Chereads / Surya & Chandra / Chapter 4 - Salju di Masa Lalu

Chapter 4 - Salju di Masa Lalu

5 tahun yang lalu.

Ruangan itu sudah penuh sejak pagi, semua orang dari segala ppenjuru negeri memenuhinya. Fabien adalah salah satu orang yang berada disitu. Tapi dia tidak Memperhatikan segala kejadian yang sedang terjadi di depan ruangan itu, dia masih sibuk membaca dan mencoret buku yang sedang dipegangnya.

Fabien merupakan perwakilan dari wilayah musim panas untuk menghadiri pelantikan pendeta agung yang menguasai wilayah musim dingin. Dia sekali pun tidak melihat kerarah depan—bahkan ini bukan acara untuk kepercayaan, dia datang keseni hanya untuk kebutuhan politik.

Wilayah musim dingin kehilanngan pendeta agungnya beberapa bulan yang lalu, dan baru hari ini dilantik pendeta agung yang baru. Pendeta agung baru yang sedang dilantik itu bernama Monsieur Lagrein, seorang pria berumur 45 tahun. Pelantikan Lagrein tidak berjalan mulus begitu saja, banyak isu yang berterbangan kalau dialah yang membunuh Pendeta Agung yang sebelumnya, tapi tidak ada ditemukan satupun bukti yang mengarah padanya.

Fabien yang merupakan salah satu politikus paling berpengaruh di wilayah empat musim tentu saja, mau tidak mau dia harus menghadiri acara itu. Dia jauh-jauh dari wilayah musim panas ke wilayah musim dingin untuk menghadiri acara itu. Dia datang berbicara sedikiit dengan orang yang berpengaruh disitu dan akan berbicara kembali ssetelah acara ini selesai, dia tidak akan berbicara ataupun memperhatikan segala hal yang terjadi di pertengahn acara.

"Sepertinya kau tidak tertarik dengan apa yang terjadi didepan situ" suara seorang pria yang duduk berada disampingnya mulai mengusik ketengan yang sejak tadi dimiliki Fabien.

Dia menatap pria itu, dan melihat seorang pria yang berumur tidak jauh darinya, tersenyum kepadanya. "Aku tidak pernah tertarik soal keagaman, apalagi soal agama yang tidak kuanut" Fabien mengemabalikan konsentrasinya ke bukunya.

Pria itu terdiam dan masih menatap Fabien dari kursi "Kalau begitu apa yang dilakukan seorang seperti mu disin ?i—disebuah acara keagaman yang paling besar di wilayah musim dingin"

"Politik" jawab Fabien singkat, dia benar-benar tidak ingin berbasa-basi sekarang.

"Wow seorang politkus" Terdengan nada sarkas di kalimat iitu "Kalau kau memang seorang politukus, dari wilayah mana kau berasal?" Pria itu masih belum menyerah untuk menarik Fabien keluar dari wiilayh nyamannya.

"Wilayah Musim Panas, dan sebelum kau tanya lagi aku bukan sultan" Jawab Fabien dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari bukunya.

"Wilayah Musim Panas !?" Pria itu menatap Fabien dari ujung kaki ke ujung kepalanya "itu menjelaskan pakaianmua yang aneh ini"

Kalimat itu membuat Fabien mengalihkan pandengnnya dan menatap langsung ke pria itu "Maksudmu?" tanyanya mulai tersinggung.

Pria itu yang mulai menyadari kalau dia telah melewati batas, terkejut melihat respon dari Fabien "Maksudku...Jubah merah mu itu sangat khas seperti yang dipakai orang-orang yang tinggal di wilayah musim panas" Pria itu menatapa langsung ke mata Fabien "Apalagi kacamata mu itu, tidak ada orang yang tinggal disini memakai kacamata"

"Benarkah tidak satupun orang yang memakai kacamata?"

Pria itu menggeleng "Tidak kacamata dilarang disiini" pria itu terdengar serius "Para pendeta bilang kalau kacamata hanya dipakai oleh para pendosa yang telah melupakan agama" jelas pria itu dengan nada tegas layaknya seorang pendeta.

"Atau orang itu rabun" celetuk Fabien.

Pria itu tertawa kecil mendengar itu "Ya benar, aku sampai sekarang masih menganggap aneh atauran itu" Lalu Pria itu terdiam.

Pemimpin acara hari itu meminta semua orang yang berada di ruangan itu untuk berdiri untuk melakukan doa penutup upacara hari itu. Fabien pun menutup bukunya dan berdiri dari bangku.

"Kalau kau kosong setelah acara membosankan ini, aku bisa membawamu berkeliling kota, aku tahu betul seluk beluk dan setiap sudut kota, itu kalau kau mau" Pria itu menguucapkan itu ditengah-tengah doa.

"Tentu saja aku mau" jawab Fabien sopan, walaupun sebenarnya tidak mau "Jemput aku di kamarku" lanjut Fabien, yang dalam pikiran beranggapan kalau pria itu tidak akan pernah tahu letak kamarnya.

"Baiklah"

Lalu doa itu selesai, dan semua orang yang berada di ruangan itu bertepuk tangan denga sopan.

"Ngomong-ngomong, Namaku Monsieur Arbres, panggil aja Arbres" Arbres mengulurkan tangannya ke arah Fabien.

Fabien menatan uluran tanggan itu lama, dia menimbang apakaha dia harus menerima uluran tangan itu atau tidak. Kemudian dengan menarik napas panjang dia menerima uluran itu dan menyalamnya "Fabien, Fabien Sham. Ngomong-ngomong kenapa semua orang menggunakan Monsieur disini?"

"Tidak semua orang, hanya para pendeta yang menggunakn itu" Jelas Arbres.

"Kau pendeta?"

Arbres mengaruk belakang kepala "Belum, aku masih belajar, tapi aku sudah suka menggunakan Monsieur sejak petama kali masuk sekolah pendeta"

Fabien menatap kedepan dan melihat barisan oran-orang yang ingin bersalamann dan memberikan selamat kepada Lagrein—yang sudah mulai menipis. Fabien membalikan tubuhnya dan menatap ke Arbres "Baiklah, aku harus menemui pendeta agungmu yang baru, sampai jumpa" Kata fabien sambil melambai tanggannya lalu kemudian berjalan kearah depan ruangan.

"Samapai jumpa, di kamarmu" Kata Arbres membalas lambaian tanggan itu.

"Iya kalau kau tau dimana letak kamarku" kata Fabien dibawah napasnya.

Fabien berjalan kedepan ruangan dan melihat Lagrein sudah tersenyum ramah—dan lebar kepadanya.

"Tuan Fabien ! aku tidak menyangkan kalauu kau yang diutus kemari" Ucap Lagrein sambil tertawa kecil.

Fabien tersenyum sopan "Tentu saja aku yang dikirim kemari, sultan tidak akan pernah mau datang kemari" Lalu Fabien menyalam Lagrein "Selamat atas pelantikannya, Monsieur"

Lagrein tersenyum "Terima kasih Fabien" Lagrein mengenggam tangan Fabien dengan erat "Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana acaranya? Kau menikmatinya kan?" tanya Lagrein sambil melepaskan genggamannya.

"Menarik, acaranya sangan menarik hari ini" Ucap Fabien sekenanya

Lagrein tertawa renyah "tentu saja menarik" Lalu lagrein meletakan tanggannya ke pundak Fabien "Undangan ku untuk masuk ke agama kami masih berlaku"

Fabien terbatuk mendengar itu "Eh...aku harus kembali ke kamarku, aku masih merasa lelah karna perjalanan jauh" ucapnya berusaha mengalihkan—sekaligus mengakhiri pembicaraan itu.

"Tentu saja dimana letak sopan santunku, beristirahatlah, kalau kau butuh apa-apa minta saja pada para pelayan" Kata lagrein sambil mengelus pundak Fabien, lalu melepaskannya.

"Baiklah" Kata Fabien yang kemudian langsung berjalan keluar meninggalkan ruangan itu.

***

Fabien sedang berada di kamarnya, berbaring dan sedang membaca buku yang sejak tadi belum diselesaikannya. Pakaian-pakaianya sudah terkemas rapi disampingnya. Keadaan seperti lah yang paling dia nantikan sepanjang hari ini. Sendirian disebuah ruangan, hanya ditemani dengan bukunya.

Sebuah ketukan kemudian terdengar dari pintu masuk kamarnya. Ketukan yang pertama tidak dia hiraukan—dia tidak membutuhkan sebuah gangguan sekarang. Lagipula siapa juga yang mengetuk pintu dia sekarang, pasti hanya orang iseng atau orang salah kamar.

Tak lama ketukan kedua terdengar, kali ini diikkuti sebuah kalimat "Aku tau kau didalam Fabien" Fabien langsung melonjak dari tidurnya dan terduduk di ranjang nya. Dia menatap ke arah pintu itu lagi, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Ayolah Fabien, ini aku Arbres, buka pintunya"

"Sialan" Ucap Fabien dibawah napasnya, yang dengan malas berjalan kearah pintu dan membukanya dan mendapati senyum lebar Arbres sudah terbentuk sempurna.

Kali ini Arbres tidak lagi mengunakan pakaian serba putih yang dipakai semua orang yang berada di upacara pelantikan tadi pagi. Dia menggunakan pakaian khas wilayah musim dingin, sebuah bau berwarna biru tua, sebuah celana longgar berwarna hitam dan sebuah jubah-tudung panjang berwrna hitam yang menutupi rambut putihnya.

"Kau sudah siap memulai turmu?" Arbres tersenyum lebar.

Fabien menghela napasnya, mau tidak mau dia harus menepati janjinya tadi siang. "Tunggu, aku harus mengambil jubahku dulu" Lalu Fabien berjalan ke gantungan jubahnya, mengambilnya, dan memakai jubah berwarna merahnya itu. "Baiklah aku siap" Fabien pun keluar dari kamar, menutup pintu masuk kamarnya, dan menguncinnya. "Baiklah tunjukan arahnya pemandu jalan" ucap Fabien yang berjalan lebih dahulu daripada Arbres.

"Tunggu, kau melupakan sesuatu" Arbres menarik lengan Fabien, yang membuat Fabien terkejut dan menatap binggung ke arah Arbres "Buka kacamatamu!" perintah Arbres.

Febien menaikan sebelah alisnya "Untuk apa?"

Arbres menghela napasnya "Kau tidak bisa berkelian di kota dengan menggunakan itu" Arbres dengan inisiatif melepaskan kacamata itu "Kau tau sendiri, benda ini terlarang disini"

"Tapi aku tidak akan bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata"

"Tenang saja" kemudian Arbres menggangkat tangan kananya ke arah kedua mata Fabien, lalu dia berbisik beberapa kalimat yang tidak dimergerti Fabien. Tak lama sebuah cahaya putih perlahan muncul dari tangan Arbres, dan menyapu mata Fabien.

Setelah cahaya itu menghilang, Fabien mengedip-ngedipkan matanya, masih berusaha menyesuaikan cahaya. Setelah selesai menyesuaikan matanya, dia menatap sekelilingnya dan semuanya terlihat sangat jelas, seakan-akan dia sedang mengunakan kacamatanya "Wow" katanya takjub.

"Jangan kagum dulu, Mantra itu hanya bertahan selama 24 jam, setelah itu matamu akan kembali seperti semula" jelas Arbres yang kemudian berjalan kedepan "Ayo, waktu kita tidak banyak"

Fabien mengikuti Arbres perlahan di belakang, dia masih menatap sekeliling, masih merasa takjub dengan sekelilingnya.

Mereka berjalan keluar dari Gereja Utama wilayah musim dingin, menuju ke jalanan utama kota yang padat oleh masyarakat kota yang lalu lalang mengerjakan akativitas mereka. Walaupun salju turun dengan derasnya, tapi itu tidak menganggu mereka sedikit pun.

"Kalian benar-benar tahan dingin" ucap Fabien, yang mulai mengusap-usap kedua tanggannya—dia sudah merasa kedinginan sejak pertama mereka keluar dari Gereja Utama.

"Tentu saja kami tahan, kami lahir, hidup, dan mati ditemani salju-salju tipis ini" Kata Arbres dengan bangga.

Setelah beberapa waktu mereka berjalan, mereka akahirnya sampai keebuah gedung yang tidak terlalu besar, yang langsung dikenali Fabien sebagai tempat makan. Arbres memasuki gedung itu terlebih dahulu, seorang wanita yang berada didalam gedung—yang menurut fabien adalah pelayan tempat makan itu langsung mengenali Arbres dan langsung memeluknya hangat. Mereka kemudian langsung sibuk menanyakan kabar masing-masing. Fabien hanya bisa melihat dari jauh.

Sejenak Fabien mengira pembicaraan itu akan berlansung, namun pelayan itu sudah pergi meninggalkan mereka. Arbres langsung duduk disebuah kursi yang tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi, Fabien dengan enggan mengikuti Arbres untuk duduk dikursi yang berada didepan Arbres.

"Oke, jadi kau mau makan apa?" tanya Arbres sambil mengangkat sebelah alisnya.

Fabien memutar tubuhnya dan menatap sekeliling ruangan tempat makan itu. Dia tidak mengenali satu pun makanan yang disajikan disitu. Dia mengangkat bahunya "Aku tidak tahu, kau saja yang menentukan"

Sebuah senyum jail muncul di bibir Arbres "Baiklah, kau akan menikmati makanan paling enak di seluruh wilayah musim dingin" Dia kemudian mengangkat tangannya, dan pelayan tadi datang dengan membawa catatan kecil "Seperti biasa dua" pelayana itu tersenyum, mengangguk, kemudian pergi kembali ketempat dia sebelumnya.

"Kau mesan apa?" tanya Fabien.

"Tunggu saja, kau akan menyukainya" kata Arbres masih tersenyum dengan jail.

Setelah menunggu selama beberapa menit, pelayan itu kembali datang dengan membawa dua mangkuk besar yang masih terlihat panas dan dua potong roti. Dia meletakan kedua mangkuk dan roti itu, mengucapkan kalimat "Selamat pergi" lalu pergi meninggalkan mereka

Fabien menatap mangkuk itu, didalam mangkuk terdapat sebuah cairan berwarna coklat kental. Terdapat sebuah gumpalan-gumpalan yang mengambang didalam mangkuk, yang menurutt dugaan Fabienn adalah daging, dia tidak tau itu daging apa.

"Apa yang kau tunggu? Makanlah" kata Arbres.

Fabien mengangguk, dia menatap ke arah Arbres, berusaha mencari tahu makanan apa yang sedang berada dihadapannya itu. Arbres dengan santai memotong roti dengan kedua tanggannya menjadi dua, lalu dia memasukan roti itu kedalam mangkuk. Dia mengambil sendoknya dan menyendok potongan roti yang sudah basah oleh kuah yang berada di mangkuk itu dan memakannnya.

Arbres menyadari tatapan Fabien "Kau belum makan juga?" tanya nya yang mulai tak sabar.

"Iya, iya ini aku makan" Kata Fabien yang kemudian melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Arbres sebelumnya. Begitu sendok itu masuk kedalam mulutnya, rasa hangat langsung menjalar keseluruh tubuhnya, dia tidak lagi merasa dingin. Dia terdiam, berusaha menikmati rasa itu, setelah rasa hangat itu perlahan menghilang, dia dengan lahap memakan makanan itu.

Arbres mengelengkan kepalanya dan tersenyum melihat Fabien yang makan dengan lahap itu. "Pelan-pelan, Fabien, aku tau itu enak tapi gak perlu buru buru gitu"

Fabien menghentikan makannya, dengan mulut yang masih penuh dia menatap Arbres. Dia menelan perlahan makanan yang masih di mulutnya, lalu menarik napasnya. "Maaf" dia mengambil gelas berisi air yang sudah disediakan pelayan tadi.

"Tidak apa-apa, itu sudah jadi ekspresi yang wajar untuk seseorang yang baru pertama kali makan sup itu"

"Sup itu?"

"iya?"

"Maksudku, sup ini tidak punya nama?" tanya Fabien bingung.

Arbres hanya menggenleng. Dia terdiam sebentar, seperti sedang memikirkan sesuatu "Oh, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" tanyanya dengan pelan dan hampir tidak terdengar oleh Fabien.

"Tentu saja, tanya saja, asalkan aku boleh menanyakan sesuatu juga padamu" Kata Fabien tanpa mengalihkan perhatiannya dari sup yang sudah tinggal setengah.

Arbres menarik napasnya "Baiklah"

"Pertanyaan satu" Fabien menggangguk mendengar itu—mengisyaratkan Arbres untuk melanjutkan kalimatnya "Kalau kau bukan penganut agama tuhan, apakah kau sama dengan orang-orang yang berada diwilayah musim panas?"

"Maksudmu, pemuja dewa?" Arbres mengangguk "Tidak, aku tidak tertarik dengan keagamaan" Jelas Fabien "Oke giliran ku untuk bertanya, Apakah semua orang yang tinggal diwilayah musim panas berambut putih?"

Arbres terdiam, lalu dia tertawa terrbahak-bahak "Oh...aku sangat menyukai pertanyaan ini" dia masih terus tertawa.

"Jadi jawabanya iya atau tidak?" tanya Fabien yang merasa pertanyaannya tidak terjawab.

Arbres mengusap air mata di wajahnya, lalu berhenti tertawa "Jawabannya iya, tapi kalau kau tanya apakah sejak lahir kami berambut putih? Jawabanya tidak" Arbres membuka tudungnya , lalu mengelus rambutnya "Rambutku berwarna hitam sewaktu masih kecil" Lalu dia memakai tudungnya lagi "Intinya, orang-orang wilayah musim dingin, cepat menua"

Lalu mereka saling melontarkan pertanyaan-pertanyaan satu sama lain. Terkadang pertanyyan pribadi, terkadang juga pertanyaan tentang budaya mereka masing. Tak terasa, sejalan dengan pertanyaan mereka, sup mereka akhirnya pun habis. Hingga sampai giliran Arbres untuk melontarkan pertanyaan.

"Oke Fabien, pertanyaan terakhir. Apa kau punya pasangan?"

Pertanyaan itu benar-benar tidak terduga bagi Fabien. Dia tidak menyangka kalimat itu akan terlontar dari Arbres, orang yang baru dia temui hari—atau lebih tepatnya beberapa jam yang lalu.

Arbres masih menatapa Fabien, menunggu jawaban dari kalimatnya "Aku menunggu" Kata Arbres yang mulai kehilangan kesabarannya.

Fabien menghela napasnya "Tidak—" lalu dia terhenti sperti teringat sesuatu "Maksudku, belum, aku belum punya pasangan" lalu Fabien berdiri mengambil jubahnya dan berjalan keluar. Arbres tidak sempat untuk melihat semu merah yang perlahan muncul di pipi Fabien.

***

Fabien sudah menunggu di luar, menyenderkan punggungnya ke dinding luar tempat makan itu. Dia entah sudah beberapa kali mengusap-ngusap kedua telapak tangan, berusaha menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi sudah menganggu. Dia menatap kedalam tempat makan itu, mendapati Arbres masih sibuk berbincang dengan pelayan tempat makan tadi.

Fabien yang mulai kehilang kesabaran, mengetuk dengan keras jendela itu. Arbres dan pelayan itu mendengar ketukan itu, lalu dengan serentak menatap ke arah Fabien yang memberikan bahasa isyarat yang berartikan "waktuku sudah tidak banyak". Melihat itu Arbres lalu mengucapkan beberapa kata pada pelayan itu, lalu memeluknya erat. Arbres kemudian keluar dari tempat makan itu.

"Maaf, aku benar-benar terbawa suasana, aku sampai tidak menyadari waktu" Arbres menunjukan senyuman terlebarnya, Fabien memutar bola matanya menanggapi senyuman itu "Oke, sekarang ke tempat selanjutnya" Kemudian Arbres mulai melangkah, yang diikuti Fabien di belakangnya.

Setelah beberapa menit mereka berjalan, akhirnya mereka sampai ke sebuah lapangan besar yang ditutupi salju tebal. Tenda-tenda besar didirikan di lapangan itu, berbeda dengan gedung-gedung di kota yang hanya berwarna putih dan hitam, tenda-tenda itu semua memiliki warna-warna yang berbeda satu sama lain. Anak-anak dan beberapa remaja berlarian kesetiap sudut lapangan, semuanya terlihat bahagia, bahkan beberapa orang tua yang menemani anaknya, juga tampak bahagia.

"Tempat apa ini?" tanya Fabien sambil menyapu seluruh lapangan dengan pandangannya.

Arbres setengah berlari menuju ke depan gapura lapangan, lalu merentangkan kedua tanganyya "Selamat datang di Festival Titi balik matahari" Dia tersenyum dengan bangga setelah mengucapkan itu.

"Oke" Kata Fabien tidak tertarik, lalu dia berjalan memasuku lapangan itu, melewati Arbres yang masih merentangkan tangganya.

Melihat itu Arbres membalikan tubuh lalu setengan berlari mengikuti Fabien yang sudah meninggalkannya jauh.

Setelah beberapa menit mengelilingi Lapangan itu, Fabien berhenti tepat di sebuah tenda besar. Tenda itu berwarna unggu dengan beberapa garis-garis berwarna biru tua. Sebuah papan bertuliskan 'Madame Charlotte' terpajang didepan tenda itu. Berbeda dengan tenda-tenda lain yang penuh sesak oleh pengunjung, tenda itu benar-benar sepi, tidak ada satu pun pengunjung yang berada disitu.

"Tunggu aku" kata Arbres yang baru berhasil mengejar Fabien, napasnya terngah-engah. "Kenapa kau meninggalkan aku?"

"Tenda apa ini?" tanya Fabien yang tidak menghiraukan pertanyan Arbres.

Arbres mendongakkan kepalanya, dan melihat lebih jelas ke tenda itu "Ini tenda milik Madam Charlotte, satu-satunya peramal yang tersisa di wilayah musim dingin"

"Peramal? Aku tidak menyangka ada seorang peramal di wilayah yang sangat religius sperti ini"

"Memang tidak ada lagi yang percaya tentang ramalan disini, tapi karena untuk menghormati budaya yang telah lebih dahulu ada daripada agama, tenda ini tetap ada setiap tahunnya" Jelas Arbres "Kau mau masuk?" tanya Arbes yang menyadari ekspressi penasaran yang tergambar jelas di wajah Fabien.

Fabien mengangkat bahunya "Tidak ada salahnya kan?"

Arbres menghela napasnya "Ayolah" dia berjalan kedepan tenda itu, menyibakan bagian tenda yang berfungsi sebagai pintu masuk, dan mempersilahkan Fabien masuk "Semakin cepat kita, semakin cepat kita selesai"

Fabien pun memasukui ruangan itu, diikuti Arbres beberapa langkah di belakangnya. Begitu dia memasuki ruangan itu, sebuah cahaya ungu langsung menyambut. Ruangan dalam tenda itu benar-benar minimalis, hanya ada sebuah meja ditengah dan sebuah obor yang entah bagaimana bisa berwanrna unggu. Seorang wanita paruh baya—yang Fabien duga sebagai Madame Charlotte duduk didepan meja itu, matanya tertutup seperti tertidur namun terasa masih awas akan sekitarnya. Charlotte memakai pakaian tradisional biru hitam wilayah musim dinggin, tapi entah kenapa lebih terasa tua dibandingkan orang-orang yang lain.

"Silahkan duduk" Kata Charlotte masih dengan mata yang tertutup, wajah tidak menunjukan satu pun ekspresi yang dikenal Fabien.

Fabien dan Arbres kemudian duduk di sebuah bantal yang bersebrangan dengan Chalotte.

Charlotte mengarahkan telapak tangganya ke arah mereka berdua "Baiklah siapa yang mau duluana?"

Arbres mentap ke arah Fabien, menanyakan kalau Fabien mau melakukannya duluan. Fabien hanya tersenyum, kemudian menganggkat sebelah tangan Arbres ke arah Charlotte. Arbres menghela napasnya "Baiklah, aku duluan Madame"

Mendengar itu, dengan perlahan Charlotte mengambil lengan Arbres masih dengan mata yang tertutup rapat. Dia menyapu telapak tangan Arbres dengan tanganya beberapa kali. Perlahan sebuah senyuman kecil menggembang "Kita punya pendeta yang hebat lagi" seteah itu dia terkekeh pelan dan melepaskan lengan Arbres.

Arbres mengelus telapak tanganya tadi dan menatap Charlotte heran "Itu saja? Tidak ada yang lain?"

Charlotte terkekeh lagi "Kau mau tau apa lagi? Aku hanya memberitahu hal yang kau mau dan yang kau perlukan" jelas Charlotte. "Giliranmu Fabien"

Fabien sedikit tertegun mendengar nama dia disebut, seingantnya dia tidak pernah menyebutkan namanya pada wanita itu. Fabien menatap ke arah Arbres yang hampir sama terkejutnya dengannya. Dia mulai enggan untuk melakukan ini, ada sebuah bagian dalam dirinya yang merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu.

"Aku menunggu Fabien" Kata wanita itu yang mulai kehilangan kesabarannya.

Dengan ragu Fabien mengarahkan lengannya ke arah Charlotte. Charlotte melakuakn hal yang sama dengan yang ia lakukan pada lengan Arbres. Tapi setelah dia selesai menyapu lengan Fabien, dia langsung terdiam terpaku, matanya juga langsung terbuka lebar—menunjukan kedua bola matanya yang berwarna biru. Perlahan bola mata biru mulai tertutpi oleh bayangan hitam, sampai seluruh matanya kini tertutup seluruhnya oleh bayangn hitam.

"Ramalan di masa lalu akan menjadi nyata" sebuah suara yang tak serperti suaranya keluar dari mulut Charlotte. Suaranya terasa kelam dan gelap "Tiga Matahari dan Tiga Bulan akan segera muncul. Membersihkan segala hal yang tidak seharusnya ada"

Charlotte semakin mengeratkan pegangannya pada lengan Fabien. Fabien hanya bisa menatap ketakuatan, sementara Arbres hanya bisa terdiam, tidak tahu melakukan apa-apa.

"Surya, Apollo, dan Sol. Chandra, Artemis, dan Luna" kali ini Charlotte mengenggam tangan Fabien dengan kedua tangganya "Kau harus menemukan mereka, waktu kita sudah tidak banyak. Temukan mereka! TEMUKAN MEREKA!!!"

Dengan sekuat tenaganya, Fabien berhasil melepaskan tangganya lalu lari keluar dari tenda diikuti Arbres yang juga ikut berlari keluar mengikuti Fabien.