Hari Senin. Atau lebih tepatnya hari pertama masuk sekolah bagi murid SMA yang bernama Daniel dan Aaron.
Pagi itu Daniel menunggu Aaron keluar dari rumahnya untuk pergi ke sekolah bersama.
Sekolah mereka mengharuskan setiap siswa untuk tinggal di asrama. Jadi ada beberapa hal yang harus mereka siapkan sebelumnya. Seperti baju dan perlengkapan mereka yang sekiranya dibutuhkan selama tinggal di sana.
Aaron keluar dengan koper di tangan kanannya, lalu di bahu kirinya dia menggendong tas yang cukup besar. Di luar, dia disambut dengan senyum oleh Daniel, sahabatnya. Ya, mereka kenal sejak kecil hingga sekarang berusia enam belas tahun.
Hubungan persahabatan mereka jangan diragukan lagi. Lebih dari sepuluh tahun bersama membuat keduanya tidak memiliki privasi apa pun. Kadang-kadang keduanya akan saling membantu, tapi jangan heran jika mereka juga saling mengacaukan.
Seperti pagi ini. Daniel menunggu Aaron di depan pintu dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana membuat dia terlihat lebih memesona.
"Mau kubantu?!" tanya Daniel dengan nada sedikit meledek. Aaron menggelengkan kepalanya, namun tangan Daniel langsung merebut tas Aaron satunya lagi.
"Kau tak membawa apa pun?" Aaron tak melihat Daniel membawa apa-apa melainkan tangan kosong.
Daniel tidak menjawab melainkan langsung menunjuk sebuah mobil yang tidak jauh dari mereka dengan matanya. Ternyata Daniel meminta bantuan ayahnya untuk mengantarkan mereka berdua pergi ke sekolah.
Rencana awal mereka adalah berangkat naik kereta. Namun sepertinya tidak mungkin karena barang bawaan mereka tidaklah sedikit. Apalagi barang bawaan Aaron. Dia lebih seperti akan melakukan pindahan rumah.
Selain itu jarak antara sekolah dan rumah mereka cukup memakan waktu yang lama. Bisa saja mereka terlambat jika tak menggunakan mobil pribadi.
"Wah, Aaron lama tak melihatmu!!" sapa ayah Daniel yang sudah duduk di kursi kemudi. Aaron membungkuk sedikit untuk menyapa ayah Daniel.
Aaron terkadang merasakan iri setiap kali melihat ayah Daniel. Karena dirinya sudah tidak memiliki ayah sejak kecil. Ayahnya meninggal karena sakit yang dia derita. Sehingga hanya tersisa ibu, dia sendiri dan kakak laki-lakinya saja.
Daniel membuka bagasi mobil dan memasukkan tas beserta koper milik Aaron. Setelah menutupnya dia merangkul bahu sahabatnya itu dan mendorongnya masuk ke mobil.
"Ayo berangkat."
Mobil pun bergerak melaju dengan kecepatan yang stabil. Dalam perjalanan, ayah Daniel akan mengatakan pesan-pesan untuk kedua remaja itu. Ini adalah pertama kalinya mereka akan tinggal berpisah dengan orang tua, jadi dia sedikit mengkhawatirkannya.
"Kami akan baik-baik saja, Ayah." Daniel menjawab untuk membuat ayahnya lebih tenang.
"Bagus. Jangan lupa pulang setiap akhir pekan."
Daniel dan Aaron mengiyakannya. Mereka memang sudah merencanakan untuk pulang ke rumah setiap akhir pekan. Tentu saja selain untuk berkumpul dengan keluarga, mereka akan merasakan masakan khas orang tuanya.
***
Setelah perjalanan lebih dari satu jam, akhirnya mobil mereka berhenti di depan gedung yang terdiri dari beberapa lantai. Ya, itu adalah gedung asrama yang akan mereka tinggali selama kurang lebih tiga tahun ke depan.
Mereka keluar dari mobil dan segera menurunkan barang bawaan mereka. Setelah itu keduanya mulai berpamitan pada ayah Daniel.
"Ayahmu sangat baik," ucap Aaron setelah menyaksikan mobil hitam itu pergi menjauh.
"Tentu saja. Ah, kamu berbicara seolah-olah baru mengetahuinya." Daniel berkata sambil menyeret kopernya sendiri. "Cepat pergi, aku sudah menerima informasi mengenai pembagian kamar."
"Apakah kita satu kamar?" tanya Aaron sambil menyusul Daniel dengan susah payah pasalnya barang bawaannya terlalu banyak.
"Sepertinya aku menyesal membawa begitu banyak barang," ucapnya dengan nada penuh keluhan.
"Iya, kamu seharusnya meninggalkan maskermu," celetuk Daniel yang diakhiri dengan kekehan.
"Hey! Aku tidak mengenakan masker." Aaron memprotes ucapan Daniel. Meskipun dia memiliki kulit yang bagus, dia tidak menggunakan produk perawatan. Tapi Daniel sering kali mengatakan omong kosong yang menyebalkan.
Daniel tertawa menggodanya. "Aku percaya aku percaya. Eh, kita satu kamar dan ada satu orang lagi. Namanya Ro ... woon?"
Daniel mengangkat alisnya sambil mengingat-ingat nama itu. Setelah beberapa saat dia akhirnya menganggukkan kepalanya. "Ya, namanya Rowoon."
Aaron dan Daniel memberikan tanda pengenal mereka kepada petugas keamanan yang sudah berdiri di gerbang. Mengecek satu persatu identitas murid yang akan masuk ke dalam asramanya.
Semuanya bisa dipastikan adalah murid kelas satu, terlihat dengan wajah polosnya yang menatap gedung asrama dengan bangga. Karena murid kelas tiga dan dua saat ini mungkin sudah berada di sekolah. Atau bersiap-siap akan berangkat.
Daniel berada di depan Aaron. Dia mengeluarkan tanda pengenalnya yang sudah ia siapkan. Begitu pula dengan Aaron. Sejak di mobil, Daniel sudah menceritakan semua hal yang ia tahu pada Aaron.
Mereka saling tersenyum ketika menginjakkan kakinya di halaman asrama. Selama tiga tahun nanti mereka akan tinggal di sana. Gedung sekolah menjulang tinggi di sebelahnya. Hanya butuh lima menit untuk pergi ke sekolah. Bayangan mereka mengenai sekolah benar-benar sangat menyenangkan.
**
Daniel membuka pintu kamar mereka dengan ragu. Ia takut dengan anak yang bernama Rowoon tersebut. Ya, karena dia belum kenal betul dengannya.
Anak laki-laki yang bernama panjang Hwang Daniel itu menarik napasnya dalam-dalam. Dan memutar kenop pintu pelan.
Muncul bayangan anak yang berpostur tinggi sedang sibuk merapikan bajunya ke dalam lemari yang ada di sana.
Rowoon menoleh keduanya lalu tersenyum, dia lalu kembali asik denhan kegiatannya. Mengabaikan dua anak yang saat itu sedang bingung.
"Aku akan tidur di ranjang ujung sana. Mungkin kalian bisa menggunakan ranjang ini dan itu." Rowoon menunjukkan ranjang yang berada di kamar itu, berhadapan namun terhalang sofa di tengahnya.
Meja belajar dibuat seminimalis mungkin. Jika mereka melipat salah satu papan yang ada di kepala ranjang maka akan menjadi sebuah meja belajar untuk mereka.
Aaron dan Daniel mengangguk-angguk mengerti lalu bergegas merapihkan barang-barang mereka karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Tersisa satu setengah jam lagi untuk mereka mengikuti upacara penyambutan murid baru.
"Masih banyak waktu 'kan?!" tanya Daniel pada Aaron. Namun Rowoon langsung menoleh ke arah mereka berdua dengan aneh.
"Upacara dimajukan menjadi jam delapan. Aku rasa kalian harus bersiap-siap dari sekarang." Rowoon bersiap mengenakan dasi untuk seragamnya.
"Oh ya, jangan lupa pakai dasi. Sekolah ini sangat ketat. Kalian tahu 'kan? Atribut sekecil apapun jika kalian tak memakainya bisa celaka."
Daniel dan Aaron dibuat heran dengan anak yang bernama Rowoon tersebut. Mengapa dia sangat tahu mengenai sekolah ini, padahal dia juga anak baru.
"Baik," jawab mereka berdua serentak.
Rowoon tersenyum sekilas lalu bergegas meninggalkan kamarnya. Dia sudah rapi ketika beranjak dari asrama.
Dan sekarang tinggal Daniel dan Aaron yang berada di sana. Asrama semakin lama semakin hening karena anak-anak baru sebagian sudah meninggalkan asrama satu persatu.
"Aku heran kenapa bisa satu kamar denganmu," ucap Aaron dia melihat Daniel kesulitan memakai dasinya.
Aaron kemudian menghampiri Daniel dan membantu memakaikannya.
"Bodoh, karena aku yang memintanya. Seharusnya bukan kau yang di sini. Karena nilai kita berbeda. Tapi aku meminta guru dengan alasan agar aku bisa membantumu belajar. Dan ... Seperti saat ini. Agar ada orang yang membantuku mengenakan dasi." Daniel terkekeh, ia melihat Aaron tersenyum tipis.
Sudah dipastikan jika Rowoon dan Daniel adalah murid yang pintar. Namun Daniel belum tahu apakah Rowoon teman sekelas mereka berdua atau bukan.
"Makanya, perhatikan aku jika sedang mengenakan dasi. Mau sampai kapan kau akan memintaku untuk membantumu seperti ini?"
"Seterusnya."
"Heh?!"
"Aku bercanda." Daniel melihat punggung Aaron dari tempatnya berdiri lalu tersenyum.