AKU 99,9% yakin sedang bermimpi.
Alasan mengapa aku begitu yakin sedang bermimpi adalah, pertama, aku berdiri di bawah cahaya matahari yang terang benderang--sorot matahari yang menyilaukan, sesuatu yang tak pernah terjadi di Forks, Jakarta kampung halamanku yang selalu berhujan--dan kedua, aku sedang menatap nenek-ku Grandma marie. Padahal Gran sudah meninggal 6 tahun lalu, jadi itu bukti solid untuk menguatkan teoriku tentang mimpi ini.
Gran tak banyak berubah; wajahnya masih tepat seperti yang kuingat. Kulitnya lembur dan layu, terlipat-lipat membentuk ribuan keriput kecil menggelantung lembur pada tulang dibawahnya. Seperti aprikot kering, tapi dengan gumpalan rambut putih tebal yang mengelilingi wajahnya bagaikan awan.
Mulut kami--Mulut Gran berupa kerutan keriput-mengembang membentuk senyum terkejut pada saat bersamaan. Ternyata Gran juga tidak menyangka akan bertemu denganku.
Aku baru saja hendak bertanya kepadanya; begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku--Apa yang Gran lakukan disini dalam mimpiku? ke mana saja Gran selama 6 tahun terakhir ini? Apakah Pop baik-baik saja, dan apa-kah mereka sudah bertemu, di mana pun mereka berada sekarang?--tapi Gran membuka mulut saat aku juga membuka mulut jadi aku berhenti untuk memberinya kesempatan lebih dulu. Gran juga terdiam, kemudian kami sama-sama tersenyum melihat kecanggungan kami.
"Sagiri?"
Buka Gran yang memanggil namaku dan kami pun sama-sama menoleh untuk melihat siapa gerangan yang bergabung dalam reuni kecil kami. Sebenarnya tanpa melihatnya pun aku sudah tau siapa dia; itu suara yang pasti akan kukenali dimana pun --kukenal dan kurespons, tak peduli apakah aku sedang bangun atau tidur... atau bahkan mati, aku yakin, suara yang untuknya aku rela berjalan melintasi api--atau, agar tidak terdengar terlalu dramatis, mengarungi hujan sengatan hawa dingin yang selalu datang setiap hari.
Himura.
Walaupun aku selalu senang bertemu dengannya--baik sadar maupun tidak--dan walaupun aku Hampir yakin Himura berjalan menghampiri kami dibawah terik matahari yang menyengat.
Aku panik karena Gran tak tahu aku mencintai vampir--tak seorang pun mengetahuinya--jadi bagaimana aku bisa menjelaskan fakta bahwa sorot matahari yang benderang memantul di kulit himura dalam bentuk ribuan keping pelangi, membuatnya terlihat seakan-akan terbuat dari kristal atau berlian?
"Well, Gran, kau pasti sudah melihat pacarku berkilau-kilau memang begitulah dia kalau berada di bawah sinar matahari jangan khawatir...
apa yang himura lakukan? Alasan utama ia tinggal di jakarta, kota yang curah hujan tertinggi didunia, adalah supaya ia bisa berada di luar rumah pada siang hari tanpa takut rahasia keluarganya terbongkar. Tapi sekarang ia melenggang santai menghampiriku--senyum termanis menghiasi wajahnya yang rupawan--seakan-akan hanya ada aku disini.
menit itu juga, aku berharap buka aku satu-satunya yang terkecualikan oleh bakat misteriusnya; biasanya aku justru bersyukur menjadi satu satunya orang yang pikiranya tak bisa dibaca himura. Tapi sekarang aku malah berharap ia bisa membaca pikiranku juga, supaya ia bisa mendengar bahaya yang kuteriakan dalam pikiranku.
Aku melayangkan pandangan panik kepada nenek, dan melihat ternyata itu sudah terlambat. nenek sudah berpaling menatapku, dan sorot matanya sama terkejutnya dengan sorot mataku.
himura--masih menyunggingkan senyumannya yang begitu menawan hingga membuat hatiku bagai menggelembung dan meledak memecahkan dada--merangkul bahuku dan membalikan tubuhku sehingga aku berdiri berhadap-hadapan dengan nenekku.
Expresi nenek membuatku terkejut. Alih-Alih tamoak bahaya, ia malah menatapku takut-takut, seperti menunggu disemprot. Dan ia berdiri dengan posisi sangat aneh --sebelah tangan terangakat canggung menjauhi tubuhnya, tertulur, dan kemudian tertekuk di udara. Seperti merangkul seseorang yang tidak bisa aku lihat, seseorang yang tidak tampak...
Barulah kemudian, saat melihat gambaran yang lebih besar, aku menyadari ada pigura emas yang membingkai sosok Nenek. Tidak mengerti, aku mengangkat tangan yang tidak memeluk pinggang himura dan mengulurkanya untuk menyentuh nenekku. Nenekku. nenek meniru gerakanku dengan tepat, sseperti cermin. Tapi dimana jari-jari kami seharusnya bertemu, tak ada apa-apa kecuali kaca yang panas...
Dengan keterkejutan memusingkan, mimpiku sekonyong-konyong berubah jadi mimpi buruk.
tak ada nenek.
ini aku, bayanganku dalam cermin. Aku--tua, keriput, dan layu.
himura berdiri di sampingku, bayangannya tidak terpantul dslsm cermin, begitu rupawan, dan selamanya berumur tujuh belas tahun.
himura menempelkan bibirnya yang sempurna dan sedingin es ke pipiku yang keriput.
"selamat ulang tahun," bisiknya.