Kuhela nafas panjang saat kukendarai mobilku melewati pagar rumahku yang tinggi. Sudah satu minggu sejak meninggalnya bunda, barulah sekarang aku bisa kuat pulang kerumah, karena terlalu banyak kenangan dirumah ini yang membuatku tak sanggup pulang. Terlihat Pak Somat, satpam penjaga gerbang menganggukan kepalanya kepadaku dan berjalan mendekati mobilku, dari raut mukanya seolah hendak menyampaikan sesuatu.
"Selamat malam pak" kataku tersenyum.
"Selamat malam non" sambil sesekali melihat kearah teras rumah.
"Kenapa pak, ada masalah atau ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku sopan karena beliau sudah bekerja sejak bundaku masih kecil, orang tua pak Somat yang sebelumnya bekerja ikut kakekku, jadi beliau sudah kuanggab seperti keluarga sendiri.
"Itu non didalam ada ..." Sebelum pak Somat menyelesaikan omongannya sudah terpotong suara ayah dari depan rumah.
"Ngapain kamu Somat, balik keposmu" dengan tergopoh pak Somat kembali kepos jaganya. Kukernyitkan keningku. Setelah melihat pak Somat sudah dipos, ayah kembali masuk kedalam rumah tanpa menutup kembali pintu, "Ada masalah apa, kenapa ayah terlihat marah?. Ada apa ini?".
Kumajukan dan kuparkir mobilku saat kubuka pintu mobil, didalam sudah ada seorang wanita yang berpakaian terlalu terbuka menurutku dan gayanya terlihat seperti nyonya rumah. Duduk disofa ruang tamu dengan kaki disilangkan dan pandangan yang terlihat membenciku.
Pelan kumasuki rumahku yang seakan bukan rumahku lagi, terasa sekali perbedaannya dari sebelum kutinggalkan seminggu yang lalu. "Siapa sih nih perempuan?" Batinku bertanya - tanya.
Perempuan itu memegang gelas ditangan kanannya, bukan, bukan gelas itu yang menjadi fokusku tapi cincin yang melingkar dijari manisnya. Aku tak mungkin salah, itu cincin bundaku. "Apa ini, siapa dia, berani sekali memakai perhiasan bundaku". Kurasakan amarahku meletup, tak kututupi rasa tak sukaku padanya, wanita asing yang belum pernah kutemui sekalipun. Nafasku berembus kencang, tanganku terkepal erat. Semarah apapun aku, tak pernah bisa mengalahkan budi pekerti yang sudah diajarkan bunda sedari kecil.
"Siapa anda?" Tapi hanya lirikan dan senyum arogannya yang menjawab pertanyaanku. Wanita itu tetap diposisi semula, dengan santai menyesap minuman yang kutaksir mengandung alkohol.
Dari sudut mataku kulihat ayah keluar dari ruang kerjanya. Kualihkan pandanganku padanya. Kutudingkan jariku pada wanita itu, tanganku sedikit gemetar pertanda amarahku kian tinggi.
"Siapa perempuan ini ayah? Kenapa dia berani sekali memakai cincin bunda?"
"Jaga sikapku Atifa, dia mama barumu" Jawaban ayah seakan pasak menusuk jantungku. Aku tertawa sumbang.
"Tifa gak salah dengerkan ayah?" Ketidak percayaan terlihat jelas dari pancaran mataku.
"Ayahmu tak salah, aku memang mama barumu" tidak kuhiraukan kata wanita itu, pandanganku tetap padanya, pada ayah yang kuharap mengatakan bahwa dia hanya bercanda. Tapi yang kudapat apa? ayah malah tersenyum pada wanita itu. Mengulurkan tangannya memeluk pinggang wanita itu yang mendekat padanya. Saling memandang dan melempar senyum bahagia. Membuatku muak melihatnya.
"Kenapa ayah? bunda baru seminggu meninggal, kenapa ayah tega?" Perlahan air mataku mengalir deras dan suaraku pun ikut bergetar.
"Bundamu sudah tau ayah menikahi Ayu sejak sepuluh tahun yang lalu" jawabnya kalem tanpa rasa bersalah.
"Kapan bunda tahu?" Kutundukkan pandanganku, semarah apapun, dia tetaplah ayahku. Lama tak kudengar jawabannya.
"Jawab ayah!" Kutinggikan suaraku.
"Sebulan yang lalu" lirih kudengar suaranya. Kututup mataku, pedih rasanya. Jadi ini penyebab sakit jantung bunda kambuh, koma dan tak bangun lagi sekeras apapun aku memohon disampingnya untuk tak meninggalkanku.
"Tifa gak akan mengakui wanita itu" menyebut namanya pun aku tak sudi. Kubalikkan badanku, kutinggalkan mereka menuju kamarku dilantai dua. Saat kuinjakkan kakiku ditangga kudengar suara angkuh wanita itu.
"Oya... satu lagi kamu juga punya seorang kakak perempuan" kulanjutkan langkahku, tak kupedulikan lagi perkataan wanita itu. Sayup kudengar suaranya. "Putriku menempati kamar tepat disebelahmu". Langkahku berhenti dianak tangga terakhir. Disana didepan pintu kamar sebelah kiri kamarku, berdiri menyender dipintu, menyilangkan tangan didada dan tersenyum cerah. "Dewi..." kataku dalam hati. Temanku sejak SMA yang selalu membenci dan mencari celah menjebakku dalam masalah. Wajah cantik dan kalem didepan orang orang, tapi bengis jika hanya berdua denganku.
Tanpa menjawab kututup pintu kamar dengan dentaman nyaring. Kurebahkan badanku yang kelelahan dikasur, masih teringat jelas setiap kenangan dengan Bunda dalam kamar ini. Tanpa terasa air mata perlahan turun dan makin menganak sungai, kuremas sprey sekuat tenaga, untuk meluapkan segenap sesak didada. Tak pernah sedikit pun terbayangkan jika Ayah benar-benar telah menikah lagi dan mempunyai anak seusiaku. Berbagai dugaan buruk silih berganti dalam kepalaku.
Dan berbagai pertanyaan yang tak ada jawabannya kecuali bertanya langsung kepada Ayah. Dengan semua kejutan yang kudapat hari ini seakan menghabiskan seluruh tenagaku. Kutelentangkan badanku, kutatap langit-langit kamar. "Sanggupkah aku mendengar jawaban dari Ayah nanti?". Kututup kedua mataku dengan lengan kiri, menekan perih dimata, berharap perih itu sedikit menghilang.
Pagi ini rasanya semua seakan hanya mimpi buruk dan berharap saat kubuka pintu kamarku, semua masih sama seperti saat bunda masih hidup, dan tak ada yang berubah. Ayah masih seorang suami dan ayah yang teladan. Kududukan badanku dipinggir ranjang, setelah menghela nafas beberapa lali kulangkahkan kakiku kekamar mandi, bersiap menghadapi semua masalah diluar. Hari ini aku memakai gaun selutut tanpa lengan dengan motif bunga-bunga kecil. Saat masuk keruang makan disana hanya ada Ayah yang sedang membaca koran pagi dan perempuan itu, tak nampak batang hidung Dewi dimanapun. Tak ada nafsu makan sedikitpun sejak kulihat perempuan itu, perlahan kudekati ayah.
"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada Ayah" kudengar ayah menghela nafas sekali, melipat koran dan meletakkannya dimeja.
"Bicara saja setelah sarapan" Kata perempuan itu. Tapi aku masih tak bergeming dari tempat berdiriku. Kutatap ayah tajam.
"Ikuti Ayah" ayah beranjak dari duduknya, berjalan menuju ruang kerjanya. Kulirik perempuan itu tetap asik dengan sarapannya tanpa merasa terganggu sedikitpun. Kuikuti ayah keruang kerjanya, masuk dan kututup pintunya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?" pertanyaan pertamanya, bukan menanyakan kemana aku pergi selama ini ataupun keadaanku saat ini. Aku hanya tersenyum miris, secepat itu manusia berubah, masih kuingat saat aku duduk dipangkuannya menggambar, ayah mengerjakan pekerjaannya dimeja itu. Diam-diam kualihkan tatapanku keatas, sekuat tenaga menahan air mata yang ingin keluar lagi.
"Kenapa?" hanya satu kata itu yang sanggup keluar dari mulutku, aku takut jika aku meluapkan amarahku, air mataku akan ikut menganak sungai dan saat ini bukan itu yang kuinginkan.
"Karena ayah hanya menghormati bundamu yang sudah menyelamatkan opa, tapi ayah tak pernah mencintai bundamu"
"Lalu kenapa ayah menikahi bunda?"
"Karena itu permintaan terakhir opa, dan omamu berkeras agar ayah mengabulkannya. Sebagai anak satu-satunya tentu ayah harus melakukannya suka atau tidak"