Chereads / Langit dan Bumi: First love never die / Chapter 24 - Vol 2. Bab 1.

Chapter 24 - Vol 2. Bab 1.

SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU.

Gedung yang berdiri megah dan kokoh di tengah kota, terlihat jelas desain bangunan bergaya modern namun suasana sekitar kampus terasa begitu asri, ada banyak orang yang berlalu lalang, sekumpulan mahasiswa yang menikmati waktu mereka di pelataran kampus, semua.. tampak hangat dan menyenangkan.

Suasana baru ini, sungguh membuat seorang Bumi seakan tak percaya, itu terlihat dari bola matanya yang berbinar-binar dan berkaca-kaca, tetesan air mata bening sudah menumpuk di pelupuk matanya, Bumi masih tak menduga bahwa ia bisa melanjutkan studynya di kampus sekeren ini.

Dengan langkah perlahan, dadanya yang berdegup, Bumi semakin masuk ke dalam daerah kampus, dia tiba sejam sebelum jadwalnya, ia sengajakan untuk menelisik bangunan ini, melihat langsung kampus impiannya, dia akan mengelilingi kampus barunya.

"Hmm.." ia menggaruk-garuk kepalanya, terlihat ia sedikit berfikir ingin melanjutkan ke arah mana terlebih dahulu, ia terlihat bingung ingin melangkahkan kakinya ke arah mana, dia sudah membaca beberapa kali peta lokasi kampus, tapi begitu tiba di sini membuat ingatannya blank begitu saja.

Angin yang sejuk membuat Bumi menarik nafas dalam, sentuhan lembut yang mengayunkan rambutnya seolah menuntun langkah kakinya, dan ia memilih berjalan lurus serta matanya tertuju pada sebuah lorong panjang di depan sana.

Yah, itu terlihat seperti jalan menuju sebuah gedung berwarna Biru gelap di akhirnua, Bumi terus melangkah dengan pasti, ia melihat-lihat di sekelilingnya, memastikan posisi awal yang ia ambil, mungkin saja nanti dia akan tersesat di bangunan sebesar dan seluas ini.

Dia mulai memulai surveynya. Mata nya terus takjub dengan dekorasi dan juga tatanan yang ada, rasa kagum dan bangga bisa bersekolah disini terus membuatnya bersyukur dalam dada,

"Ohh, ya" Bumi menarik selembar kertas dari dalam tas gendong favoritnya, sebuah tas kulit berwarna cokelat tanah, bermodel simple tapi bisa memuat banyak muatan, ia mengambil sebuah kertas dan membuka lipatan kertas kecil itu.

Ini adalah brosur yang ia simpan sejak 6 bulan terakhir, dan brosur itu yang selalu menjadikannya semangat agar bisa bersekolah di kampus impiannya, Brosur yang selalu ia bawa saat tidur dan juga ditempel di balik pintu kamarnya. Pemacu semangatnya.

Sekarang, jemarinya berupaya membentang brosur yang sudah terlipat-lipat kecil, yah kurang lebih sebanyak 8 lipatan.

Warna brosur itu sudah sedikit luntur dan lecek karena terlalu lama disimpan olehnya. Mungkin terlalu banyak diciumi juga.

Bumi tetap bisa menikmati gambar di brosur itu, ia ingin cepat segera menuju aula kampus, untuk melakukan Ospek pada mahasiwa baru, dan mungkin akan menemukan idolanya disana. Ya.. ini adalah potret penulis kesayangannya. Dia akan menjadi penulis sukses seperti orang yang membuat kata kata indah di brosur ini.

Gedung yang terpisah di depan sana menjadi tujuan Bumi selanjutnya, ia kembali mengaitkan tali tas gendong ke pundak. Ia menyimpan kembali brosur di tangannya ke dalam saku celana dan segera berlarian kecil menuju gedung yang ia harap itu adalah Aula, dimana mahasiswa baru akan di ospek.

"Hei, kau, kau mau kemana?" Suara seorang pria mengejutkan langkah Bumi, pria paruh baya bertanya padanya dengan melambaikan tangan kanan, pria dengan pakaian formal itu sedikit memberikan isyarat agar Bumi menghentikan langkahnya.

Bumi segera menoleh, dan kembali tiga langkah ke belakang, mendekat kepada orang yang mencoba menghentikannya, apa ia melakukan kesalahan? ia menarik nafas panjang.

"Maaf, pak.." ujarnya yang sedikit terenggah-engah. "Apa bapak memanggil saya?" tanya Bumi mencoba mengatur nafas, mengelilingi gedung yang luas lumayan juga untuk olah raga, nafasnya masih terenggah-enggah, dengan tangan yang memegangi tembok agar ia seimbang untuk berdiri.

Bapak paruh baya itu pun mengangguk, dan memberikan wajah ramah seraya menanyakan Bumi hendak menuju kemana?

"Kau berlari ke arah san, kemana tujuanmu?" Tanyanya.

Bumi menjawab dengan nada lembut, "Saya ingin menuju Aula pak!"

" Sudah saya duga, " ucap pria itu dengan wajah pasti dan kedua tangannya kembali memegangi kain pel itu. Dia menatap penampilan Bumi. "Wajahmu tampak asing, kau pasti mahasiswa baru."

Bumi mengangguk cepat, mengiyakan.

"apakah benar itu, di depan sana aula kampus pak?" tanya Bumi dengan nada ingin tahu dan matanya yang tetap memandangi gedung yang ia kita adalah aula, saat ia menoleh kembali pada bapak di hadapannya, bapak paruh baya ini tersenyum ramah.

Pria itu menunjukkan jalan berbeda dengan telapak tangannya, tepatnya tangan kanannya mempersilahkan Bumi untuk memilih jalan yang satunya, dan itu berarti Bumi harus memilih jalan yang sedikit memutar.

Bumi terlihat heran dan segera menanyakannya. "apa saya salah?" Tanyanya agar lebih pasti.

"Aula nya ada di sebelah sana, sekitar 300 meter lagi, neng memilih jalan yang salah, itu mah gedung olah raga neng, tapi lagi direnovasi makanya sepi." ucap pria itu dengan menunjukan arah berlawanan

Melihat senyum getir Bumi, bapak itu hanya bisa mengangguk kecil. "Selamat berjuang neng, jaraknya lumayan, nanti neng terlambat lagi!" Si bapak bersegera melanjutkan pekerjaannya untuk membersihkan lantai-lantai, memoles ubin putih agar tambah mengkilap.

"Ah! Makasih pak!" Bumi berterimakasih dengan membungkukan sedikit badannya, itu sudah biasa ia lakukan sebagai tanda hormat kepada orang telah berbaik hati dan juga sebagai penghormatan kepada orang yang lebih berumur.

"harusnya ga boleh lari di hallway neng, tapi khusus buat neng yang sopan dan cantik, jadi silahkan.." ujar si bapak sekali lagi mempersilahkan Bumi meninggalkan posisinya.

Bumi tertegun sejenak, dia mencoba mengangguk membalas ucapan si bapak, lima detik kemudian dia bergegas meninggalkan tempat itu untuk menuju Aula kampus.

Gawat!

Perkiraan Bumi yang salah membuatnya harus mempercepat langkah kakinya, jika tidak ia akan terlambat. Ia berlari dan terus melirik beberapa kali jam tangannya.

Sepuluh menit terakhir, Bumi hampir tiba namun gedung Aula yang begitu besar membuatnya harus berusaha menemukan pintu masuk.

"Nah itu pintunya!" langkah kaki Bumi yang semakin dipercepat dan juga tangan kanannya dengan penuh semangat segera memegang handle pintu besar itu.

Ada sebuah meja dengan tumpukan kertas, Bumi mengambil satu. Suasana di luar sudah sepi.

Dia berlari menuju pintu besar, sayang sekali. Pintu itu terdapat tanda x, yang berarti pintu itu tidak bisa digunakan atau mungkin rusak, atau mungkin menyesuaikan dengan sosial distancing (disini ga ada korona plis).

"Aagh.." Bumi menepuk dahinya sebagai ekspresi kesal, dia begitu senang kuliah di sini tapi hari pertamanya sudah ternodai karena euforianya terlalu berlebihan.

Tak jauh dari pintu dengan tanda X, pandangan mata Bumi menelisik dinding kaca, yang menerawang dan ia bisa melihat banyak orang di dalam sana, sudah duduk rapi dan tenang.

"Ya ampun, mereka sengaja menutup pintu utama dan membuka pintu samping?" Bumi berdecak pada diri sendiri. Dia sering dengan perihal senior yang mengerjai mahasiswa baru, itu artinya ia harus mencari jalan lain?

Tentu Bumi tak berdiam diri ia mempercepat kembali langkah kakinya, walaupun tenaganya sudah hampir habis.

Apalagi pagi tadi ia tidak menyantap sarapan apapun dikarenakan ia hanya memasak makanan yang untuk kedua adiknya Mars dan Pluto. Sampai dia lupa kalau dia terlalu lama menghabiskan waktu di dapur.

perut Bumi yang keroncongan sesekali mengeluarkan bunyi yang tentu jika ada orang didekatnya akan terdengar. Rasanya lapar sekali, seakan cacing dalam perutnya meminta jatah makan pagi,

"Oh sabarlah!" pintanya pada perutnya, dengan mengelus bagian perutnya pelan. "Kita harus ikut orientasi dahulu baru makan enak." Ujarnya bicara sendiri.

Untung saja Bumi membawa sebotol minum di tas punggungnya, ia mundur sedikit dan menarik reseleting tasnya untuk meraih botol minum yang berukuran 600 ml itu, tangannya meraba-raba karena ia hanya membuka sebagian kecil tasnya, jarinya tak meraih botol itu, teraba oleh ujung jarinya saja tidak.

Apa aku lupa membawanya? Pikirnya

Kelihatannya ia harus memastikannya sekali lagi dengan melepaskan sepenuhnya tas itu, agar bisa mendapatkan botol minum, Bumi pun mendapatkan botol minum itu dan ia membuka tutup botol meneguk air minum, yah setengah botol itu habis hanya dalam 3 tegukan saja, setidaknya ada sesuatu untuk sementara mengisi perutnya yang lapar.

Saat Bumi tiba di depan pintu kiri aula, panitia sudah bersiap dengan pengeras suara. "Ayo semua duduk rapi, silahkan isi formulir yang sudah kalian dapat dari meja depan tadi! Yang belum punya formulir dan langsung join di sini, sayang sekali, kalian akan mendapatkan hukuman!"

Aula yang megah dan luas itu seakan menjadi ruang yang sempit dikarenakan mahasiswa yang berkumpul terbilang banyak.

Bumi bergegas mengambil satu tempat duduk, dia hampir saja terlambat, masih untung dia mendapatkan bangku meski di urutan paling terakhir. Dia bersiap mendengarkan orientasi dari senior, bergabung dengan mahasiswa lainnya

Di depannya ada seorang pria. Dia terlihat tenang dengan headset di telinganya. Dan Bumi hanya mencuri lirik sekilas.

Tiba-tiba!

Seseorang menarik tas Bumi yang ia letakkan di samping bangku.

Tentu saja membuat Bumi terkejut. "Apa yang kau lakukan. Ini tasku!" Ujar bumi mempertahankan tasnya.

Seorang gadis dengan kacamata tebal, rambutnya pendek. Dia tak berani mengangkat wajahnya. "Ini tempat dudukku." Ujarnya pada Bumi dengan suara gemetar

"Hah!" Bumi terkejut, bukankah kursi ini sebelumnya kosong.

Sudah tidak ada tempat duduk lagi yang kosong, Bumi mengedarkan pandangan, berharap dia bisa mengalah dan memberikan kursi ini, sayangnya.. semua kursi sudah terisi penuh.

"Maaf.." lirih Bumi dengan wajah menyesal.

"Tapi ini milikku!" Gadis berkacamata ini setengah berteriak.

Mereka mencuri perhatian, hingga senior di depan sana menghentikan ucapannya di toa.

"Kau sengaja mengambil kursi saat aku tak ada!" Si gadis kacamata menarik kursi Bumi dengan paksa.

Bumi canggung mendapat perhatian di sini. Dia bingung harus bagaimana.

"Kembalikan kursiku!"

DUK!!

Seseorang bangkit dari duduk dan menendang kursinya.

Mereka menjadi pusat perhatian semua orang.