Chereads / Tahu isi Hati / Chapter 4 - mimpi di Siang Bolong

Chapter 4 - mimpi di Siang Bolong

Bel berdering tanda pelajaran telah usai, anak-anak di kelas merapikan bukunya masing-masing, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Aku pun demikian.

Aku menyusuri koridor sekolah, berjalan menuju ke gerbang utama berbaur dengan anak-anak yang lain. Seperti biasa, aku pulang bersama Putri, naik angkot. Iya, kalau ke sekolah Putri tidak pernah mengendarai mobil sendiri, kecuali kalau diantar. Sama supir atau Ayahnya, Putri memang salah satu dari anak tajir di sekolahku. Tapi dia tidak sombong, masih mau bergaul dengan teman yang tidak se-level dengannya.

Terik matahari membawa kami ke bawah pohon mangga rindang yang letakya tepat di seberang jalan depan sekolah. Disitulah aku dan Putri menunggu angkot, ada juga beberapa teman yang lain.

***

Deru kendaraan berlalu lalang kian terdengar di telinga, anak-anak cowok yang mengendarai motornya masing-masing telah keluar dari gerbang sekolah. Aku dan Putri duduk di atas angkot yang masih menunggu penumpang. Belum penuh, masih bisa tambah tiga atau empat orang lagi.

"Om, jalan dong! Udah setengah jam nunggu, meleleh nih kita!", Seru Tari kepada Bapak supir angkot.

Si bapak supir angkot cuek, dia hanya sibuk menawarkan angkutannya kepada anak-anak yang berlalu lalang.

'Iya nih, panas!', umpatku dalam hati, keringatku sudah mulai bercucuran.

Sebenarnya aku ingin ikut menimpali ucapan dari Tari, namun urung karena aku kurang suka dengannya. Putri yang duduk di samping kiriku pun diam saja, dia hanya menoleh sejenak ke arah Tari.

Tari bersama komplotannya, ada empat orang adalah kakak kelasku yang memang terkenal dengan judesnya. Aku sudah mengenalnya sejak pertama kali mengikuti kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah, dia sebagai panita. Tingkahnya selalu saja sok berkuasa kepada siswa baru, banyak anak-anak tak menyukainya.

***

Selang beberapa menit angkot akhirnya penuh juga, dan akan melaju menuju ke tempat tujuan masing-masing penumpang. Pada saat yang sama, aku menoleh keluar di jendela angkot.

Tanpa sengaja aku melihat Fahmi mengendarai motor ninja, dengan jaket biru navy andalannya. Memakai helm dengan penutup kaca yang transparan, wajah tampannya nampak terlihat sempurna olehku. Dia juga memandang ke arahku, mengedipkan matanya. Kemudian segera berlalu, hilang dari pandanganku. Lagi-lagi dia membuat wajahku bersemu merah.

"La, kenapa senyum-senyum mulu dari tadi?" Celetuk Putri, sontak menyadarkanku.

Senyum merekah di bibirku tak mampu kututupi dari Putri, dia sadar betul akan hal itu.

"Ah itu tadi ada anak-anak lucu", alasanku.

Aku menyembunyikannya, malu diledekin terus. Tapi, nampaknya Putri tak mudah percaya begitu saja.

"Anak-anak atau anak-anak ...?" Ledek Putri, sembari menyenggolku dengan sikutnya.

Aku hanya tertawa menanggapinya,

***

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar, tapi sebelumnya aku menyapa Ibu yang sedang masak di dapur untuk makan siang. Memang menjadi kebiasaanku, merasa ada yang kurang bila tiba di rumah aku tak melihatnya. Semoga Ibu sudah lupa dengan kesalahanku telah pulang larut malam.

Ting! Ada pesan baru masuk di gawaiku.

'Lala', lagi-lagi chat dari nomor misterius itu.

Aku semakin jadi penasaran, mungkinkah itu Fahmi?

'Kamu siapa sih? Ga penting banget!' kuketik balasan chat untuknya.

'Kalau kujawab kamu janji jangan cerita ke siapa-siapa, ya!'

Chatnya lagi.

'Iya, InsyaAllah!' balasku, singkat.

Semenit, sejam, dua jam kutunggu balasan chat-ku lagi, sudah tak ada. Pesanku cuma dibaca. Hal yang membuatku semakin penasaran.

Akhirnya kuberanikan diri untuk menghubunginya dengan video call, semoga diangkat.

Nihil, tak ada hasil. Mungkin saja dia belum siap, gumamku sambari tertawa kecil.

***

Setelah menyantap makan siang buatan mama, aku kembali ke kamar. Mengambil gawai yang sementara di-charge di atas nakas, ada panggilan tak terjawab dua kali berasal dari nomor misterius itu. Hmm, ternyata dia berani juga menelepon.

Eh dia menelepon lagi, angkat ga ya? Setelah lama berdering akhirnya kuberanikan diri menyentuh tombol hijau.

"Halo!", Sapanya di seberang sana. Suara cowok yang sepertinya tak asing bagiku.

"Iya, siapa ya?", Sahutku.

"Siapa ya?", Dia nanya balik.

"Ampun! Situ yang nelfon, ditanya eh balik nanya", celetukku, kesal.

"Cantik-cantik bawel juga ya?", tandasnya.

Tak butuh waktu berapa lama aku segera memutuskan panggilan teleponnya. Tidak penting banget, buang-buang waktu. Mending aku tidur siang.

***

Di suatu pagi yang mendung saat aku baru turun dari angkot di depan sekolah, tiba-tiba ada seseorang berlari-lari kecil memanggilku. Fahmi, mau apa dia?

"La, ma--af ya ..." Tuturnya terbata.

"Maaf, untuk?" Tanyaku, menoleh ke arahnya.

"La ...", Ucapnya lagi, sembari menggapai tangan kananku lalu mengenggamnya erat.

Aku hanya mengerutkan kening memandangnya seolah bertanya, apa maksudnya ini?

Mata elangnya juga menatap mataku, menyiratkan sesuatu yang tak sanggup kuartikan. Gugup aku kemudian membuang pandangan ke arah lain. Bersamaan dengan itu gerimis pun turun perlahan tapi pasti, segera aku menarik tanganku yang sedari tadi masih digenggamnya. Fahmi pun melonggarkan jemarinya, seolah pasrah melepaskan tanganku.

Aku berlari mencari tempat berteduh, meninggalkannya yang masih terdiam di bawah rintik hujan yang semakin deras.

***

Suara ketukan pintu kamar mengejutkanku, aku kemudian terbangun. Sadar kalau ternyata kejadian tadi hanyalah bunga-bunga tidur. Huft ...!

"La ... Lala! Ada Putri", suara Mama berseru dari di depan pintu kamarku.

"Iya, ma!", Sahutku.

Aku kemudian bangkit dari peraduanku, membuka pintu kamar dan mempersilahkan Putri masuk.

"Ngapain?", Tanya Putri.

"Tidur, ganggu aja!", cetusku sambil menguap.

"Maaf ya, aku kesini bukan bermaksud buat mengganggu tidur siang sang Putri", cerocos Putri.

"Putri? Aku Lala, kamu yang Putri!", Ocehku. Putri hanya ngengir.

"Bete nih!", Keluhnya.

Memang sudah kebiasaan Putri kalau lagi sendiri di rumahnya dia main kesini, ke rumahku.

"Tau ga?" Ucapku, hendak menceritakan mimpiku kepada Putri.

"Nggak!", Sergah Putri memotong ucapanku.

"Ih ...! Ga jadi, mood-ku ilang", dengusku, kesal.

"Ih, ngambek. Lagi PMS ya?" godanya.

"Au ah!".

Niat untuk menceritakan Putri mimpiku, urung. Nanti sajalah, pasti akan kuceritakan. Kali ini aku lagi malas bercerita, biarlah sementara kusimpan sendiri. Apalagi sekarang kepalaku nyut-nyut, mungkin karena bangun tidur yang tak diharapkan alias diganggu.

Setelah puas bersenda gurau denganku, sebelum magrib Putri pamit. Padahal Nino kakakku belum tiba di rumah, biasanya Putri senang bila bertemu dengan Nino. Sampai bela-belain menunggunya pulang.

Aku akui kakakku itu memang lumayan, tapi masih lebih cakep Fahmi, sedikit. Nino banyak, hehee ... Bukan maksud belain saudara, tapi memang itu kenyataannya. Buktinya Putri sampai ngantri, berhubung kali ini Nino lagi ada yang punya.

Beberapa kali Putri memuji-muji Nino, mungkin itu salah satu alasannya dia rajin ke rumah. Putri ... Putri, aku rela kok jadi kakak iparmu!