"Apa? kenapa akhir-akhir ini kau terus bertemu temanmu?" Sontak terheran dengan tingkah anaknya itu. Hwang Ri-Ni ibu angkat Hwang Yu-Ni terlihat terus memandangi wajahnya, merasa curiga. memangnya temannya banyak berapa?
"Ah.. itu hanya sekedar bertemu. Bukankah sudah lama semenjak kelulusan?" Jawab Hwang Yu-Ni nampak meyakinkan ibunya. Ia langsung menyantap makanan yang ada di depannya alih-alih meyakinkan pikiran ibunya.
"Kenapa tak kau ajak kemari saja? Bukankah rumah ini cukup luas?" Tiba-tiba Hwang Su Kang menambahi kata-katanya.
Dirinya pun merasa Hwang Yu-Ni agak aneh. Semenjak ia diadopsi saat pertama kali, ia terus menyendiri dan pendiam. Mengapa belakangan ini tiba-tiba sering keluar rumah hanya untuk bertemu teman.
"Tidak. Aku tidak ingin membawanya kemari. Aku hanya senang punya teman, tapi aku tidak langsung mempercayai seseorang hanya karena kita berteman."
"Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba membahas kepercayaan." Sela Hwang Ri-Ni saat sedang meneguk air mineral.
Akhir-akhir ini ia pun merasa bahwa Hwang Yu-Ni agak berbeda dari sebelumnya.
Bip..Bip.. Moo Hyun Ji sedang menempelkan handphonenya di telinganya, siapa lagi yang ia hubungi jika bukan anaknya, Kwon Jin. Semalaman saja membuatnya resah karena tak pulang ke rumah.
Ia terus mondar-mandir kesana kemari di ruang tamu. Tapi tak diangkat, Moo Hyun Ji terlihat kesal karena telponnya tak diangkat. Setiap kata terus keluar dari mulutnya, ia terus menerus menyumpahi anaknya sendiri karena kesal. Ayahnya Kwon Jin juga membuat Moo Hyun Ji lebih kesal, karena dari dulu sejak menikah ia juga tak pernah peduli dengan dirinya.
"Ayah dan anak sama saja. Coba saja kalau aku tak menikah denganmu apa yang terjadi?" Sambil menatap pintu ruang kerja Kwon Sung Ryung, suaminya yang merupakan pimpinan Rumah Sakit Sungkwon.
Tatapannya begitu tajam seolah-olah sinar laser keluar dari kedua matanya. Tak menyerah Moo Hyun Ji kembali menghubungi Kwon Jin. Sambil menggigit bibirnya dan berharap Kwon Jin menjawabnya. Ia begitu khawatir seolah-olah Kwon Jin masih anak kecil.
Disaat yang sama, Kwon Jin hanya memandangi lalu mematikan ponselnya, Kwon Jin merasa lelah dengan tingkah laku ibunya itu.
Hampir sampai di kampus tapi telepon ibunya tadi membuat dirinya merasa bersalah sebab mengabaikan panggilan darinya. Setelah ini, pikiran Kwon Jin memutuskan untuk kembali ke rumah supaya ibunya tak banyak mengomel.
***
Gae Ha-Ni tengah menikmati aura sekelilingnya yang menunjukkan tempat tersebut dekat dengan Panti Asuhan Cahaya. Tak jauh, ia terus mengayuh sepedanya begitu semangat, sesaat tiba-tiba ayuhannya jadi pelan.
"Mobil itu masih disini?" Ia bergumam sambil terus mengayuh sepedanya.
Gae Ha-Ni mulai memasuki gerbang panti dan seperti biasanya ia meletakkan sepedanya di tempat parkir. Tapi kenapa mobil sedan abu-abu masih terparkir di depan panti bukannya di halaman parkir?
Gae Ha-Ni berjalan perlahan setelah memarkirkan sepedanya, hatinya berdetak begitu kencang, bahkan keringat kecil pun muncul di bagian belakang telinganya. Langkah kakinya menaiki beberapa tangga sebelum masuk kedalam panti.
Tap.. Tap.. Saat memasuki panti, aroma segar terhirup di hidung Gae Ha-Ni yang kecil itu, sambil menyisir rambut dengan tangannya ke belakang telinga yang menoleh ke kanan kiri. Tepat saat itulah Gae Ha-Ni begitu kaget melihat wajah sesorang yang begitu familiar. Ia mempercepat langkah kakinya menuju ruang tunggu.
"Pimpinan Ryu.. Selamat pagi, apa yang...membuat anda kemar?" Gae Ha-Ni menyambutnya sambil membungkukkan badan lalu kembali tegak.
Pengasuh panti begitu melihat Gae Ha-Ni di hadapannya, ia langsung menyeretnya untuk duduk.
Melihat seragam yang digunakan Gae Ha-Ni, Ryu Dong Suk kaget mengetahui bahwa dia ternyata bersekolah di mana anaknya juga bersekolah di situ.
"Kau... Siswi SMA Dongsung?" Ryu Dong Suk mencoba meyakinkan diri apakah seragam yang dikenakan benar-benar murid SMA miliknya. Gae Ha-Ni membenarkan hal itu, lalu istri Ryu Dong Suk menyuruh Gae Ha-Ni duduk di sampingnya dengan tujuan ia akan menjelaskan mengapa dirinya datang kemari.
Setelah mendengar pernyataan dari Ma Eun Na, istri pimpinan Ryu. Gae Ha-Ni langsung menolak tawaran mereka.
Ryu Dong Suk melirik tag nama yang tertempel di seragamnya lalu memanggil namanya.
"Saya ingin mendengar jawaban yang pasti. Kau tahu kan kami begitu terpukul setelah kematian Ryu Bo-Na, anak kami. Dan kami merasa tidak hidup setelah kematiannya, jika kami ingin memilikimu namun kau menolak,.. Apa kau akan membiarkan kami terus tersiksa? Cobalah untuk memikirkannya sekali lagi. Kami akan merasa bersyukur jika kau mencoba untuk memikirkannya sekali lagi. Hmmm..?" Penjelasan dari Pimpinan Ryu begitu terdengar menyedihkan, tak mengerti lagi bagaimana Gae Ha-Ni menghadapi situasi seperti ini. Rasanya benar-benar menyesakkan.
Ryu Bo-Na, pernah mendengar namanya, namun Gae Ha-Ni tak pernah bertemu dengannya walau mereka satu sekolah, karena susunan setiap kelas begitu banyak.
"Tapi.. bagaimana ya.."
"Ah, Gae Ha-Ni pasti akan memikirkannya kok. Anda tidak perlu khawatir. Dia gadis yang baik, pasti akan mencoba memikirkan masalah ini." Pengasuh panti mencoba memotong ucapkan dari Gae Ha-Ni, karena ia tahu pasti bahwa Gae Ha-Ni memang benar-benar akan menolak tawaran tersebut. Bagaimana gadis ini begitu keras kepala sih?
"Benarkah? Terima Kasih Gae Ha-Ni, terima kasih banyak." Ma Eun Na memancarkan wajah senangnya itu sambil memegang tangan Gae Ha-Ni yang mengepal. Pimpinan Ryu pun ikut tersenyum, ia juga meminta Gae Ha-Ni untuk meyakinkan hatinya.
***
Hwang Yu-Ni tengah mengendap-endap menuruni tangga setelah selesai makan siang tadi. Layaknya seorang pencuri yang takut ketahuan pemilik rumah, ia harus memastikan bahwa ia tidak diikuti oleh orang dalam. Langkahnya tak terdengar karena sepatu yang seharusnya ia kenakan di kaki justru ia malah memegangnya. Pakaian warna biru tua dengan rambutnya yang panjang ditambah tubuhnya yang ideal serta wajah yang menawan membuat para kaum lelaki jatuh hati. Tapi itu tak penting selama di mana keberadaan ibunya kandungnya sekarang.
Krit... Pintu utama perlahan terbuka, kini saatnya Hwang Yu-Ni harus membuka gerbangnya dengan hati-hati, melihat di mana tadi ayah angkatnya menyuruh teman Hwang Yu-Ni di bawa kemari, ia langsung panik. Bagaimana bisa ia membawa seseorang yang wajahnya identik, selain itu adalah rahasia yang harus dijaga bahkan langit terbelah dua pun itu harus tetap menjadi rahasia.
Hwang Yu-Ni merasa bebas setelah ia berhasil membuka gerbang sambil melihat keadaan di sekitarnya, ia sudah memesan taksi online sejak di dalam kamar tadi. Sembari melangkah menuju taksi yang jaraknya sekitar 15 langkah, tiba-tiba saja telepon berdering. Hwang Yu-Ni sontak terkejut dan mengecek siapa yang menelponnya di saat tegang seperti ini. Matanya kian membesar setelah melihat siapa yang menghubunginya. Ayah, gumamnya. Hwang Yu-Ni mempercepat langkahnya untuk menuju taksi dan mengabaikan panggilan dari ayahnya. Setelah berhasil masuk ke dalam taksi, ia langsung pergi ke tempat dimana adiknya itu berada.
.
.
.
Membutuhkan sekitar 20 menit untuk sampai di rumah adiknya itu. Tak ada yang spesial dengan rumah tersebut, namun masih layak untuk tempati.
Hwang Yu-Ni tetap memasuki rumah tersebut, suasananya benar benar sepi, sebab akhir-akhir ini bibi yang tinggal bersama adiknya sejak kecil sedang pulang kampung, uang saku yang diberikan ayah angkatnya memang terlalu banyak sehingga ia bisa menyisihkan uang sakunya untuk menggaji bibi tersebut.
"Hwang Yu-Na.. Yu-Na.. Kau di dalam?" Hwang Yu-Ni berteriak memanggil nama adiknya dari luar pintu kamar namun tak ada jawaban. Kemana dia pergi sih?
Tap.. Suara langkah kaki mulai terdengar di telinga Hwang Yu-Ni. Ia mencoba menuju pintu utama, ternyata itu adiknya yang datang.
Wajahnya begitu identik, rambutnya sama-sama panjang namun yang membedakan adalah Hwang Yu-Ni memakai kacamata karena matanya yang minus. Penampilan Hwang Yu-Na terlihat biasa dibanding dengan Hwang Yu-Ni yang terlihat feminim.
"Hei.. Kenapa kamu terus berkeliaran!" Saat Hwang Yu-Na tak sadar kakaknya berada di dalam rumahnya, ia kaget begitu mendengar kakaknya bersuara.
"Seharusnya kau terus didalam rumah. Bagaimana jika fakta bahwa kita saudara kembar sampai di telinga kedua orang tua angkat ku?" Tambah Hwang Yu-Ni sekali lagi dengan posisi yang tetap berdiri di depan pintu kamar.
"Kakak? kapan kau datang.. Aku kan hanya ke pasar memangnya aku mencoba berinteraksi dengan orang lain?" Hwang Yu-Na menjawab dengan tatapan mata yang polos sambil menunjukkan barang bawaannya lalu meletakkannya di meja makan.
"Iya.. Makan siang lah dengan kenyang. Oh iya.. sepertinya sangat sulit mencari keberadaan ibu, apa kau sudah melihatnya atau mengetahui sesuatu?" Senyum tipisnya menghias bibir Hwang Yu-Ni sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
Ia mengharapkan perkembangan namun jawaban yang dilontarkan adiknya hanya kalimat "tidak tahu". Rasanya benar-benar menjengkelkan. Bagaimana bisa ia bersikap acuh seperti itu terkait ibunya sendiri.
"Kakak.. Apa kau bisa tidak melupakan dia.. Bukankah dia yang membuang kita berdua? Mengapa kau pergi kesana kemari hanya untuk mencarinya. Benar-benar.." Hwang Yu-Na menganggap kakaknya tak waras karena terus pergi mencari ibunya tiada henti.
Tapi Hwang Yu-Ni tetap bersikeras untuk meyakinkan dirinya harus menemukan ibunya sebelum ajal menyemputnya.
***
Hawa sejuk di siang hari semakin menyegarkan berkat angin yang menyelinap masuk lewat jendela kamar Gae Ha-Ni. Dagunya menyandarkan diri pada kedua lututnya yang ditekuk serta kedua tangannya melingkarkan diri pada kedua kakinya. Tatapannya terlihat seperti penuh dengan kegundahan. Matanya terus memandang ke arah jendela tempat dimana keluar masuknya angin-angin sejuk itu.
Musim gugur adalah musim yang tidak disukai Gae Ha-Ni, karena di musim seperti inilah banyak menyimpan memori menyedihkan yang membuat matanya basah.
Tok.. Pengasuh panti datang dan membuka pintu kamar Gae Ha-Ni sambil melirik kearah kanan, terlihat Gae Ha-Ni tengah murung. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pengasuh itu langsung datang ke arah Gae Ha-Ni tepat setelah menutup pintu kamar. Pengasuh tersebut memulai mendesah lalu duduk di ranjang Gae Ha-Ni. Melihat pengasuh itu di hadapannya Gae Ha-Ni menundukkan kepalanya bahkan menutupi wajahnya dengan kedua lengannya. Tingkahnya begitu aneh. Tepat saat itulah pandangan pengasuh tersebut mengarah pada prosedur yang ada di samping Gae Ha-Ni.
"Akan lebih baik jika kau jadi anak Pimpinan Ryu. Kau bahkan bisa kuliah ditempat yang kau inginkan." Kata-katanya ditujukan pada Gae Ha-Ni namun matanya melihat ke arah prosedur yang terlihat jelas tulisan "Seoul National University"
"Apa?" Gae Ha-Ni memperlihatkan wajahnya dan kaget mendengar kata-kata yang diucapkan pengasuh tersebut.
Kenapa seolah-olah ingin melepaskanku?
***