Meskipun kedua adiknya sudah remaja, membuatkan sarapan menjadi satu kewajiban untuk Bumi. Alhasil, di hari pertama ngampus dia hour terlambat karena terlalu asik berbincang bincang di meja makan.
Keluarganya sudah semakin membaik, royalti Bumi sebagai seorang penulis lepas juga cukup lumayan untuk menyokong kebutuhan mereka, selain itu, orang tuanya di luar sana sudah berkabar, masih bekerja di luar negeri dan mengirimkan uang bulanan meskipun tak tentu nilainya.
Sayang sekali sepertinya hari ini sangat macet, jalanan sangat sibuk.
Bumi menghentakkan punggungnya di mobil yang dikemudikan adiknya, Pluto.
Meskipun umurnya lebih muda tapi perawakannya sudah tumbuh dengan sangat baik.
"Jangan bilang ibu sama ayah kalau aku hari ini menyetir, nanti mobil ini dijual!* Ujar Pluto mengancam Bumi.
"Aku tidak menyuruh kau mengantarkan aku!" Jawab bumi dengan senyuman kecil. "Kau saja yang nakal, jangan sampai kau ditangkap polisi lalu lintas, urusannya akan panjang." Bumi mengingatkan adiknya.
"Hehe.. kan ada kakak!" Jawab Pluto dengan senyum sumringah di bibirnya.
"Ah, macetnya panjang kak! Bagaimana ini?"
Bumi menggelengkan kepala, dia juga tak punya solusi. "Mau bagaimana lagi, aku pasti dapat hukuman." Lirihnya pasrah.
Pluto hanya bisa menghela nafas saja.
"Kakak cari cara lain deh, masih ada sedikit waktu, kalau menunggu kemacetan sepertinya kakak akan sampai saat kampus sudah di tutup."
Bumi memukul pundak adik lelakinya itu. "Kau tuh kalau ngomong, suka asal!" Gusarnya, tapi dia setuju sih dengan ucapan Pluto.
Dia melirik jam tangannya dengan wajah panik, Bumi menurunkan kaca mobil, menoleh ke kiri kanan, berharap ada transportasi alternatif di tengah jebakan macet yang tak terurai ini.
Bumi tak punya banyak waktu, dia akan mendapatkan image buruk di awal semester.
Tok tok!
Seseorang mengetuk pintu mobilnya. Membuat Bumi terkejut, dia berpikir tentang tindakan kriminal yang semakin tinggi di ibukota.
Pria itu menoleh padanya, tentu saja baik Bumi atau Pluto heran, pria itu (nampaknya dia memang seorang pria) memakai helm dan masker menutupi setengah wajahnya.
Bumi menautkan alis dengan wajah siaga. Siapa sih? Dia bertanya dalam hati dengan waspada.
"Naiklah!" suara berat itu terdengar jelas di telinga Bumi karena jarak wajah mereka cukup dekat.
Pluto mendekatkan wajahnya, dia mendengar suara pria itu tapi tak jelas, hanya samar. "Dia bilang apa?" Tanya Pluto bingung.
Bumi menggeleng dengan raut wajah yang aneh. Bingung.
Melihat ekspresi kakak adik itu membuat langit mencubit masker di wajahnya, dia memperlihatkan wajahnya.
"Sialan!" Teriak Pluto mengejutkan Bumi.
"Kenapa?" Tanya kakaknya dengan wajah heran. Keheranan yang pertama adalah karena pria dengan sepeda motor ini meminta dia naik, naik ke mana? Ke sepeda motornya.
Kedua, kenapa Pluto mengumpat dengan wajah tercengang.
"Kita tak punya banyak waktu! Kalau kau memaksa mengendarai mobil maka siap siap dengan hukumanmu!" ucap pria itu dengan mengeraskan volume suaranya.
Apakah dia Langit? Tanya Bumi dalam hati, masker dan juga kaca helm itu berwarna gelap, sehingga Bumi sulit mengenali sosok itu, Tapi.. mendengar suaranya yang dalam, hati Bumi bergetar.
Pria itu menarik tangan kanan Bumi, Hingga wajah melongo gadis cantik itu pasrah mendekat dengan si pria ini. "kau ingin dihukum karena terlambat?" sedikit membisik di kuping milik Bumi
Bumi tersadar dan melihat jam di tangannya, waktu yang semakin genting.
"Pluto, kau putar balik ya!" Pinta Bumi, dia membuka pintu mobilnya dengan cepat.
Hah! Pluto kehilangan kata katanya.
Bumi naik ke motor, duduk di belakang punggung Langit, ya.. dia berharap ini langit. Suara dan wajah yang tampak sekilas tadi membuat Bumi tak bisa menolak, dia berharap ini adalah pria yang pernah ia kenal sebelunya.
"Tunggu," pria itu memakai kan helmnya pada Bumi,
Entah kenapa hati Bumi bergetar, badan Bumi juga dingin, pipinya yang merona menjadi semakin merah.
Bumi mematung dan tak mampu berkata apa-apa, ia diam saat dipakaikan helm. Setelah menoleh sesaat ke arah Pluto yang tercengang, Pria itu menggas motor besar di tangannya, meninggalkan jalanan yang masih tak bergerak.
Pluto tak bisa berkata kata, dia melirik kaca mobil dan merapikan rambutnya, jujur saja dia memang belum sempat mandi tadi pagi karena terburu buru mengantar kakaknya. "Kenapa ada pria yang lebih tampan daripada aku?" Desisnya tak percaya mengingat wajah pria bermotor tadi, "Lah! Kenapa kakak ikut dia, bagaimana kalau kakak di culik!" Seperti sadar dari hipnotis, Pluto sekarang memasang wajah cemas. Dia mencari sosok pemotor yang membonceng kakaknya tadi dan sudah menghilang.
"Ya, setidaknya penculiknya tampan!" Lirih anak itu menggaris senyuman tipis. Alisnya bertaut, "tapi rasanya ko ga asing ya.."
****
Sepanjang perjalanan ini, Bumi berusaha menenangkan hatinya yang terus berpacu cepat seperti tak mau kalah dengan kecepatan motor yang ia tumpangi.
Perasaan aneh, perasaan yang asing, memainkan denyut jantungnya.
Laju motor semakin dipercepat, membuat Bumi terhenyak, spontan saja Bumi berpegang di pinggang pria itu, dengan wajah merona merah.
"agh!" Bumi berteriak dengan rasa takut, kecepatan tinggi membuatnya seperti melayang diudara.
Pria itu menoleh, mencuri lirik sejenak lalu menatap pantulan wajah takut Bumi di spion motornya, dia menarik senyuman tipis di balik masker yang menutupi bibirnya.
Sadar atau tidak, sengata atau tidak.
Di menarik tangan Bumi, meminta penumpangnya itu untuk berpegangan lebih erat lagi di pinggangnya, dia akan menambah sedikit lagi kecepatan.
Deg deg deg!
Degup jantung yang hebat berpacu bersamaan jalanan yang hiruk pikuk tapi terasa sunyi di telinga kedu pemuda pemudi itu.
Bumi bisa merasakan getaran lain di hatinya, rasa yang pernah singgah dulu, rasa yang menghilang begitu saja setelah pemuda yang menaruh bibit itu di dalam hatinya. Rasa yang tak bisa di jelaskan dengan kata kata, hanya saja.
Rasa itu indah.
Bukan masuk ke gerbang kampus, Motor ini berhenti pada sebuah kedai di belakang area kampus, Bumi terkejut, kenapa mereka tidak langsung ke parkiran kampus saja!
Menyadari motor sudah berhenti bumi perlahan turun, dia menatap sekeliling, suasana di kedai ini sepi padahal ini area kampus.
Pria itu membukakan helm di kepala bumi yang tertunduk tak berani menatap wajahnya yang masih tertutup masker.
"Kau bisa masuk ke kampus, masih ada waktu." Ujar pria itu dengan bahasa tubuh acuh tak acuh, dia mengambil helmnya dan meninggalkan bumi begitu saja.
"Tunggu!" Pinta Bumi.
Pria itu diam saja, dia tak peduli.
Melihat si pria mengabaikannya Bumi tak tinggal diam. Dia menyusul langkah pria itu.
"Tunggu sebentar, maaf kalau aku merepotkan mu tapi kau sudah membantuku." Ujar Bumi dengan sorot mata terus tertuju pada wajah si pria, dia sangat penasaran. Siapa pria ini.
Tapi sepertinya si pria tak tertarik. Dia berniat meninggalkan bumi sekali lagi.
Bumi bersikeras.
"Tunggu! Kau sudah baik padaku, aku juga masih ada sisa waktu. Jadi.. sebagai balas Budi, boleh aku.." Bumi melirik tangan pria di hadapannya ini.
"Aku lihat kedua tanganmu terluka, apa aku boleh mengobatinya?" Tanya bumi dengan wajah menahan panas. Dia malu tapi.. mau bagaimana lagi, dia penasaran dengan pria di hadapannya ini.
Sudah ku katakan tahan dirimu! Jangan bawa dia dalam kehidupanmu, kau.. bukan Langit yang dulu!
Batin langit menggerutu sendiri. Sorot matanya tak lepas memandang wajah cantik Bumi.