Chereads / Penggoda Dalam Rumah / Chapter 2 - Bab 2 Kegelisahanku

Chapter 2 - Bab 2 Kegelisahanku

PEKANBARU - SP (26) tertangkap basah istrinya DR (21) saat sedang indehoi dengan NUR (36) yang tidak lain adalah ibu kandung korban. Pengakuan keduanya, bahwa perselingkuhan ini sudah dilakukan sejak lama.

"Antara SP dan ibu mertuanya sudah berhubungan layaknya suami istri sejak 4 tahun lalu," kata Kanit Reskrim Polsek Lima Puluh, Pekanbaru, Riau, Senin (6/3/2017).

Perbuatan amoral itu selalu dilakukan mereka saat kondisi sepi. Kondisi NUR yang di rumah sendiri, membuat hubungan terlarang keduanya bisa berlangsung lama. Tubuh molek NUR membuat SP keranjingan dan menyukai mertuanya.

~~~

Tangan ini dengan kasar melipat asal dan membanting koran yang baru saja aku baca. Berita yang justru menambah resah gelisah pikiranku.

Bayang wanita dengan kerling nakal itu terus saja menari di pelupuk mata, seolah melambai mengajakku menyelami lautan asmara bersama.

"Sial!" umpatku sembari menyapu dengan kasar wajah lelahku, menghela napas dalam-dalam dan melepasnya sekuat mungkin.

Kutilik penunjuk waktu di pergelangan tangan, pukul 15.45 itu artinya lima belas menit lagi alarm pulang akan mengingatkan hati ini untuk mempersiapkan benteng iman yang lebih kuat jika tak ingin dirobohkan oleh iblis cantik itu.

***

Aku sengaja berlama-lama di mushola dekat rumah, menunggu sekalian magrib tiba. Terpaksa sudah satu minggu ini aku mandi sore di mushola dan menunggu hingga waktunya Arini pulang.

Ah, entahlah ... aku ini pengecut atau apa. Tapi yang pasti aku hanya lelaki normal yang terkadang bisa saja khilaf dalam bertindak. Aku hanya berusaha menghindari ibu mertua yang sekarang tak malu-malu lagi bergelayut manja di bahuku.

Setiap dekat dengan wanita itu, detak jantungku berpacu kencang. Hembusan napasnya yang sengaja ia perdengarkan dekat telingaku penuh desahan manja, desahan yang mampu membangunkan hasrat lelakiku.

[Mas, kamu belum pulang?] Sebuah pesan masuk ke gawai yang sedari tadi tergeletak di atas tas kerja yang aku letakkan di sisi kanan tempat aku duduk.

Arini, dia mungkin sudah pulang lebih awal. Tapi kenapa tidak bilang dari tadi pagi kalau dia tidak ada lembur? Biasanya dia selalu memberitahu, entah siang saat ia istirahat ataupun pagi saat mau berangkat kerja.

Siang tadi dia juga tumben tidak menyapaku. Biasanya saat dia istirahat pasti akan mengingatkanku untuk makan atau salat. Atau mungkin hari ini dia terlalu sibuk sehingga tak sempat?

[Mas Danu, cepet pulang donk. Udah nunggu, nih.] Kembali pesan masuk, tapi tak biasanya Arini mengirim pesan seperti ini.

Atau memang dia sudah pulang lebih awal dan lama menungguku di rumah? Ah, segera saja aku pulang. Mungkin hari ini dia ingin bermanja denganku.

[Iya, Sayang. Ini Mas langsung pulang, tunggu sebentar, ya.] jawabku dengan emotikon cium berjajar.

Aku tersenyum, kembali teringat masa saat pacaran dengan Arini. Setelah empat bulan aku berusaha meluluhkan hatinya, alhasil dia menerima cintaku dan setiap hari kurajut kisah indah bersamanya.

Kulajukan motor segera menuju rumah bercat ungu muda dengan perpaduan kuning dan ungu tua, rumah cantik bergaya klasik hasil desain dari Arini. Rumah yang berhasil ia beli dengan jerih payahnya selama ia bekerja di sebuah bank.

Meski ia cicil dan sekarang belum lunas, namun rumah itu mampu memberiku kenyamanan. Aku tak perlu repot untuk memikirkan tempat tinggal untuknya.

Banyak hal yang sebenarnya aku suka dari Arini. Dia sangat perhatian, dia melayaniku tanpa mengeluh meski aku tak mampu memberinya materi yang cukup. Dia juga bukan istri cerewet yang suka ngomel-ngomel, Ariniku lebih suka diam jika marah atau merasa tak suka dengan sikapku.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah ungu itu. Aneh, pintu pagar masih tertutup dan motor Arini tak ada di sana.

Pandanganku sejenak mengedar, tak kutemukan tanda-tanda Arini sudah ada di dalam. Rak sepatu dekat pintu tak menunjukkan keberadaan sepatu yang Arini pakai tadi pagi.

'Apa mungkin Arini membawa masuk sepatunya? Ah, mungkin saja. Besok kan hari Sabtu, mungkin dia ingin mencucinya.'

Masih saja pikiranku sibuk menduga meski kini langkah ini telah tiba di depan pintu. Perlahan kudorong gagang pintu, seperti maling yang hendak mengetahui kondisi rumah korban.

Dengan bergegas aku menuju kamar, berharap Arini ada di sana. Zonk! Tak kutemukan wanitaku. "Arini, kamu di mana, sih?" gumamku dengan mengibas-kibaskan tangan. Entah kenapa tetiba udara menjadi panas.

Sedikit berjingkrak aku menuju ruang tengah untuk mencari keberadaan Arini. Sepi. Tak kutemukan ia di sana, bahkan dapur dan kamar mandi juga tak ada.

"Cari siapa, Danu?" Tiba-tiba suara itu mengejutkanku, membuatku segera membalik badan dan kembali gugup menyerang.

"Kamu ini kenapa, sih? Aku perhatikan sudah seminggu ini pulang telat terus. Apa sengaja membiarkan ibu sendirian?" Perlahan wanita itu mendekat dan jemarinya mulai bermain-main di dadaku.

"Sa-saya ada lembur, Bu. Jadi, pulangnya telat terus." Tak terasa keringat dingin keluar membasahi muka.

"Kamu ini lucu, dengan ibu mertua sendiri saja sampai keringetan begini."

"Udara panas, Bu. Habis pulang kerja pula. Oh ya, Arini di mana, Bu?" Kembali aku mengibaskan tangan dan berusaha menghindar dari wanita yang harusnya aku hormati layaknya seorang ibu.

"Arini belum pulang," jawabnya enteng sembari duduk di kursi meja makan, memamerkan bagian kaki atasnya yang tanpa cela.

"Lho, tadi dia chat saya, Bu." Aku memandang lekat ke wanita bernama Bu Hera itu, kernyit keheranan melipat di atas dahi.

"Gawai Arini ketinggalan, tadi Ibu yang chat. Kalau nggak begitu kamu nggak akan cepat pulang." Masih dengan santai ia menjawab.

Seandainya ada cermin, mungkin saat ini dapat kulihat jelas bagaimana memerahnya wajah ini. Aku merasa dijebak, dan entahlah ... kali ini aku sanggup atau tidak untuk menolaknya.

"Danu, aku tahu kalau kamu sering mencuri pandang menikmati kemolekan tubuh ini. Apa kamu hanya puas dengan memandang saja?" Kini ia berdiri, berjalan mengitariku dengan memamerkan lekuk tubuhnya.

"Ma-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud kurang ajar."

"Tenang saja, Danu. Aku tahu, kok, apa yang kamu rasakan. Kalau kamu mau, sekali saja coba bermain mandi kucing denganku." Dengan desahan menggoda ia kembali merayuku.

"Mandi kucing?" Tanyaku heran.

"He-em." Angguknya dengan kerlingan mata indah.

"Tapi Arini tidak memelihara kucing, Bu. Dia tidak suka dengan kucing, katanya nggak baik buat dia karena bakalan susah punya anak."

"Kamu jangan bercanda, Danu. Aku tahu kamu sering nonton film-film blue. Jadi, pasti tahu yang aku maksud."

Ya Tuhan ... semakin berani ia merayuku. Baiklah, aku Adarga Handanu siap menghadapi wanita kesepian yang entah berapa lama merindukan belaian lelaki.

"Kita ke kamar, yuk, Bu." Ajakku setelah mengatur napas dan menetralisir kacaunya seluruh saraf yang membuatku tegang.

"Wow ... akhirnya kamu mengerti yang aku mau, Danu." Senyum itu menyiratkan penuh kemenangan dan puas karena berhasil menjeratku.

Aku tersenyum tatkala ia menggamit lenganku dan melangkah menuju peraduannya. Setiba di kamar yang dipenuhi dengan koleksi gambar-gambar menantang itu, harum minyak wangi menguar menusuk indra penciuman.

Sepertinya ia telah menyiapkan semua rencana ini untuk menjebakku agar jatuh ke dalam pelukannya. Ia mulai beraksi, naik ke ranjang sembari menyibak kain yang menutup kaki.

"Sebentar, Bu. Saya kunci pintu dulu."

"Ah, kamu tahu saja agar kita aman." Tawa kecilnya berderai.

Aku bergegas melangkah ke pintu, mengambil anak kunci yang menggantung. Sejenak terdiam, mencoba menatap kembali wanita bertubuh seksi itu. Dengan senyum menyembul, kumantapkan hati keluar dari kamar dan menguncinya.

Tak berselang lama kudengar iblis yang berwujud ibu mertua itu menggedor-gedor pintu dan berteriak histeris. Dan aku segera lari kembali ke mushola, menunggu Arini kembali menyelamatkan hatiku.