Chereads / LOVE IN THE WAR / Chapter 3 - TUJUAN YANG SAMA

Chapter 3 - TUJUAN YANG SAMA

"Ada apa pria muda? kenapa kamu menatapku seperti itu? apa kamu masih belum memaafkan aku?" tanya wanita itu dengan tatapan heran melihat Justine masih berdiri di tempatnya.

Justine tidak menjawab pertanyaan wanita itu selain hanya bisa menatap dalam pandangan mata wanita itu.

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan tersenyum melihat keterpakuan Justine padanya.

Masih dengan tersenyum wanita itu beranjak dari tempatnya meninggalkan Justine yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Justine menegakkan punggungnya dan tersadar dari lamunannya saat mendengar suara peringatan pesawat yang akan segera berangkat.

Dengan sedikit berlari Justine segera melakukan check in. Tanpa menunggu di tempat pemberangkatan lagi Justine menyerahkan tiketnya ke petugas bandara.

Setelah melakukannya boarding pass, Justine masuk ke dalam pesawat yang sudah penuh dengan penumpang. Seorang pramugari menunjukkan tempat duduknya yang berada di tengah pesawat.

Tanpa melihat ke sekelilingnya lagi Justine duduk di kursinya dan meletakkan tasnya di atas pangkuannya.

Sambil memejamkan matanya Justine berusaha untuk tetap tenang karena baru pertama kalinya naik pesawat. Bukan merasa takut naik pesawat hanya saja perasaan gugup yang tidak ingin terlihat bodoh di dalam pesawat.

Belum lama memejamkan matanya, Justine merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggung tangannya.

Perlahan Justine membuka matanya menoleh ke seseorang yang sudah berani menyentuh punggung tangan. Kedua mata Justine tak berkedip saat melihat wajah wanita yang di lihatnya beberapa menit lalu sudah berada di sampingnya.

"Hei, sepertinya kamu lupa memasang sabuk pengaman kamu." ucap Wanita itu dengan ramah walau terlihat jelas sangat keras di wajahnya.

Tanpa membalas ucapan Wanita itu Justine segera memasang sabuk pengamannya kemudian memejamkan matanya kembali.

"Kenapa aku harus bertemu dengan wanita ini lagi. Tatapan matanya seperti sedang menelanjangi aku." ucap Justine dalam hati sambil memeluk tasnya mengurangi rasa gugupnya.

"Hei." panggilan wanita itu lagi sambil menyentuh punggung tangan Justine. Terpaksa Justine membuka matanya kembali dan menatap wanita yang sudah mengganggu ketenangannya.

"Kenalkan namaku Reynata, panggil saja Rey. Nama kamu siapa?" tanya Reynata dengan tatapan ramah.

Justine terdiam tidak tahu harus bilang apa. Dengan kondisinya yang kesulitan untuk bicara membuatnya serba salah. Apalagi Reynata sudah memperkenalkan diri.

"Apa aku tidak boleh tahu namamu?" tanya Reynata dengan tatapan penuh menatap kedua mata Justine.

Mendapat tatapan sedemikian rupa dari Reynata, Justine lebih menjadi salah tingkah kemudian mengeluarkan catatan kecilnya dan menulis sesuatu untuk Reynata dan menunjukkannya.

"MAAF AKU TIDAK BISA BICARA"

Tulis Justine dengan hati yang sudah siap kalau Reynata akan mundur dan tidak akan tahu namanya.

Setelah membaca tulisan Justine, untuk sesaat Reynata terdiam kemudian kembali menatapnya.

"Kamu tidak bisa bicara? tapi kamu bisa bahasa isyarat tangan kan?" tanya Reynata tanpa ada perubahan di wajahnya selain wajah keras tapi sikapnya ramah.

Justine menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan Reynata kalau dia bisa bahasa isyarat.

"Kalau kamu bisa bahasa isyarat, kita akan bicara pakai bahasa isyarat saja." ucap Reynata dengan sebuah senyuman.

Kembali Justine terdiam di tempatnya dengan kejutan sosok Reynata yang terlihat tegas dengan berpakaian militer dan sekarang menunjukkan kemampuannya bisa menguasai bahasa isyarat.

"Apa kamu mau bicara denganku sekarang?" tanya Reynata dengan menggunakan bahasa isyarat yang membuat Justine yakin Reynata bisa di percaya dengan semua ucapannya.

"Oke." sahut Justine dengan perasaan berat menggunakan bahasa isyarat.

"Aku senang bertemu denganmu. Kamu sudah tahu namaku kan? sekarang katakan siapa namamu?" tanya Reynata dengan santai memakai bahasa isyarat walau hal itu tidak perlu dia lakukan karena Justine masih bisa mendengar.

Dengan tatapan tak lepas dari wajah Reynata, Justine menuliskan namanya dengan jelas dan menunjukkannya pada Reynata.

"JUSTINE"

"Nama yang bagus. Kalau boleh aku tahu kamu akan kemana? aku tahu tujuan pesawat ini ke New York. Tapi aku tidak tahu kamu turun di Bandara mana?" tanya Reynata dengan wajah serius.

"Bandara Stewart." ucap Justine dengan singkat.

"Oh ya?? apa kamu punya saudara di sana?" tanya Reynata tidak percaya kalau Justine akan turun di Bandara Stewart kawasan militer yang lebih dominan menjadi kota militer.

Justine menganggukkan kepalanya merasa sedikit canggung bicara dengan Reynata yang usianya terlihat lebih tua darinya. Apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan dari Reynata membuatnya tidak merasa nyaman.

"Hem...aku sudah banyak bertanya padamu. Apa kamu tidak ingin bertanya tentang sesuatu padaku? kamu bisa bertanya berapa usiaku? atau aku mau ke kota mana?" ucap Reynata dengan bahasa isyarat yang sudah dia kuasai saat mengajar anak-anak di sekolah luar biasa di desa yang terpencil.

"Tolong maafkan aku. Aku ingin bicara banyak denganmu. Tapi saat ini aku sangat mengantuk sekali. Aku minta izin untuk tidur sebentar." ucap Justine dengan sopan memakai bahasa isyarat yang di mengerti Reynata.

"Ouh...begitu. Oke, istirahatlah." ucap Reynata dengan tersenyum walau ada terbesit rasa kecewa di hatinya dengan kejujuran Justine yang tanpa basa-basi lebih memilih tidur di banding berbincang santai dengannya.

Tanpa melihat Reynata lagi, Justine memejamkan matanya berusaha untuk tidur. Namun semakin dia berusaha tidur ada sesuatu yang dia rasakan. Justine merasa Reynata sedang mengawasinya.

Dengan perasaan tak menentu, Justine perlahan memicingkan salah satu matanya ke arah Reynata.

"Uhh... ternyata aku telah berprasangka buruk padanya." ucap Justine merasa lega ternyata Reynata dalam keadaan tidur.

Setelah memastikan kalau Reynata dalam keadaan tidur dengan tenang Justine memejamkan matanya dan melanjutkan tidur.

Sudah hampir tiga jam Justine tertidur dengan pulas. Sambil menunggu makan siang Justine mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Ronnie kalau dia baik-baik saja.

"Hei Justine, apa kamu mau ini?" tiba-tiba Reynata menawarkan kue brownies yang di buatnya sendiri.

"Terima kasih, aku tidak terlalu suka yang manis-manis." ucap Justine dengan bahasa isyaratnya menolak secara halus pemberian Reynata dengan bahasa isyarat.

"Makanlah sedikit Just, kamu pasti akan menyukainya. Aku sendiri yang membuat kue ini." ucap Reynata sambil memberikan sepotong kue pada Justine.

"Baiklah kalau memaksa." ucap Justine dengan terpaksa menerima kue dari Reynata dan menggigitnya sedikit.

"Bagaimana Just? apa rasanya enak?" tanya Reynata dengan tatapan penuh ingin tahu pendapat Justine tentang kue buatannya.

"Lumayan enak, tidak terlalu manis. Tapi lebih terasa pahit." ucap Justine dengan jujur memberikan pendapatnya tentang kue buatan Reynata.

"Aku memang membuatnya seperti itu. Tidak terlalu banyak gula dan aku memakai coklat asli. Kamu tahu kan rasanya coklat asli itu sedikit pahit." ucap Reynata dengan antusias saat Justine memberikan pendapat yang sesuai dengan kue buatannya.

"Apa kamu mau lagi?" tanya Reynata saat Justine sudah menghabiskan kuenya dengan cepat.

"Tentu saja, kalau kamu tidak keberatan." ucap Justine sedikit santai dengan sikap Reynata yang tidak membuatnya canggung.

"Kalau kamu suka, kamu bisa menghabiskannya." ucap Reynata memberinya sekotak kuenya pada Justine.

"Terima kasih, kamu sangat baik." ucap Justine dengan tersenyum.