"
Sepasang mata elang menatap wajah putih yang memberikan tatapan tak gentar, seperti pertama bertemu. Tuan Alex meraih benda kecil itu dan menelaahnya dengan saksama.
Hening.
Kedunya tak ada yang ingin memulai menyuarakan apa yang ada di pikiran masing-masing. Sampai saat Tuan Alex merobek kertas itu, membuat mata Ivana membulan seketika. "Apa yang kamu lakukan?"
"Ikut aku ...." Pria itu mencengkeram tangan Ivana dengan kasar menuju ruangan kerja Shela.
"Sakit, Tuan!" Untuk kedua kalinya pria tersebut menyakiti Ivana, dan itu yang membuatnya ingin mengakhiri segalanya.
Didobraknya pintu di hadapannya dengan kasar, ia mendorong kasar tubuh Ivana ke sofa, membuat wanita itu menangis—antara takut dan sakit karena tubuh kecilnya terpental cukup keras.
Sementara Shela yang terlonjak sedari tadi, menatap rahang Alex yang mengeras.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat sempurna di wajah cantik Shela. "Jangan pernah menentang susatu yang aku mau, Shela. Di sini, kau tak lebih dari seorang tamu, dan tamu itu wajib menghormati pemilik rumahnya!"
Tamparan di pipi tak sebanding dengan ucapan yang membuat hati Shela tercabik seketika. Tanpa terasa, buliran hangat mengalir di pipinya yang merah. Luka di dalam sana lebih mewakilkan perasaan Shela saat ini, sebuah kata 'tamu' yang tercetus dari sang suami, akhirnya membuat mata yang nyaris tak pernah basah itu luluh pada keadaan.
Sementara itu, Ivana berdiri dan mendorong badan kekar Alex dengan perasaan marah. "Kau gila! Dia istrimu ...."
"Kau yang akan jadi istriku, Ivana!" Tuan Alex merogoh saku celana dan memberikan secarik kertas yang mungkin menjadi awal kehancuran hidup Ivana.
Hening. Semua yang ada dalam ruangan itu mematung seketika. Tangan putih Ivana bergetar, berusaha mengambil sesuatu yang disodorkan oleh Tuan Alex.
Bak disambar petir, mata indahnya membulat sempurna, menatap sebuah kata 'perceraian' yang sudah ditandatangani oleh Fras—suaminya.
Jemari lentik itu refleks menutup mulut yang menganga. Ia menggeleng pelan, merasa jika semua itu hanyalah mimpi.
"Suamimu meneleponku, ternyata dia meminta sejumlah uang dan melepaskanmu begitu saja," tutur Alex. Ia merasa sudah jadi seorang pecundang karena menggunakan kebohongan terbesar dan membuat wanita di sampingnya menitikan air mata.
"Di-dia menjualku?" Suara itu bergetar hebat, persis seperti bahunya yang sudah tak sanggup menopang beban di dada.
"Iya, dia menjualmu Ivana. Di sana juga tertulis, kalau Fras akan menjadi mata-mataku jika kamu keluar dari rumah ini. Kau tidak akan bisa menyangkal, semuanya sudah tertulis jelas!" tuturnya lagi.
Hujaman kembali membuat dada Shela berdenyut hebat. Lagi, ia menatap Alex dengan rasa tak percaya, jika pria itu begitu menggebu—ingin memiliki wanita yang bukan berasal dari keluarga berada—seperti dirinya.
"Satu hal lagi Ivana, setelah pernikahan kita, identitasmu berubah. Menjadi Bianca Alexandria." Pernyataannya membuat kedua pasang mata menoleh secara bersamaan.
Maafkan aku Ivana, aku harus mengorbankanmu untuk misiku ke depan. Setelah itu, aku janji akan melepaskanmu, batin Tuan Alex.