Malam terasa semakin sunyi, Ivana menatap jendela yang terbuka lebar. Rumah itu besar, kamar mewah, tapi ia merasa berada dalam kegelapan.
Wanita bermata indah itu menghampiri jendela, merasakan dinginnya angin malam yang menerpa permukaan wajahnya. Ia tersenyum simpul, saat pemandangan kamar itu mengarah ke kolam renang yang cukup besar.
Semantara di bawah sana, Tuan Alex memperhatikan Ivana. Wanita itu tak menyadari, karena kelopak mata tengah tertutup—fokus pada desiran angin yang meniupkan kesunyian.
Tuan Alex masih dengan pandangannya. "Semoga wanita itu betah berada di sini!" ucapnya menyunggingkan senyum.
Ia menyimpan gelas berisi anggur yang sedari tadi dipegangnya, lantas berjalan untuk menghampiri kamar Ivana. Namun, baru sampai ruang tamu, suara seseorang membuatnya menghentikan langkah.
"Alex ... mau ke mana? Menghampiri calon istrimu itu? Cih ...," ucap Shela dengan nada sinis.
Pria yang memakai kaos hitam ketat itu hanya bergeming dengan sorot mata yang tajam. "Bukan urusanmu, Shela!"
"Tunggu, Alex!" Wanita bermata sipit itu menarik tangan Tuan Alex dengan spontans. "Alex, kamu serius dengan ucapanmu untuk menikahi dia? Bagaimana dengan aku?" ujarnya seraya memohon.
"Kamu bukan istriku," ucap Alex dengan nada yang lugas, membuat wanita itu menggeleng pelan.
Shela menatap sang suami dengan wajah sedih. "Kita suami istri yang sah. Jangan lupakan itu!"
Tuan Alex menepis tangan Shela dengan kasar. "Kita hanya dijodohkan. Bahkan aku belum pernah menyuntuhmu sedikit saja, Shela! Jangan pernah melupakan takdir itu!"
Shela menunduk, ia tidak bisa membalas ucapan suaminya. Pada kenyataannya, pernikahan mereka hanya didasari rekan kerja antara orangtua, bukan pernikahan normal seperti biasanya.
"Alex, setidaknya kamu hargai ikatan suci ini!" seru Shela dengan nada memelas.
"Menghargai? Kamu lupa sejarah mengapa aku semakin hari, semakin membencimu? Sekarang lepas tanganmu!" perintah Tuan Alex masih dengan suara yang pelan.
"Ta-tapi ...."
"Lepaskan!" teriaknya, membuat tangan Shela spontans terlepas dan wajahnya ikut menunduk.
Tanpa berucap lagi, pria yang selalu tampil maskulin itu meninggalkan sang istri yang sudah tertunduk lesu dengan perasaan kecewa.
Tuan Alex bersikap tak acuh, baginya Shela hanya tamu yang menginap dengan jangka waktu yang belum bisa ditentukan.
Kini, sang Tuan rumah sudah berada di depan pintu kamar Ivana. Tak perlu mengetuk, karena kamar itu tidak ditutup oleh pemiliknya. Tuan Alex bergeming, menatap punggung Ivana yang masih terdiam di depan jendela.
"Ivana ...."
Panggilan bariton itu berhasil membuat Ivana menoleh seketika. "Tu ... Tuan. Maaf, saya tidak tahu ada Anda di belakang."
"Iya. Saya hanya ingin memastikan tawaran tadi, kapan kamu siap melaksanakan pernikahan?"
Ivana hanya terdiam, tubuhnya gemetar. Dia merasa bingung harus menjawab apa. Di lubuk hati yang dalam, ia ingin sekali menjawab 'tidak', karena kini statusnya adalah istri pria lain. Namun, lidahnya seolah kelu untuk berkata demikian.
"Ma-maaf Tuan, tapi saya—"
"Sudah punya suami? Saya tahu kamu akan menjawab itu," pungkas Tuan Alex menyudahi kalimat Ivana.
Wanita berambut pirang itu tak berani menatap wajah tegas dari Tuan Alex, ia terlalu takut, mengingat pria itu seorang yang bisa mendapatkan segalanya—meski nyawa sekali pun.
"Saya akan mengurus surat perceraianmu dengan Fras!" tegas Tuan Alex, membuat wanita berbibir mungil itu menoleh kaget.
Ia sudah bisa menduga, bahwa Tuannya bisa melakukan apa saja dengan semena-mena selama uang berbicara.
"Tapi, Tuan. Sa—"
"Kamu tidak usah pedulikan Fras, saya akan bayar dia, berapa pun yang dia mau, dan urusan kamu bersama dia selesai!"
Dahi Ivana mengernyit. Ada amarah yang bergejolak saat pria di hadapannya berkata seperti itu. Tangannya mengepal sempurna, sampai ....
Plak!
Sebuah tamparan mendarat dengan singkat di pipi Tuan Alex. Pria itu hanya memegangi gumpalan daging yang terasa perih.
"Anda melecehkan saya, Tuan! Itu artinya Anda membeli saya. Anda bisa membawa saya ke rumah ini, tapi tidak dengan harga diri saya sebagai perempuan!" tegas Ivana dengan telunjuk yang mengarah pada Tuan Alex dengan sempurna.
Pria itu hanya terkekeh pelan. Baru kali ini ada orang yang berani menamparnya, bahkan ia mengklaim jika tak ada seorang pun yang bisa melanggar perintahnya.
Tuan Alex masih memegangi pipinya, mata elangnya kini mengarah pada wanita yang terlihat salah tingkah. Ivana bergegas melangkah untuk menghindari Tuan Alex, tapi terlambat, pria itu dengan sigan meraih tangan Ivana dengan kasar.
"Jangan pernah menolak, atau suamimu akan mati!" tegasnya tanpa menoleh sedikit pun pada wanita yang berusaha melepas pergelangan tangannya.
"Sa-sakit, Tuan!" Ivana merengek, masih dengan upaya melepaskan cengkeraman itu.
Tuan Alex menghela napas, ia menepis tangan itu dan menunduk perlahan. "Turuti mauku, atau kamu akan menyesal." Kali ini suaranya terdengar pelan—tanpa penekanan.
Setelah melihat Ivana menangis, Tuan Alex meninggalkan wanita itu. Ia tidak perduli, yang ia inginkan hanya bisa memiliki wanita itu ... sepenuhnya.
****
Kicau burung begitu merdu, daun dan bunga bergoyang mengikuti irama kupu-kupu. Mentari tak malu menampakan seberkas cahaya indahnya. Sementara itu, Ivana masih terlelap dalam mimpinya.
Sang pelayan, dengan seragam putih hitamnya melangkah masuk ke kamar bernuansa gold itu. Dibukanya tirani, memberi kesempatan pada matahari pagi. Wanita yang tengah berbaring itu mengerjap pelan.
"Selamat pagi, Nyoya! Anda sudah bangun?" ucapnya dengan sangat sopan.
Ivana masih berusaha mengumpulkan nyawa, lantas ia bergegas merubah posisi berbaringnya menjadi duduk. "Ya ampun, aku kesiangan!"
Sang pelayan hanya tersenyum, lalu memberikan sesuatu yang ia pegang sedari tadi. "Tuan menyuruh saya memberikan ini pada Nyonya."
Dengan sigap wanita berkulit putih itu mengambil sebuah kotak berwarna hitam dengan pita merah kecil di sisinya. Dipandanginya sekilas, lalu membukanya dengan sangat hati-hati. "Baju?"
Sebuah drees selutut dengan nuansa bunga dan manik-manik bunga di bagian leher. Tampak indah.
"Mohon dipakai Nyonya, kalau tidak Tuan akan memecat saya."
Seperti tahu isi hati Ivana, pelayan itu berkata iba. Ivana hanya tersenyum kecil, lalu mengguk pelan. Akhirnya senyum itu dibalas segaris tanda di bibir dengan perasaan lega.
Waktu kian bergulir, wanita itu sudah memakai pakaian seperti yang diperintahkan oleh Tuan Alex. Pakaiannya begitu pas, melekat ditubuh putih dan ramping.
Ivana yang merasa bosan, lantas berjalan ke taman belakang, lalu duduk di sebuah ayunan yang menghadap ke kolam ikan. Lamunannya berputar, merasa tak percaya berada di situasi seperti ini. Namun, ia merasa bingung dengan perlakuan Tuan Alex. Awalnya, ia berpikir akan dijadikan tahanan, tapi ternyata malah diperlakukan spesial.
Wanita berhidung bangir itu menghela napas, lantas menoleh ke arah kiri taman. Dahinya mengernyit, saat melihat sang pelayan sedang menyiapi wanita paruh baya di kursi roda, tapi ditolak berkali-kali.
Ivana berdiri dari ayunan, lants menghampiri kedua orang yang tengah bercengkrama itu, tepatnya sang pelayan tengah dimaki.
Ivana melirik sang pelayan yang tertunduk lesu. "Ibu tidak mau makan, Nyonya," ucapnya terdengar parau.
Wanita itu langsung berjongkok, menyeimbangi sosok ibu yang tengah menangis di kursi roda. "Ibu, perkenalkan, saya Ivana," katanya dengan suara yang lembut.
Sang ibu menoleh, ia menatap sorot mata Ivana, mengusap wajahnya pelan dengan tangan gemetar. "Bi-bianca ... anakku!" Ditariknya tangan Ivana agar jatuh kepelukannya. Tangis itu begitu memilukan. Ivana tak berani menolak, ia membalas pelukan sang ibu dengan hati bertanya-tanya.
Bianca, siapa?