Pria yang tak aku tahu itu sungguh berani. Kelasku dikenal cukup pembuat onar dimana sudah terkenal diantara dosen jika anak- anak kelasku itu sering membuat jengkel Dosen. Jarang sekali ada anak- anak kelas lain yang mau masuk atau ambil mata kuliah atas atau mengulang di kelasku. Jarang juga ada anak kelas lain yang berani aktif di kelasku seperti pria itu yang berinisiatif menjawab pertanyaan Dosen. Aku duga Dia Kakak kelas yang mengulang sehingga perlu outstanding agar tidak sayang mengulang mata kuliah. Tapi entahlah, ini hanya tebakanku saja.
Kelas pun tak juga berakhir dengan cepat.
Masih ada lagi tugas penting yang mau diberikan Bu Andhita kepada kami. Sudah bisa, sudah biasa, semua Dosen pasti akan membebani kami dengat Tugas Besar yang harus dkupulkan di akhir semester.
Nah, Bu Andhita pun di penghujung sesi kuliahnya memberikan kami pengumuman Tugas Besar Mata kuliahnya.
"Jadi, Ibu Ingin membentuk Kelompok Tugas Besar." Bu Andhita sudah memegang lembaran kertas absen yang isinya nama Anak- anak kelasku tentunya.
"Mau Ibu pilihkan atau kalian yangmembentuk kelompok sendiri?" tanya Beliau.
Anak- anak termasuk aku pun mantap meminta dipilihkan saja kelompoknya.
Sebagian besar minta dipilihkan, namun ternyata tak semua setuju. Seorang Temanku menunjuk tangan.
"Iya bagaimana?"
Yang ingin berargumen namanya Lia. Dia adalah salah satu Mahasiswi terpintar di kelasku.
"Bu, Saya setuju karena saya khawatir seandainya dalam satu kelompok ada yang tidak bekerja bila dipilihkan."
Bu Andhita pun menjawab. "Jangan segan melaporkan pada Ibu bila itu terjadi ya. Laporkan diam- diam saja!" tegasnya.
Lia pun akhirnya setuju.
Akhirnya Bu Andhita menyuruh kami mencatat anggota kelompok. Apabila namanya dipanggil supaya mengangkat tangannya dan mencatat anggota- anggota kelompoknya.
"Reza Permana!"
"Saya Bu!"
"Catat ya kelompoknya..."
Kemudian Ibu Andhita pun menyebut nama-nama kelompok Reza, hingga kelompok 6, namaku belum juga tersebut.
"Vanya Altarina Diska."
"Iya saya Bu!" Akhirnya namaku disebut.
"Catat anggota kelompokmu!"
"Baik Bu!"
"Bryan Indrawan, Haykel Akbar, Gritte Adinda Hadinta Putri, Iwan Firdaus, Gilang Jaya Pradipta."
Aku mencatat nama- nama yang disebut Bu Andhita.
Aku pun terkejut dengan nama terakhir, ada nama Galang di kelompok tugas besar APSIku.
Aku pun menoleh ke belakang ke arah dimana Galang duduk. Aku memperhatikannya juga sedang mencatat di bukunya sembari menunduk melihat ke bukunya.
Aku pun kembali mengingat soal Galang. Ini aneh, aku rasa aku pernah lihat dia... Tapi dimana ya? Kok aku merasa dia sama sekali tidak asing. Aku pun pusing, ingin menyudahi saja berpikir tentang Galang.
Tidak, tidak... aku tetap penasaran.
Slah sendiri kenapa Galang aktif di kelasku dan bolak- balik mencuri perhatianku akan keaktifannya.
Suara Galang juga rasanya tak asing. Beberapa kali Dia berbicara, dengan suara serak- serak basahnya itu, aku seperti pernah mendengar suaranya, tapi baik lagi, aku tak tahu dimana.
Penampilannya yang sangat gahar, dengan kemeja yang nampak tak disetrika, dengan celana bahan yang agak gombrong membungkus badannya yang tinggi kurus, yang membuatnya tambah garang adalah rambutnya yang gondrong seleher dan tak tersisir rapi. Bila menjudge dari penampilannya, tentu aku bisa bilang dia tipikal anak gaul. Dia juga memiliki wajah yang cukup menawan saat kulihat pertama kali, walau aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dibilang tampan sekali, idak, lebih tepatnya menurutku dia cukup manis walau dengan penampilan urakan ala 'bad boy' yang sering digambarkan di film- film romansa remaja.
Ini terlalu sulit, teka- teki yang belum bisa kupecahkan mengenai siapa dia yang sebenarnya.
Akhirnya Kelas Bu Andhita pun berakhir.
Aku pun mencatat nomor HP dari semua anggota kelompokku, termasuk Galang.
"Galang, nomor kamu berapa?" tanyaku tanpa basa-basi ketika Ia menghampiriku selepas kelas Bu Andhita dimana Bu Andhita sudah pergi dari kelas.
"Nomor aku ada di BBM group Pengurus BEMT, Van!" ujar Galang.
Aku dengan pedenya memanggil nama kepada Galang. Aku sendiri juga tak menyangka padahal aku merasa deg- degan saat Galang menghampirku.
Tak lama, aku melihat Richard berakrab- akrab ria dengan Galang sembari merangkul pundak.
Aku pun kebingungan. Grup BEMT? Lah dia pengurus BEMT juga?
**
Di kantin, aku dan teman- temanku yaitu Kesha, Ayu, dan Rana makan siang.
Aku pun mulai menyantap hidangan makan siang yang telah kupesan.
Kessha menyeruput jus alpukat kesukaannya, tak mengaduk susu kental coklat yang ada di atasnya.
"Manis banget!" ujar Kesha. "Aturan tadi aku minta ga pake susu, lupa!"
"Jus jeruk aku juga manis banget, tadi udah minum teh kotak yang manis juga!" ujar Ayu.
Hanya Rana yang tak komentar apa-apa.
Aku hanya minum air putih karena ingin hemat.
"Jepe ngambil APSI di kelas kita, emang dia ngulang atau ngambil atas sih?" tanya Ayu kepo.
"Oh si Jepe..." Rana sepertinya tahu, dia memang miss serba tahu. Dia adalah yang paling gaul dan punya teman di banyak pergaulan dan circle yang beraneka jenis. "Dia ambil atas lah!"
"Jepe itu pinter banegt ya Ran?" tanya Ayu lagi masih dalam rangka kepo.
Aku hanya diam-diam mencerna. Lah... tunggu tunggu.. JP? Emang di kelas APSI ada yang namanya JP tadi? Perasaan nggak ada deh!
Aku tahu ada seorang pengurus BEMT yang bernama JP atau lebih sering dipanggil JP. Namun aku tidak tahu yang mana orangnya, sumpah. JP adalah salah satu mahasiswa yang menonjol di fakultas Teknik, maksudku dia cukup sering terdengar gaungnya di jurusan TI dan Fakultas Teknik. Saat Latihan Dasar Kepemimpinan Organisasi (LDKO) BEMT pun Aku tahu ada Anak yang namanya JP dan memang aktif. Tapi sumpah demi Allah, aku hanya tahu namanya, aku tidak tahu yang mana orangnya karena aku hanya mendengar Teman- temanku hanya menyebutnya JP, JP saja.
"Dia emang jago public speakingnya setahuku, Ay!"
"Iya sih ga heran. Dia aja berani banget waktu LDKO, digiring ama kating kemana- mana, merayap berapa meter dia kemaren pas LDKO. Mana balesin arguemn Katingnya jago lagi! Sampe- sampe Kating pada kewalahan mau bales lagi argumennya si JP," ujar Ayu.
"Tapi paling kasihan pas JP jadi tumbal dijadiin kambing sama Kating, Ay," ujar Keisha.
Aku pun memflashback ingatanku kembali ke hari puncak LDKO.
Hari dimana kita sebagai calaon pengurus BEMT Harus mengikuti malam puncak seleksi pengurus BEMT. Aku sendiri entah bagaimana bisa maju sampai sejauh itu mengikuti tahapan pemilihan seleksi pengurus BEMT yang melehakan itu walau akhirnya berbuah manis karena terpilih juga di semester baru ini sebagai pengurus BEMT yag baru di bawah naungan Departemen Ristek (Riset dan Teknologi).
Flashback di September 2011, 5 bulan yang lalu saat aku mengikuti LDKO.
Aku, Ayu, dan Kesha serta semua pserta LDKO lainnya harus bisa menaiki bukit yang mana terdiri dari beberapa level, level pertama kami ditantang oleh Kating satu angakatan di atas kami, apabila kami menang adu argumentasi dengan Kating tersebut kami boleh naik dan maju ke level selanjutnya yaitu melawan Kating 2 tahun di atas angkatan kami, lalu kalau kami berhasil, kami bisa naik ke level terakhir, dimana lawannya adalah alumni.
Di level pertama ini aku pun beradu berpikir keras untuk bisa naik. Beberapa temanku ada yang sudah bisa naik.
Suasana cukup serius. Kami para peserta LDKO mencari akal untuk bisa naik dan kami juga bisa membantu teman- teman kami untuk naik level, tergantung kebijakan kating yang menjadi lawan kami.
Aku pun menemukan sebuah batang lidi diantara rerumputan bukit,
Kuambil satu lidi itu, lalu aku mencari lagi dan dapat lagi, aku sepertinya mengumpulkan lidi hingga 5 atau 6 batang
Muncullah ide brilianku yang mungkin bisa menolongku dan beberapa temanku bisa naik level.
Aku pun mengangkat tanganku.
"Iya kamu, siapa nama kamu?" tanya Kating.
"Vanya Kak!"
"Jadi, apa alasan kamu pantes untuk naik level?"
"Saya sendiri tidak pantas Kak, tapi teman teman saya yang lain yang lebih pantas."
"Maksud kamu?" tanya Kating lagi.
Aku pun menunjukan lidi yang telah kukumpulkan.
Ayu berbisik kepada ke Keisha. "Kei, itu si Nyanya nemu lidi dimana sih?"
"Aku juga nggak tahu Ay!"
"Dia pasti mau berbuat ajaib lagi, Kei!"
"Temen kamu ini memang ajaib, kan Ay?!"
"Temen kamu kali Kei, kan kamu yang sekamar di kontrakan!"
"Tapi kalo ngadu ada apa- apa kan, ke kamu Ay!"
Terlihat seorang Kating ingin ketawa namun mencoba menahannya melihatku menunjukan lidi yang ada di kepalan tanganku.
"Ia jadi gimana?"
"Jadi gini Kak, kalau lidinya satu kan patahnya gampang." Aku pun mematahkan satu lidi yang ada ditanganku.
Kating pun hanya mengangguk.
"Tapi kalau lidinya banyak, maka tidak akan gampang dipatahkan lidinya. Jadi bila kami bergotong royong saling membantu, aku dan teman- temanku bisa naik ke level selanjutnya maka kami mau menolong teman kami yang telah naik level duluan untuk bisa membantu mereka."
"Emang iya lidinya kalo banyak jadi ga gampang patah?" tanya sorang Kating cowo yang paling tinggi dengan perawakan kurus.
"Iya Kak!" jawabku polos.
"Coba- coba praktekin patahin semua lidinya sekaligus, beneran jadi ga bisa?" tantang Kating- kating tersebut yang mungkin ada 5 atau 6 orang yang ada di atas bukit menghadapku. Tinggi bukitnya adalah lebih dari tubuhku yang hanya bertinggi 155 cm sehingga aku pasti tak akan mudah untuk menaikinya sendiri.
Aku pun mengikuti perintah Kating- Kating tersebut.
Krek.
"Lah, itu lidi- lidinya patah juga!" Seorang Kating menertawaiku.
"Itu, katanya lidinya ga patah kalo banyak?!" sahut Kating yang lain.
Aku pun juga kaget karena aku mematahkan lidi-lidi tersebut.
"Kok Nyanya bego ya beneran dipatahin lidinya sama dia?" bisik Ayu ke Kesha.
Keisha hanya geleng- geleng saja.
"Yaudah daripada lama, kamu maju sini Vanya! Sama ajak temennya satu!" ujar seorang Kating.
"Iya, aku ajak... Ayu..."
Ayu pun tersenyum. "Dada Keisha, aku diajak Nyanya."
Aku dan Ayu pun naik ke level selanjutnya.
Level kedua yang lebih sulit. Ini memakai hukuman fisik seperti push up, sit up, berlari, dan lainnya. Kulihat sekumpulan anak cowok yang sudah naik di level 3 dimana itu adalah level yang paling atas. disuruh merayap di lumpur. Salah seorang yang sepertinya merupakan pemimpin dari sekelompok anak cowok itu rela berkorban dan dijadikan 'tumbal' dipanggil 'Kambing'. Dia nampak disiksa paling parah, namun aku tak bisa melihat dengan jelas siapa anak yang dipanggil 'kambIng' tersebut. Jelas saja aku tak memperhatikannya, aku saja juga akan segera dihukum.
Flashback selesai