Saat ini Albern cs sedang berada di markas milik The Dark sembari membahas perancanaan liburan ke Whitefish. Albern dan kawan-kawannya bersepakat akan menyusul Sila dan juga Edwin. Tapi, satu hal yang mengganjal di pikiran anggota The Dark yang lain.
'Mengapa tiba-tiba Albern ingin menyusul Sila?' Mungkin seperti itulah pertanyaan yang terlintas di pikiran anggota The Dark yang lain.
*****
Jam menunjukkan pukul 06.30 dengan cepat Sila mengemas barang-barangnya dan bergegas turun dari kamarnya untuk menemui Edwin. Terpaksa Sila harus ijin cuti selama dua hari, hal ini dikarenakan Edwin yang mengajak Sila pergi berlibur.
Kedua orangtua Sila juga pernah menyuruh Sila keluar dari tempat kerjanya. Tapi, karena Sila yang keras kepala dan bersikeras untuk membantu orangtuanya akhirnya orangtua Sila mengalah dan membiarkan Sila berbuat sesuka hatinya selama itu hal yang baik.
"Edwin ayo!" Ajak Sila pada Edwin. Edwin menganggukan kepalanya dan segera berpamitan pada orangtua Sila begitupun dengan Sila.
Kepergian Sila dan Edwin diiringi dengan kebahagiaan oleh mereka berdua. Baik Sila maupun Edwin sangat sangat menikmati liburan mereka ke Whitefish. Menaiki mobil Edwin, Sila bersenandung ria dan menyembulkan kepalanya keluar jendela mobil untuk menikmati semilir angin.
Selama beberapa jam mereka melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di villa milik Edwin yang berada di kota Whitefish. Whitefish merupakan kota kecil yang memiliki pemandangan indah nan alami di kaki Big mountain. Kota Whitefish juga menjadi pusat perdagangan bulu untuk pakaian di Amerika Serikat. Uniknya, setiap pukul 21.00 akan ada sirine yang berbunyi sangat nyaring pertanda bahwa anak-anak harus segera pulang dan tidur.
Setelah masuk ke villa milik Edwin, Sila segera membersihkan tubuhnya dan merapikan pakaiannya. Setelah selesai melakukan tugasnya, Sila segera turun dari kamarnya untuk menemui Edwin yang sedang berkutat di dapur miliknya.
"Edwin, apa yang kau lakukan?" Tanya Sila seraya menghampiri Edwin.
Edwin menoleh dan tersenyum manis pada Sila. "Apalagi? tentu saja memasak makanan untuk kita." Pernyataan Edwin cukup membuat Sila ternganga tak percaya. Selama bersahabat dengan Edwin baru kali ini Sila melihat seorang Edwin memasak untuk dirinya. Ah salah! maksudnya untuk dirinya sendiri dan juga Sila.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya Sila menawarkan diri. Edwin menggeleng menanggapi, Edwin menyuruh Sila untuk duduk diam dan menunggunya selesai memasak. satu jam Edwin memasak akhirnya masakan Edwin selesai. Dengan segera Edwin menyiapkan makanan yang dirinya masak dan menatanya dengan rapi diatas meja.
Ragu-ragu Sila menyedokkan makanannya ke mulutnya. Tapi akhirnya Sila tetap menyuapkan makanan tersebut dalam mulutnya. "Wlhekkk ... makanan apa ini, Edwin?" Hardik Sila menatap Edwin tajam. Bukan bermaksud Sila tidak tahu terima kasih karena sudah di masakkan oleh Edwin, tapi makanan yang dibuat Edwin benar-benar sangat asin dan itu membuat Sila melepehkan makanannya.
Edwin menatap Sila penuh bersalah, "Maafkan aku Sila. Ku pikir makanan ini akan enak nantinya, apa rasanya asin?" Edwin menjeda kalimatnya, melihat Sila yang menangguk mantap bahwa makanannya sangat asin. "Baiklah, ayo kita makan diluar saja." Ajak Edwin pada Sila.
*****
Saat ini Edwin dan Sila tengah berada di cafe kandahar, Whitefish.
Sembari menunggu makanan yang dipesannya, Edwin dan Sila berbincang ringan untuk mencairkan suasana. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya makanan yang dipesan mereka telah tersaji diatas meja.
"Sepertinya enak." Ucap Sila yang sudah tergugah mencoba makanan yang tersaji. Tanpa sadar Edwin tersenyum kecil dan mengacak rambut Sila gemas. Sila tak menghiraukan tindakan Edwin, dirinya sibuk mencicipi aneka macam makanan yang tersaji.
"Edwin setelah ini kita akan kemana?" Tanya Sila pada Edwin.
Edwin menepuk pelan dagunya dengan jari telunjuknya, seakan tengah berpikir, "Kita lihat nanti." Ucapnya terlihat acuh yang membuat Sila memutar bola matanya jengah.
Setelah selesai dengan makan siangnya, Sila dan Edwin berjalan menuju mobilnya. Edwin tengah memikirkan tempat yang akan dirinya dan Sila kunjungi. "Bagaimana kalau pergi hiking dan berperahu di Taman Nasional Glacier?" Ajak Edwin yang terlihat antusias ditanggapi anggukkan oleh Sila.
Selama beberapa menit menempuh perjalanan untuk segera menuju ke Taman Nasional Glacier, akhirnya mereka berdua sampai di tempat indah tersebut.
Tidak lengkap rasanya berlibur ke montana barat tanpa mengunjungi Taman Nasional Glacier, dan cara terbaik untuk melihatnya adalah dengan mengendarai Jalan Going to the Sun yang terkenal. Perjalanan spektakuler sepanjang 50 mil di pintu masuk taman di timur atau barat, dan membawa mereka melewati bermil-mil lembah yang dramatis, puncak berselimut salju, air terjun yang mengalir, dan danau pirus yang besar.
Salah satu bagian yang paling menarik dari drive adalah titik setengah ketika mereka telah mencapai ketinggian 6.646 kaki di sepanjang Continental Divide. Sebuah titik tertinggi yang dapat diakses dengan mobil di Going to the Sun Road. Untuk memaksimalkan perjalanan mereka, biarkan empat hingga lima jam sehingga mereka dapat berkendara perlahan dan berendam di sekitar dirinya. Ada banyak titik pengamatan di sepanjang jalan untuk menepi dan mengambil foto, dan banyak jalur hiking untuk dijelajahi.
Mereka juga dapat menaiki kapal bersejarah tahun 1920-an melalui beberapa pemandangan taman yang kurang dikenal, seperti Many Glacier dan Two Medicine Lake.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan alam yang menyejukkan mata, tiba-tiba pandangan Sila berubah suram. Seketika moodnya hancur hanya dengan melihat satu objek yang membuatnya kesal setengah mati. Disana lebih tepatnya didepan Sila berdirilah empat orang tampan yang terpandang. Sila mendengus, apa ini kesialan baginya?
Albern cs menghampiri Sila sembari tersenyum manis, "Bagaimana liburanmu, menyenangkan?" Tanya Albern ketika berhadapan dengan Sila. Sila mencoba tersenyum manis, sangat manis. Andai saja Sila memiliki keberanian untuk membalas Albern dengan kata-kata 'Oh tentu saja menyenangkan, apalagi jika bertemu denganmu tuan Albern Ainsely Kendo. Pasti akan lebih menyenangkan, cuihh!
"Tentu. Albern kau datang kesini hanya ingin liburan?" Tanya Sila terlihat seperti orang bodoh. Jika tidak untuk liburan lalu apalagi?
"Tentu saja memang untuk apalagi? menemuimu? oh tidak, jang-" Kalimat Albern menggantung karena dipotong oleh Sila. "Oh. Sebenarnya itu tidak penting buatku. Hanya saja aku iseng bertanya. Jika dilihat dari tampangmu itu aku merasa kau tak cocok di tempat ini."
Albern tersenyum sinis menatap Sila, begitupun dengan Sila yang terlihat meremehkan Albern.
"Sila kau tinggal dimana?" Suara seseorang membuyarkan keterdiaman Sila. Sila tersenyum manis menatap seseorang yang kini juga menatapnya.
"Aku tinggal bersama Edwin di villa milik keluarganya. Dan kau?" Tanya balik Sila pada Edward.
"Di hotel milik keluarga Albern." Jawab Edward yang diangguki oleh Sila. Sekali lagi Edward tersenyum, oh astaga ... Sila menahan napasnya sejenak menatap Edward.
Erol yang sedari tadi diam berdehem singkat untuk mencairkan suasana yang agak canggung itu. "Bagaimana kalau kita menikmati suasana ini bersama?" Ajak Erol yang dihadiahi pelototan dari Sila. Oh God, apakah dirinya diajak berjalan bersama dengan The Dark?
Sila berdecih pelan, tak suka dengan ide Erol yang menurutnya sangat buruk. Jika perempuan lain pasti akan dengan senang hati menerima tawaran tersebut, tapi tidak dengan Sila.
"Tidak, terima kasih. Aku akan pergi bersama Edwin saja. Benar kan Edwin?" Tolak Sila dengan nada yang dibuat sehalus mungkin.
"Tidak usah malu, jika memang mau katakan saja." Suara siapa itu, oh tentu saja sang raja bermulut pedas, tuan Albern yang terhormat.
"Aku tidak malu dan aku tidak mau." Ucap Sila yang agak merasa aneh dengan ucapanya.
"Oh ayolah Sila ..." Rengek Fredo dengan menunjukkan puppy eyesnya yang menurut Albern menjijikan. Dengan berat hati Sila menganggukan kepalanya pertanda dirinya mau.
Saat ini mereka berenam tengah bersepeda bersama setelah menjelajahi downtown Whitefish.
Whitefish juga dikenal memiliki salah satu sistem jalur sepeda terbaik. Selain dari pusat kota yang semarak, Whitefish juga dikenal memiliki salah satu sistem jalur sepeda terbaik di negara Amerika. Whitefish Trail menyediakan 55 mil jalur sepeda yang membawa mereka mengelilingi Danau Whitefish dan berkisar dari tingkat kesulitan mudah hingga sedang, medan menanjak yang menantang akan menguji ketahanan mereka. Itu juga salah satu tempat terbaik untuk hiking, berkemah, menunggang kuda, dan berenang di Montana Barat.
Setelah puas bermain-main akhirnya mereka semua memutuskan untuk pulang ke hotel masing-masing. Jika Albern cs menuju hotel mereka, sedangkan Sila dan Edwin menuju villa mereka.
*****
Jam menunjukkan pukul 10 malam dan Edwin dan Sila tengah asik menonton tv diruang santai sembari menikmati coklat panas buatan Sila.
"Sila, sepertinya ada seseorang yang datang." Ucap Edwin pada Sila yang sedang menikmati acara di televisi.
"Kalau begitu bukalah pintunya!" Suruh Sila pada Edwin tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Edwin mendengus, tapi dirinya tetap melaksanakan apa yang diucapkan Sila.
"Siapa Edwin yang datang malam-malam begini?" Seru Sila yang memdengar suara derapan langkah kaki menuju kedalam rumah.
Sila tak mendengar sahutan dari Edwin, akhirnya dirinya memutuskan sambungan televisinya dan berbalik menatap Edwin yang kini berada dibelakangnya. Mata Sila terpaku pada sosok yang dipapah oleh Edwin. Hey, untuk apa dia datang kemari?
"Kenapa dia?" Tanya Sila terlihat sinis.
Edwin menghela napas pelan, "Aku juga tidak tau, tiba-tiba dia datang kemari dalam keadaan seperti ini. Kurasa dia mabuk."
"Cih! menyusahkan. Lalu kita apakan dia?" Jika Sila mau, dirinya lebih baik membiarkan Albern berada diluar. Ya ... orang yang dipapah oleh Edwin adalah Albern.
"Tentu saja kita baringkan di kamar ... mu." Sila melotot mendengar penuturan Edwin. Dikamarnya?
"Tidak Edwin, kenapa tidak dikamarmu saja?!" Ketus Sila bertanya pada Edwin.
Edwin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Albern tidur bersamanya?
Tidak-tidak menatap Albern saja Edwin tak sudi. Bukan, ini bukan karna Edwin yang sangat benci pada Albern. Tetapi ini karena dirinya yang takut pada Albern. Bagaimana tidak takut, menatap matanya saja harus diberi kartu merah, tanda bahwa seluruh siswa kampus dapat menindas seenaknya.
Dengan senang hati Sila mengusulkan bahwa Albern dibaringkan disofa depan tv. Biarkan saja Albern tidur diluar, memang dia pikir dirinya tamu istimewa, pikir Sila. Setelah membaringkan Albern di sofa, Edwin segera berlalu dengan Sila untuk menuju ke kamar mereka masing-masing.
Mata Sila tak kunjung terpejam membuatnya gelisah di tempat tidur. Entah apa yang sedang dirinya pikirkan Sila pun tak tau itu. Sila beranjak dari tempat tidurnya dan berlalu menuju ruang santai yang terletak di lantai bawah. Tak lupa Sila membawa satu buah bantal dan selimut yang dirinya ambil dari almarinya.
Sila berjalan pelan menuju sofa depan tv, berjalan pelan hingga tak menimbulkan suara sekecil pun. Sila mengamati wajah terlelap Albern, oh entahlah Sila merasa mungkin dirinya sedikit kagum?
Sila mengangkat kepala Albern pelan dan meletakkan bantal di bawah kepalanya serta menyelimutinya penuh hati-hati. Setelah selesai dengan kegiatannya Sila segera beranjak kembali ke kamarnya. Tapi, tunggu ... seseorang mencekal pergelangan tangannya.
Sila berbalik menatap tangannya yang dicekal dan menatap seseorang yang mencekal tangannya. Albern, Albern mencekal tangan Sila sembari menatap Sila penuh dalam. Hanya sinar rembulan lah yang menyinari wajah keduanya. Sila menelan salivanya susah, entah ada apa dengan dirinya Sila pun tak tau itu.
"Albern, aku ..." Albern menarik tangan Sila hingga Sila terjatuh diatasnya. Jarak Albern dan Sila hanya beberapa centi saja, bahkan Sila sampai menahan napasnya karena berjarak sangat dekat dengan Albern. Hembusan napas Albern yang lembut menerpa wajah Sila, menyapu lembut seisi wajah Sila.
Perlahan tapi pasti Albern mendekatkan wajahnya dengan Sila dan ...
Cup
Kecupan Singkat Sila dapatkan dari Albern. Sila mematung ditempatnya. Ingin rasanya Sila menampar wajah Albern karena menciumnya sembarangan, namun ada apa dengan tubuhnya. Bahkan tubuh Sila menerima ciuman tersebut.
"Temani aku disini." Ucap Albern pelan dan terlihat lemah. Sila mengangguk, tapi sungguh Sila merasa risih dengan posisinya saat ini. Tapi lama-kelamaan mata Sila terasa berat dan dirinya akhirnya terlelap juga dalam dekapan hangat Albern.