Waktu datang disaat yang tidak tepat, atau mungkin pemilihan waktu yang kurang tepat. Saat ini mereka tengah saling menatap, mencerna sesuatu dengan perasaan.
Tak ada suara, tapi dari masing-masing mereka seolah tau. Tak ada yang benar-benar bisa disembunyikan karena binar mata selalu berkata jujur. Mereka telah menahan segerombolan kupu-kupu di perut itu selama bertahun-tahun, tak ada yang protes, sekalipun salah satu mereka ada saatnya terluka. Menikmati masa lalu adalah obat.
"Gue gak tau harus ngomong apa, seharusnya lo diem, dan gak usah bilang ke gue." Orlin memulai percakapan, memecah kecanggungan.
Disampingnya, ada seorang lelaki yang sering dia panggil nama tanpa embel-embel. Dia hanya lebih tua dua tahun darinya. Laki-laki itu menengok, menegangkan kedua tangannya yang bertumpu ke tempat duduknya.
"Serius banget, kan prank !" Sesungguhnya dia ingin merobek bibirnya sendiri, sesal yang tidak terbayang pasti menunggu.
Rinu menantikan reaksi Orlin dengan gemetar. Tapi bukan senyuman atau pukulan yang di dapat seperti biasa ketika bercanda. Gadis itu pergi begitu saja, terburu-buru sampai lupa menendang kaki Rinu yang rutin dilakukan.
Rinu mengusap rambut dari belakang ke depan, bertanya-tanya apa ada yang salah? Tubuh jangkung itu semakin menjauh, Rinu segera mengejar ketika semakin dekat, Orlin lari semakin menjauh. Rinu terhenti ketika Orlin telah masuk ke apartemennya.
"Nyesel gue, gini ya kalo IQ gue ditinggal di dasar lautan. Biarlah, entar juga minjem gayung ke gue," ucapnya sambil masuk ke apartemen studio di samping Orlin.