Di Hotel Dinasti yang terletak di Ibukota, sebuah ruang kantor seluas lebih dari 100 meter persegi tampak kosong dan sunyi. Jendela-jendela yang besar dan tinggi dari lantai hingga langit-langit telah dibersihkan hingga berkilau dan memantulkan cahaya dari matahari yang terbenam. Terdapat sebuah rak buku yang dipenuhi buku-buku tebal di salah satu dinding kantor itu dan di seberangnya terdapat juga sebuah piano yang tertimpa bayangan. Tampak siluet seorang pria yang duduk di depan piano itu karena ia turut disembunyikan oleh bayangan bersama piano yang ia mainkan. Kemudian, pria itu berdiri tegak dengan keanggunan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
"Tuan, dia sudah tiba."
Ye Fei mengikuti dua pelayan rumah yang merupakan orang Inggris itu dari belakang sambil memandang ke arah pria di depan piano dengan tenang. Pria itu tak kunjung berbicara hingga lagu yang ia mainkan berakhir dua puluh menit kemudian. Dua jari panjangnya menekan tuts putih dengan lembut, mengakhiri permainan piano itu. Ye Fei tidak bisa menahan ketakjubannya karena ia terpesona saat melihat pria itu melangkah keluar dari bayangan.
Pria itu memiliki kulit yang lebih putih dan lebih halus daripada wanita, seperti batu giok putih yang murni. Wajah tampannya bertatahkan sepasang mata yang sipit dan tajam seperti phoenix serta dingin seperti gunung es di kutub hingga membuatnya terlihat begitu tegas. Bibir tipisnya turut menunjukkan sifatnya yang acuh tak acuh dan tak kenal ampun. Wajah pria itu yang tak hanya dapat membuat orang jadi ingin mengumpat, tapi juga dapat memutar-balik nasib semua orang. Pemilik wajah ini menggunakan buah pikirannya dan tangan besinya untuk mendirikan kekaisaran besar keluarga Su.
Ye Fei mendadak menjadi gentar. Apakah pria yang lebih cantik daripada wanita seperti ini benar-benar bisa tergoda jika melihatku? batinnya. Tanpa sadar, tangannya mengepal dan ia kembali meneguhkan pendiriannya, Tidak... Tidak peduli bagaimanapun caranya, aku harus menaklukkan pria ini di bawah kakiku hari ini!
Yi Fei sedikit mengangkat kepalanya hingga mengekspos lehernya yang jenjang dan putih seperti giok. Bibir merahnya perlahan-lahan menyunggingkan senyum yang menawan pada pria itu. Dengan sedikit tipuan bak iblis, wajahnya mulai tampak bersemu seperti layaknya seorang gadis muda yang tersipu.
Su Mohan menyeringai saat melihat ekspresi menggoda Ye Fei dan matanya jelas menunjukkan cibiran yang ia simpan dalam hati, Ah... Ye Fei, Ye Fei… Bukankah kamu ingin mengacaukan pernikahan Ye Ya? Bukankah kamu ingin membuat mereka merasakan apa itu kehilangan hingga tidak punya apa-apa lagi? Tunggu apa lagi?!
Su Mohan mengangkat dagu halus Ye Fei dengan lembut dan aroma tubuh wanita itu samar-samar menerpa hidungnya. "Apakah kamu pernah dipenjara?" tanyanya.
"Enam tahun." Ye Fei mengangkat wajahnya dan menatapan mata Su Mohan yang acuh tak acuh itu, kemudian tersenyum. Su Mohan menatap wanita di depannya dengan penuh penghinaan. Namun, ia kemudian menyadari bahwa mata wanita itu sangat menawan. Sepasang mata itu terkadang memancarkan kilau kuning yang samar, seperti mata seekor kucing.
"Apa kamu pikir saya menginginkan wanita yang pernah dipenjara?" tanya Su Mohan.
"Tuan Su telah memilih untuk mengeluarkan saya dari sekian banyak orang yang ada di penjara dan saya jelas tidak keberatan. Lagi pula, saya bosan makan kerang laut dan teripang. Ada baiknya sesekali mengubah menu," jawab Ye Fei.
Yi Fei berpura-pura bersikap acuh tak acuh. Padahal, hanya ia sendiri yang tahu betapa takut dirinya berhadapan dengan pria itu. Bahkan, meskipun Su Mohan berbisik pelan dengan rasa iba, ketidakpedulian dan kekejaman yang telah mendarah daging dalam kata-kata dan perbuatannya tetap terpancar dengan sangat jelas. Ye Fei telah mendengar terlalu banyak legenda tentang Su Mohan. Namun, ia berpikir bahwa ia tidak akan pernah tahu betapa mengerikannya Su Mohan jika ia sendiri tidak berhadapan langsung dengannya. Sejauh yang Ye Fei tahu, semua orang menganggap Su Mohan sebagai seorang dewa yang berdiri di puncak piramida dan memandang rendah semua orang dari atas sana.
"Apa tuduhannya?" tanya Su Mohan sambil mengambil sapu tangan yang diberikan oleh pelayan rumah. Ia tampak tak tahan ingin segera menyeka jari-jarinya karena baru saja menyentuh Ye Fei.
"Pembunuhan, perzinahan," jawab Ye Fei sambil tersenyum, seolah sedang memamerkan sesuatu yang bisa dibanggakan.
Su Mohan mengerutkan keningnya dan matanya sekilas berkilat-kilat. Tanpa menunggu Su Mohan berbicara, pelayan di sampingnya membungkuk dengan hormat dan menjelaskan, "Lebih tepatnya, percobaan perzinahan."
Alis Su Mohan yang bertaut mulai mengendur. Namun, ia masih terpana saat melihat senyuman Ye Fei. Lalu, ia memerintah, "Bawa dia pergi! Suasana hatiku sedang tidak baik hari ini…"
Su Mohan melemparkan sapu tangan ke lantai dan berbalik untuk berjalan ke meja kerjanya yang besar. Ye Fei merasa dadanya begitu sesak sehingga ia tidak bersedia untuk pergi. Begitu seorang wanita ditolak oleh Su Mohan, ia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk melihat Su Mohan lagi.