"Adek, sayur lodehnya kenapa ngga dimakan? Ngga enak ya?" tanya mamaku khawatir dan berdiri dari kursinya untuk mecoba sayur lodeh yang tadi dia masak.
"Engga mah, enak kok. Tapi ini aja udah cukup." kataku sambil melihatnya.
"Lagi diet dia mah, gara-gara naksir kakak kelas." sahut kakak ku -Adit- yang baru saja turun dari tangga dan berhasil membuat mama melihatku dengan heran.
Sial, pikirku. "Apasih, kak? Nyebelin banget!" aku segera menghabiskan makanan ku dan minum lalu bersiap berangkat sekolah.
"Mah, adek berangkat dulu ya?"
"Lah ngga bareng kakak?" tanya kakak ku dari arah dapur.
"Gak!" aku hanya meliriknya sinis.
"Mah, adek berangkat sama Danu aja deh. Bye, mah. Assalamualaikum." ucapku setelah mencium tangan mamaku dan mengecup pipinya.
Mama hanya tersenyum, "Waalaikumsalam. Yaudah sana. Bilang Danu, bawa motor nya hati-hati. Lagi rawan kecelakaan sekarang."
Aku mengangguk, kemudian melangkahkan kaki ku keluar dari rumah dan pergi ke rumah Danu.
Rumahku dan rumah Danu hanya berjarak 2 rumah saja. Ini rutinitas pagi ku sejak SD dan SMP -kecuali hari libur- pasti setiap pagi ke rumah dia buat nebeng hehe. Sebenarnya waktu masuk SMA ini aku berniat untuk berhenti nebeng sama Danu, dan berangkat bareng sama Kak Adit. Tapi karna tadj ada perseteruan, yaudah mau gimana lagi.
"Assalamualaikum! Danu! Danu!"
Aku mengetok pintu kayu berwarna coklat ini dengan agak keras. Maklum, Danu itu tipikal cowok dengan lubang telinga sempit. Bukan abnormal atau apa, dia memang dengan sengaja sering tidak menghiraukan panggilan atau perkataan orang.
"Danu, buka!" panggilku sekali lagi, dan taraaa~ berhasil. Pintunya akhirnya dibuka juga.
"Ga sabaran banget sih, Ra." katanya sambil melihatku yang tiba-tiba nyelonong masuk.
"Ya lagian, aku panggil dari tadi ngga di jawab. Salam aja ngga di respon."
"Iya, iya, Waalaikumsalam Rara." dia mengusak rambutku. Sudah aku duga, dia sudah memakai seragam dengan rapi. Tasnya juga sudah disediakan di kursi, tanda dia siap untuk berangkat sekolah.
Danu mengambil sepatu dan kaos kakinya, lalu menghampiriku.
"Katanya hari ini bareng Kak Adit? Ngga jadi Ra?" tanya nya setelah duduk tepat di sebelahku.
"Nggak jadi. Males banget."
"Berantem lagi?"
"Nggak berantem juga sih. Tadi dia ngadu ke mamah kalo aku lagi suka sama kakak kelas."
Mendengar perkataan ku, Danu tertawa "Heran deh Ra, kok Kak Adit bisa tau kalo kamu suka sama kakak kelas?"
Aku mengendikkan bahu, jujur aku juga tidak tahu Kak Adit tahu itu semua darimana.
"Udah sarapan?"
"Udah, kamu?"
"Udah juga. Mau berangkat sekarang?"
Aku mengangguk, "Boleh."
Kami pun berdiri dan segera keluar dari rumah.
"Jangan lupa pintunya dikunci." peringatku ke Danu.
Danu tinggal di rumah ini hanya sendiri. Papa dan Mama nya ada di luar kota dan baru akan pulang beberapa hari lagi. Katanya sih lagi merawat Nenek nya Danu yang lagi sakit karena usia.
Danu mengeluarkan motornya, dan aku mengikutinya tidak lupa mengunci pagar rumahnya juga.
"Yuk, Ra." ajaknya.
"Udah di panasin motornya?" dia hanya mengangguk dan tersenyum.
"Danu, aku ngga pake helm ya." pintaku. Sedangkan Danu hanya mengernyit,
"Kenapa?"
"Aku habis keramas. Nanti kalo pake helm helm nya bau." aku menyengir.
"Lagian kan daerah sini ngga ada polisi yang ngawasi Dan."
Dia menghela napas, "Yaudah, iyaaa. Buruan naik."
Aku tersenyum penuh kemenangan. Dan naik ke motornya, mengijakkan kaki ku ke arah footstep. Agak lama, Danu tidak segera melajukan motornya.
"Danu, kenapa? Ada yang ketinggalan?"
"Ara,"
Aku penasaran, lalu sedikit mencondongkan tubuhku ke depan agar bisa melihat wajah Danu. "Kenapa?" tanyaku lagi.
"Ra, kamu naik berapa kilo?"
Mataku membelalak, "DANU, IH!!" aku memukul punggung nya betubi-tubi. Menyebalkan sekali di katain seperti itu, padahal sudah berapa hari ini aku mengurangi porsi makanku. Aku terus memukulinya, "Jalan, nggak?!"
Dia hanya tertawa, "Iya, iya. Udahan mukulnya, sakit." Akhirnya dia melajukan motornya juga. Aku hanya diam di belakang, tidak ada niat memulai percakapan.
Butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai ke sekolah. Untung saja, Danu dan aku termasuk anak rajin. Sama-sama suka bangun pagi. Tidak seperti Kak Adit, yang kerjaannya cuma molor-molor waktu.
Setelah sampai di parkiran, aku langsung turun. "Makasih udah dibolehin nebeng." ucapku dengan wajah datar, masih kesal dengan Danu. Aku pun pergi duluan ke arah kelas.
"Araa. Tungguin." seru Danu. Malas sekali menanggapi panggilannya. Aku tetap berjalan, tidak menoleh sedikitpun. Biar saja sesekali seperti ini, toh dia juga sering.
"Ara, bercanda doang tadi. Maaf yah." kini dia sudah berada di samping ku, mensejajarkan langkahnya denganku. "Raaa.." bujuknya sambil mencubit kecil lenganku.
Aku menoleh ke arahnya, dia mengedipkan matanya dan tersenyum sok manis. Jijik.
"Iya," jawabku singkat. "Makanya, bantuin aku buat turunin berat badan dong."
"Ngapain sih? Udah segini aja udah cukup."
Kami memasuki koridor sekolah, banyak murid-murid yang sudah datang dan berlalu lalang di koridor.
"Danu, aku nya yang engga pede." ucapku.
Memang benar, akhir-akhir ini tingkat kepercayaan diriku menurun. Aku yang biasanya tidak peduli dengan masalah berat badan, kini setelah memasuki SMA merasa lebih insecure terhadap penilaian orang-orang tentangku. Waktu di Sekolah Dasar, aku punya tubuh yang ideal. Namun karena aku suka makanan manis, aku terlalu berlebihan. Kemanapun pasti yang aku makan yang rasanya manis. Entah itu kue, biskuit, eskrim, bahkan aku dulu sangat doyan minum susu putih yang dicampur bubuk minuman soda instan extraj*ss yang di warung dekat rumah -sebutannya susu soda atau soda gembira- tiap pulang sekolah.
Waktu SMP pun aku tidak terlalu peduli masalah gaya atau penampilanku. Yang aku tau cuma makan, makan, dan makan.
Bedanya, saat SMP anak seusiaku sudah mengenal yang namanya kisah asmara. Begitu juga denganku. Saat pendaftaran peserta didik baru, aku menyukai kakak kelas yang sedang bertugas di situ. Aku belum tahu namanya. Yang aku tahu cuma dia adalah anggota OSIS dan anak kelas 3. Wajahnya lumayan tampan, tinggi, dan bentuk tubuhnya ideal.
Aku bukan tipe orang yang mudah menyatakan perasaan secara gamblang. Aku lebih memilih untuk memendam perasaanku.
Setelah sebulan masuk SMP, aku akhirnya tahu nama kakak kelas itu. Efendi. Tapi sayang, aku dapat kabar dari teman se-geng nya kalau Kak Efendi punya pacar. Dan pacarnya seangkatan dengan ku.
Tiap istirahat tiba, aku melihat Kak Efendi ke kelas sebelahku. Ah, pacarnya sangat cantik. Wajahnya putih, mungil, dan tidak membosankan. Beda denganku, gendut, hitam, dekil. Tidak jago dandan.
Mulai dari situ, aku mulai mengasumsikan kalau cowok hanya suka dengan cewek yang rupanya sempurna. Dan dari situ juga, aku mulai mencoba memperbaiki diri.
Ralat, setidaknya hanya bertahan tidak sampai satu bulan. Sifat pemalasku jauh lebih besar daripada keinginanku mencapai sesuatu. Hingga sampai aku tamat SMP, aku ya begitu-begitu saja. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Dan saat aku masuk SMA, di situ aku benar-benar memiliki niatan untuk merubah diriku. Pertemuanku dengan nya -Kak Aldi- , merubah segalanya termasuk hidupku. Aku memantapkan niat untuk memiliki tubuh ideal.
.
.
Teeett...
Bel istirahat berbunyi. Aku membereskan mejaku. Memasukkan pensil, bolpoint dan penggaris kedalam kotak pensil bergambar barbie dengan tema pink yang sangat imut. Lalu aku masukkan ke dalam tas beserta buku ku. Saat sedang merapikan isi tasku, ada seseorang yang memanggilku,
"Ara, lelet banget sih." Aku menutup resleting tasku, dan menoleh ke asal suara. Segera aku berjalan ke arahnya.
"Kenapa, Dan?"
"Ke kantin yuk. Laper nih." katanya dengan wajah memelas sambil memegang perutnya. Belum sempat aku menjawab, dia menarik lenganku.
Saat perjalanan ke arah kantin, aku terpikirkan sesuatu,
"Dan, tau Kak Aldi nggak?"
"Kak Aldi? Kak Aldi siapa? Tetangga baru kita?"
"Ih bukan, kalo tetangga baru aku ngga tau namanya. Itu loh, Kak Aldi kelas 11 IPA. Yang dulu jadi pembina MOS kelas aku."
"Oh, iya tau. Kenapa?"
"Kira-kira, tipe cewek dia kayak gimana ya?"
Danu tiba-tiba berhenti, "Kamu udah suka dia dari awal MOS , tapi baru tanya tipe cewek dia sekarang?"
"Y-ya iya. Aku kan cuma pengen tau aja Dan."
"Kalo menurut aku sih, Kak Aldi kan cakep tuh. Ketua OSIS pula. Tipe cewek dia kayaknya yang berambut panjang,-"
Aku mendengarkan dengan seksama penjelasan Danu tentang sosok cewek favorit kak Aldi, aku tersenyum. Secara rambutku panjang.
"Tinggi-" Tinggiku juga lumayan lah. 165cm ngga buruk-buruk banget.
"Putih-" masih bisa pakai skincare dari sisa uang jajan yang dikasi mama.
"Baik hati, lembut," kata mama aku juga lembut dan imut hehe.
"Langsing." kalimat terakhir yang Danu lontarkan membuatku diam. Aku melirik Danu, "Serius?"
"Ya, dia populer, Ra. Kamu bukan tipenya." katanya dan kemudian tertawa. "Maaf, maaf, lanjutnya." Danu merangkul pundakku dan memasuki area kantin.
"Mau makan apa?" tawarnya.
"Um, mie ayam aja deh. Sama teh pucuk satu."
"Ok. Kamu cari tempat duduk dulu aja, biar aku yang pesen."
Aku mengangguk, dan segera duduk di dekat stand penjual nasi goreng dekat pintu kantin. Kantin mulai ramai karena sudah jam istirahat, jadilah ini hanya kursi satu-satunya dan paling dekat dari stand mie ayam.
Dan sepertinya, Dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Di depanku ada Kak Aldi duduk dengan teman-temannya. Ya ampun, lihatlah pemandangan ini. Indah sekali.
Senyumnya, andai aku jadi salah satu alasan Kak Aldi tersenyum, sepertinya aku akan bahagia. Aku menghela napas, seakan senyumnya menular, aku ikut tersenyum.
"Arabelle."
Aku tercekat ketika tangan Danu melambai-lambai di depan wajahku.
"Ganggu."
"Dih, aku kira kamu kesurupan." Danu mencebik kemudian duduk tepat di depanku.
Apa? tidak, tidak. Danu menghalangi pandaganku.
"Danu, duduk sini." aku mengisyaratkan Danu agar duduk di sebelahku. Nihil, dia malah menggeleng. Ck, benar-benar menyebalkan.
Karena aku tidak mau berdebat dengannya, dan membuat keributan dikantin, aku memilih untuk makan mie ayam yang sudah dipesan Danu tadi.
"Ra, nanti pulang sekolah mau ikut ngga? Aku mau ke pasar malem sama Yogi. Yang lain juga ikut sih."
"Um," aku hanya mengangguk mengiyakan. Gila, mie ayam ini enak sekali. Sayang kalau tidak dinikmati dengan benar.