Bughh!
"Berengsek lu!"
Bughh!
"Nisa!" Ibu menjerit histeris ketika Nisa memukul dua orang penjahat dengan pentungan. Wanita bergamis ungu itu mencengkeram pergelangan tangan putrinya dengan erat. Gadis berambut cepak itu berusaha melepaskan cengkeraman tangan ibunya dengan emosi.
"Lepasin Nisa, Bu! Biar Nisa hajar tuh penjahat biar kapok!" desis Nisa dengan mata memerah karena amarah yang menggelegak.
"Cukup, Nisa... cukup! Jangan menghakimi orang seenaknya. Kamu itu anak gadis. Nggak seharusnya seperti ini!" bentak ibunya.
Dua orang penjahat yang dihajar Nisa langsung lari kalang kabut.
"Sial! Mereka kabur!" umpat Nisa kesal. "Gara-gara Ibu sih, mereka jadi kabur! Penjahat kayak mereka tuh seharusnya dihajar abis-abisan, biar kapok!" Nisa tampak emosi.
"Nisa!" bentak ibunya lagi.
"Apaan sih, Bu? Udah ah, Nisa mau pulang!"
Nisa menghempaskan tangan ibunya dengan kasar lalu beranjak pergi dengan muka masam. Ibunya tampak berdiri mematung.
***
Sesampainya di rumah, ibu Nisa duduk terpekur di ruang tamu. Matanya menerawang entah ke mana. Bayangan Nisa yang memukul penjahat dengan pentungan tadi kembali terlintas dalam pikirannya. Lidahnya terasa kelu. Sungguh, tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa putrinya akan bertingkah layaknya anak laki-laki. Ia memberi nama 'Nisa' agar putrinya menjadi gadis yang sholehah dan anggun. Tapi kenyataannya, sikap Nisa jauh dari sholehah, yang ada malah sikap tomboy dan kasar.
Wanita itu berdiri lalu beranjak ke sebuah rak. Di sana tampak album foto keluarga. Perlahan ia ambil album foto lalu membukanya. Ia tercekat menatap foto Nisa sewaktu masih kecil. Putrinya itu tampak manis dan menggemaskan. Kenapa sekarang Nisa berubah drastis? Apakah ia salah mendidik putrinya? Ataukah ia kurang memerhatikan pergaulan putrinya sehingga sikap Nisa jadi seperti itu?
Berbagai pertanyaan terlintas dalam pikirannya, membuat wanita itu ketakutan dan menangis. Nisa bukan hanya sekadar tomboy, tapi mentalnya sudah seperti anak laki-laki. Kasar.
"Ya Allah, apa aku salah mendidik anakku selama ini? Kenapa dia jadi seperti itu? Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?" Ibu Nisa merintih dalam doanya.
***
Terdengar suara musik yang memekakkan telinga, ibu Nisa yang tengah memasak tampak geram. Pisau yang dipegangnya ia letakkan dengan kasar. Wanita itu menengok ke arah kamar Nisa yang tertutup rapat. Giginya bergemeletuk menahan amarah melihat kelakuan putrinya itu di pagi hari. Setiap hari selalu melakukan hal yang sama, menyetel musik rock dengan suara yang keras adalah kebiasaan Nisa yang membuat wanita berjilbab merah marun itu selalu naik darah.
"Nisa, matikan musiknya!" teriak wanita itu sekencang mungkin.
Tapi tak ada perubahan apapun. Suara musik yang keras masih terdengar. Wanita itu menghela napas kesal. Tanpa basa-basi, ia pun beranjak ke kamar Nisa. Dibukanya pintu kamar itu dengan kasar. Tampak Nisa yang jejingkrakan tidak jelas.
"Nisa!"
Tak ada respon dari Nisa. Wanita itu jadi tambah geram. Ia beranjak masuk ke dalam kamar dan mematikan musik. Nisa kaget melihat ibunya mematikan musik tanpa persetujuannya.
"Apa-apaan sih, Bu?!" sentak Nisa.
Ibu Nisa bersedekap lalu menatap mata putrinya tajam. "Anak seusia kamu itu belum saatnya denger musik begituan. Ngerti?! Berkali-kali ibu bilang, kenapa kamu nggak paham juga, Nis? Ibu capek nasehatin kamu melulu. Mulai besok kamu pindah ke pesantren!" tegas wanita itu.
"Tapi, Bu...."
"Nggak ada kata 'tapi'. Ini udah keputusan akhir. Titik!" tegas wanita itu sekali lagi.
Ibu Nisa beranjak keluar tanpa memberi kesempatan pada putrinya untuk membantah keputusan yang ia ambil.
Brakkk!
Nisa marah dan melempar bantal ke arah pintu kamar yang sudah tertutup.
***
Nisa mematung di depan gerbang bangunan yang cukup luas itu. Raut mukanya tampak masam. Antara kesal, marah dan kecewa atas keputusan yang diambil ibunya itu. Tak dipedulikan wanita yang melahirkannya itu memanggilnya untuk ikut masuk ke dalam bangunan yang baginya seperti sebuah penjara. Nisa bergidik.
Ibu Nisa menghela napas lalu menghampiri putrinya. Dicengkeramnya pergelangan tangan gadis itu lalu ia seret masuk ke dalam bangunan asing. Nisa berontak, hendak melarikan diri. Tapi cengkeraman tangan ibunya terlalu kuat, membuat gadis itu tak berkutik.
"Lepasin Nisa, Bu! Sakit!" desis Nisa.
Ibunya menoleh dan melotot. "Diam!" geram wanita itu.
Nisa terdiam dan tidak berontak lagi. Tampak di kejauhan seorang laki-laki yang berwibawa menghampiri mereka. Laki-laki itu tersenyum ramah pada Nisa dan ibunya.
"Assalamu'alaikum, Bu, Nisa," sapa laki-laki itu sopan.
"Wa'alaikumsalam, Pak Ustadz. Maaf kalau kedatangan kami mengganggu," balas ibu Nisa sambil tersenyum.
"Sama sekali tidak mengganggu, Bu." Pak Ustadz tersenyum.
"Kalau begitu saya titip putri saya ya, Pak." Ibu Nisa mendorong Nisa maju ke depan. Dari raut wajahnya, Nisa masih tampak kesal dengan keputusan ibunya menurutnya tidak adil. Tapi lagi-lagi Nisa tak berkutik ketika wanita itu melotot ke arahnya.
"Insya Allah kami akan membimbing putri ibu agar sikapnya bisa berubah menjadi lebih baik," janji Pak Ustadz.
"Terima kasih, Pak Ustadz. Kalau begitu, saya permisi dulu." Wanita itu mengerling ke arah Nisa. "Nis, ibu pulang dulu, ya?"
Gadis itu tak menjawab, menoleh pun tidak. Ibu Nisa menghela napas. Ia tahu bahwa putrinya itu masih marah padanya. Ia menoleh ke arah Pak Ustadz yang tampak tersenyum maklum dengan sikap ibu dan anak itu. "Assalamu'alaikum, Pak Ustadz."
Pak Ustadz mengangguk. "Wa'alaikumsalam."
Sepeninggal ibunya, hati Nisa terasa perih. Tak dipedulikannya Pak Ustadz yang memanggilnya untuk masuk ke gedung asrama.
***
Kehidupan di pesantren tidak seperti di rumah. Nisa syok ketika Kepala Asrama dan Bu Ustadzah menyuruhnya untuk memakai hijab panjang dan harus bangun pagi. Belum lagi aturan lainnya. Dan yang membuatnya tercengang adalah aturan mengaji sampai malam buat para penghuni pesantren. Nisa yang nyaris jarang mengaji tentu saja tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan pesantren.
Bahkan, karena hanya Nisa satu-satunya yang sering kena marah karena bandel. Semua peraturan yang ada di pondok selalu ia langgar. Termasuk peraturan dilarang membawa ponsel. Nisa menyembunyikan ponselnya tapi ketahuan oleh Bu Ustadzah dan Kepala Asrama. Ponsel Nisa disita untuk sementara.
"Ta... tapi itu kan barang sayang, bu. Ibu saya yang beliin hp itu. Kenapa sekarang jadi hak milik pesantren. Ini nggak adil! Peraturan ini aneh banget tau nggak!"
Ustadzah Ainun segera menariknya, sedikit kasar tapi sebenarnya ia berusaha tegas mengahdapi anak modern yang baru kenal pesantren ini. Nisa dihadapkan pada peraturan dan tata tertib yang dipasang di pintu aramanya.
"Baca tata tertibnya! Teruraman poin sembilan."
Dengan ragu dan kesal Nisa mengejanya. "Santri dilarang membawa telepon genggam. Apabila melanggar, maka telepon genggam akan disita dan menjadi hak milik pesantren."
"Paham, kan? Saya rasa kamu juga seduha sering membaca tata tertib ini, kan? Tapi kenapa langgar?"
"Bu, zaman sekarang manusia itu harus ngerti internet! Bahkan di semua sekolah modern udah pasang wi fii. Disini kok malah dilarang muridnya mau pinter."
"Pesantren kami juga sudah ada wi-fii-nya. Dan siswa boleh memakai fasilitas itu kalau sedang ada tugas yang berkaitan dengan internet! Sekarang juga kamu ke kantor, temu Pak Aceng!"
Nisa kaget. "Waduh, ketemu Pak Aceng, bu! Nggak ah... nggak mau. Lagian kan hapenya udah ibu ambil, masa saya harus ketemu Pak Aceng lagi."
"Ke bawah sekarang juga, Nisa! Belajar bertanggung jawab atas semua masalah yang kamu lakukan! Ayo!"
Dengan lemas Nisa pun mengikuti langkah Bu Ustadzah Ainun.
*****
Ibu Nisa yang kini tinggal sendirian di rumah sering terlihat termenung. Sejujurnya, ia sangat merindukan Nisa. Tapi ia berusaha untuk menahan perasaan rindunya sekuat mungkin. Dia cek hapenya, belum ada kabar dari Nisa.
"Nisa belum berkabar juga. Padahal ibu udah kangen. Ya Allah, sabarkan aku. Ini semua demi kebaikan Nisa. Sampai dia berubah, aku harus menahan diri untuk nggak menengoknya."
Wanita itu menghela napas lalu mengembuskannya, berat. Hatinya terasa perih. Perasaan rindu itu benar-benar mengujinya. Membuat ia tertekan. Akhirnya ia tak kuat lagi menahan rindu pada putrinya.
Bergegas ia mengumpulkan kue-kue, boneka dan sebagainya untuk Nisa. Ia berharap putrinya itu tak marah lagi padanya.
"Maafkan Ibu, Nis. Ibu melakukan semua ini semata-mata demi kebaikan kamu. Ibu harap kamu mau mengerti maksud Ibu," lirih wanita itu di sela-sela mengemasi barang-barang untuk Nisa.
***
Nisa yang masih marah pada ibunya, tidak mau bertemu dengan ibunya ketika sang ibu datang berkunjung.
"Nisa, ibumu datang berkunjung."
Nisa menoleh ke arah Bu Ustadzah. Raut wajahnya tampak malas. Dengan cuek gadis itu berkata, "Nisa nggak mau nemuin Ibu. Nisa benci sama Ibu. Bukankah Ibu udah membuang Nisa kayak anak-anak yatim yang lain?"
"Astaghfirullah, Nisa... kamu salah paham. Ibumu sayang banget sama kamu. Kamu temuin ibumu dulu, ya?" bujuk Bu Ustadzah.
"Nggak mau!"
Nisa lari keluar kamar sebelum Bu Ustadzah sempat mencegahnya. Bu Ustadzah menemui Ibu Nisa dengan tangan kosong. Ia sampaikan kata-kata yang diucapkan oleh Nisa tadi pada ibunya.
Hati Ibu Nisa semakin hancur mendengar kata-kata Nisa. Pak Ustadz tampak prihatin dengan kondisi ibu dan anak itu.
"Ya udah nggak apa-apa, Pak Ustadz, Bu Ustadzah. Saya titip barang-barang ini buat Nisa, ya? Tolong didik Nisa lebih baik lagi. Terima kasih untuk semuanya. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum." Wanita itu berdiri dengan raut wajah sendu.
"Wa'alaikumsalam. Insya Allah kami akan mendidik Nisa lebih baik lagi. Nanti akan saya kasihkan barang-barang ini ke Nisa," tukas Pak Ustadz sebelum Ibu Nisa beranjak pergi.
Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum.
***
Nisa memandangi barang-barang pemberian ibunya dengan tatapan dingin. Tak ada keinginan sedikit pun untuk membuka barang-barang itu. Setengah melengos, ia beranjak ke tempat tidur dan menghempaskan tubuh di sana.
Nisa terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran dari keningnya. Jantung berdegup kencang.
"Ternyata mimpi." Gadis itu mengembuskan napas lega. Tapi tiba-tiba ia merasa cemas. Bagaimana kalau mimpinya tadi jadi kenyataan? Di dalam mimpi, ibunya dijahati orang dan dipaksa menikah sama orang itu. Melihat ibunya menangis dalam mimpi membuat hati Nisa terasa perih.
Gadis itu melihat figura foto ibunya yang masih terbungkus koran dan belum sempat ia pajang. Dirobeknya koran pembungkus itu lalu ia tatap foto sang ibu yang tampak tersenyum. Lagi-lagi hatinya terasa perih. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan tak bisa ia bendung. Tetes demi tetes air mata itu mengalir di pipi. Nisa terisak pelan dalam tangis.
Tiba-tiba ia teringat barang-barang pemberian ibunya yang belum dibuka. Ketika Nisa membuka barang-barang itu, terlihat sebuah surat yang terselip di antara boneka-boneka. Nisa membuka surat itu.
Plukk!
Air mata Nisa semakin deras mengalir. Surat yang berisi permintaan maaf ibunya jyga alasan ibunya memindahkahnya ke pondok pesantren adalah agar Nisa berubah menjadi perempuan yang sholehah. Dan ibunya takut salah mendidik dirinya karena sikap Nisa yang tidak seperti perempuan pada umumnya.
"Maafin Nisa, Bu... Nisa janji akan berubah," lirih Nisa dalam tangisannya. "Ya Allah, tolong jaga ibu selama Nisa tinggal di pondok pesantren. Nisa sayang banget sama ibu. Tolong lindungi ibu Nisa, Ya Allah. Dan juga, bantu Nisa agar bisa berubah. Aamiin...." Doa Nisa dalam peretengahan malam.
***
"Nisaaa!"
Butir-butir keringah dingin membasahi kening wanita itu. Bibirnya tampak kering. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Astaghfirullah...." Wanita itu terisak pelan. "Ya Allah, tolong jaga putri hamba, Nisa. Bantu dia agar bisa berubah dan menjadi perempuan yang sholehah. Hanya dia satu-satunya harta yang hamba miliki, Ya Allah. Aamiin...." Doa wanita itu di tengah isakannya.
***
Keesokan harinya Ibu Nisa datang ke pondok pesantren. Ia mengintip dari luar gerbang, berharap bisa melihat Nisa walau hanya sekilas. Dan benar saja, Nisa tampak berjalan ke dekat gerbang. Gadis itu terlihat murung. Tiba-tiba Nisa menangis.
"Nisa kangen sama Ibu.... Maafin Nisa atas sikap Nisa selama ini, Bu... tapi, tapi Nisa bersikap macho seperti itu bukan tanpa sebab. Karena Nisa... karena Nisa pengin melindungi Ibu menggantikan Ayah. Karena Nisa sayang banget sama Ibu. Nisa nggak mau terjadi sesuatu hal yang buruk sama Ibu. Nisa pengin ngejagain Ibu...." Nisa terisak.
Ibu Nisa membungkam mulutnya. Ia tak percaya dengan kata-kata yang ia dengar. Ia syok dan menangis.
"Nisaaa...." Ibu Nisa berlari memeluk putrinya dari balik jeruji gerbang.
Nisa tersentak kaget dan menoleh. Air matanya mengalir semakin deras ketika ia melihat ibunya. "Ibuuu...." Nisa berlari ke arah ibunya dan meneluk wanita yang ia sayangi itu. Mereka berpelukan di antara jeruji gerbang. Melepas semua kerinduan yang selama ini terpendam.
Di kejauhan, tampak Pak Ustadz menangis terharu ketika menyaksikan Nisa dan ibunya berpelukan.
Kasih ibu itu luas. Bahkan tak terukur. Kasih ibu itu sepanjang masa. Tak tergantikan oleh apapun di dunia ini. Ibu. Sosok yang begitu mulia melebihi siapapun. Ibu. Tak ada doa yang lebih ampuh daripada doa seorang ibu.
SELESAI