Pelajaran hari ini sungguh menyiksa.
Lavender Florencya bersungut-sungut ria sambil memijat pelipisnya. Otaknya mengebul hebat akibat pelajaran matematika dari guru killer di sekolahnya. Ini sudah tahun ketiganya duduk di bangku SMA, sudah tahun terakhir dan dia justru diberikan neraka oleh para gurunya di sekolah. Di mana keadilan untuknya dan teman-temannya? Bukankah harusnya para siswa kelas dua belas diberikan sedikit kebebasan supaya nanti bisa mengerjakan soal ujian nasional dengan baik dan benar?
"Kenapa rumah gue jauh banget, sih?" gerutu Lav, begitu cewek berambut panjang yang saat ini diikat satu itu sering disapa. Poni menyampir kanannya sudah berantakan akibat angin yang bertiup kencang. "Ini juga, masih jam tiga sore tapi langit udah gelap banget. Geledek ngoceh terus dari tadi. Masa mau hujan lagi? Kapan cucian baju gue bisa kering?"
Lavender mengerucutkan bibir dan berhenti melangkah. Dia mendongak, menatap sebal ke arah langit hitam. Baru saja kilat menyambar di sana, membuat Lavender mendesah berat. Sudah hampir tiga hari orang tuanya pergi ke luar kota karena ada tugas dari kantor masing-masing, tetapi kebetulan berada dalam kota yang sama. Dia sendirian di rumah, tidak ada teman, melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, walau Lavender sudah terbiasa dan terlatih akan hal itu. Namun, tetap saja Lavender merasa kesepian. Dia hanyalah anak berumur tujuh belas tahun biasa yang juga ingin diperhatikan dan dimanja oleh orang tua.
"Mama sama Papa kayaknya lebih sayang sama tugas kantor ketimbang sama gue," gerutu Lavender lagi. Cewek itu kembali melanjutkan langkah sambil sesekali menendangi kerikil-kerikil yang menghalangi jalannya. "Sekali-kali perhatiin gue, kek."
Berbelok, kini Lavender sudah bisa melihat rumahnya. Meskipun rumahnya bertingkat dua, tapi rumah itu tidak terlalu besar dan mewah. Lavender masih bisa menyebutnya sebagai rumah yang sederhana. Halaman depannya ditumbuhi berbagai macam tanaman kepunyaan sang mama yang selalu dia rawat setiap hari jika beliau sedang tidak ada di rumah seperti sekarang.
Ketika Lavender baru saja membuka pagar, keningnnya mengerut. Dia memerhatikan keadaan sekitar. Biasanya para tetangga akan bergosip atau memerhatikan anak-anak mereka yang masih kecil bermain sepeda di jalan. Tapi, kenapa sekarang keadaan sangat sepi? Dan kenapa juga Lavender baru menyadari keganjilan ini?
Tak lama, perasaannya mulai tidak enak tapi dia mencoba menepisnya. Cewek itu menggeleng dan langsung masuk ke dalam rumah. Tak lupa, dia mengunci kembali pagar tersebut supaya tidak ada satu orang pun yang bisa masuk ke dalam. Ya, meskipun sebenarnya pagar itu tidak terlalu tinggi dan jika ada orang jahat berniat masuk, mereka bisa saja memanjat dan melompat ke dalam.
Lavender bernapas lega ketika dia membuka pintu rumahnya. Pintu rumah itu masih terkunci seperti tadi pagi ketika dia meninggalkan rumah ini. Cewek itu melepas ikatan rambutnya dan menyisirnya asal menggunakan jari-jari tangan. Dia melempar ransel ke sofa dan menyalakan AC ruang tamu. Lalu, Lavender ke arah dapur untuk mengambil minuman dingin di dalam kulkas.
Saat itulah, Lavender merasa ada yang aneh di dalam rumahnya.
Lavender melihat adanya darah di lantai, di dekat pintu penghubung antara dapur dan halaman belakang. Cewek itu mulai ketakutan. Dia merogoh saku seragam dan rok untuk mencari ponsel, tetapi baru ingat kalau benda itu ada di dalam ranselnya. Mengumpat kesal, Lavender mencoba menenangkan diri.
"Oke, tenang Lav. Tarik napas, buang. Kalau ada orang jahat, lo tinggal teriak yang kencang, lemparin barang-barang pecah belah terutama pisau, terus lari keluar. Ya, begitu." Lavender mengangguk mantap dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Dia menelan ludah dan berjalan pelan menuju pintu belakang yang baru dia sadari juga terbuka setengahnya.
Dari mana orang jahat ini bisa masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang?! Kan pagar rumah dikunci! Lavender membatin. Tapi, sekali lagi, dia ditampar oleh kenyataan bahwa pagar rumahnya itu bisa dipanjat dengan mudah. Begitu tersadar akan kemungkinan tersebut, Lavender langsung menepuk keningnya sendiri.
Langkah Lavender terhenti dan tubuhnya mematung ketika melihat seorang cowok dewasa dengan kulit putih dan rambut hitam legamnya sedang duduk bersandar di dinding di dekat pintu belakang dengan napas terengah. Kulit putihnya bermandikan keringat dan sebelah tangannya menekan kuat bagian perut. Dari tangan yang sedang menekan kuat perutnya itu mengalir darah segar. Bukan hanya di sana saja, melainkan juga di lantai di dekat kakinya. Kedua mata si cowok terpejam kuat seolah sedang menahan rasa sakit.
Seketika itu juga, Lavender merasa mual. Wajahnya memucat. Tubuh mungilnya gemetar hebat. Rumahnya dimasuki seorang maling yang terluka parah dan sebentar lagi kemungkinan besar akan meninggal dunia. Lalu, dia akan digentayangi oleh hantu si maling di sepanjang sisa umurnya.
Ya Tuhan!
Tiba-tiba, kedua mata si cowok terbuka. Cowok itu langsung menoleh begitu merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Mata itu masih bisa menyorot tegas dan tajam, meskipun tubuhnya sedang terluka hebat. Dari tempatnya, Lavender bisa menebak bahwa manik mata cowok dewasa itu berwarna hitam legam seperti rambutnya.
"Jangan teriak," kata cowok itu terbata. Napasnya sudah satu-satu dan dia pasrah saja jika harus kehilangan kesadaran di sini akibat darah yang terus saja mengalir keluar. "Gue bukan orang jahat."
"Se—semua orang jahat juga awalnya bilang begitu." Lavender mencoba mengumpulkan keberanian. Orang di depannya ini sudah sekarat, jadi sekali lempar dengan gelas pun, Lavender yakin orang tersebut akan langsung ikut bersama malaikat maut dengan sukarela.
This girl, cowok itu membatin. Sambil mengerang keras, cowok berkulit putih itu membenarkan posisi duduknya. Dia mencoba mengeluarkan sesuatu dari balik celana jeans. Sebuah dompet dan dompet itu dilemparnya ke arah Lavender.
"Di sana ada kartu identitas gue. Lo bisa periksa."
Takut dan gemetar, Lavender memungut dompet tersebut. Dia mencari kartu identitas dan menemukan dua. Yang satu adalah KTP dan satu lagi...
"Polisi?!"
Cowok itu mengangguk pelan. "Sedang dalam penyamaran mengejar kawanan perampok bersenjata yang buron. Karena lengah dan tidak menduga adanya serangan dari arah lain, gue ditusuk sama salah satu dari mereka."
Lavender menelan ludah lagi. Ujian ini terlalu berat untuk anak SMA seperti saya, Tuhan! Cewek itu kemudian membaca nama yang tertera di KTP si cowok berkulit putih. "Samudra Ivanders? Nama lo, Om?"
"Om?!" seru Samudra Ivanders dengan nada jengkel. Tak lama, dia mengerang kesakitan lagi. "Apa lo buta? Nggak bisa liat di KTP tahun kelahiran gue? Gue masih dua puluh lima tahun!"
"Delapan tahun lebih tua dibandingkan gue, Om Samudra." Lavender memasukkan lagi kedua kartu identitas itu ke dalam dompet dan memutuskan untuk mendekati Samudra kemudian berlutut di hadapannya, ketika tahu bahwa Samudra adalah seorang polisi dan bukannya penjahat. "Om Samudra terluka parah. Kita harus ke rumah sakit."
Samudra mengangguk pelan. "Tapi lo nggak akan bisa membawa gue ke rumah sakit. Pilihan lo hanya dua. Telepon ambulance atau rekan kerja gue."
Lavender nampak berpikir. Untuk sesaat, dia melupakan pertanyaan yang ingin dia berikan kepada Samudra. Pertanyaan yang simpel, tapi memiliki arti yang besar bagi Lavender untuk meningkatkan keamanan rumahnya.
Bagaimana cowok itu bisa masuk melalui pintu belakang padahal pintu belakang pun terkunci?
"Mendingan gue telepon rekan kerja Om Samudra aja." Lavender berlari ke ruang tengah dan kembali beberapa detik berikutnya dengan ponsel berada di tangan. Cewek itu kembali berlutut di hadapan Samudra. "Berapa nomor teleponnya?"
Beruntung bagi Samudra, dia menghapal nomor ponsel Riko. Setelah memberikan beberapa instruksi kepada Lavender, cewek itu berhasil menyelesaikan tugasnya dalam hal menelepon Riko dan kembali pergi dari hadapan Samudra. Tak lama, Lavender kembali dengan sebaskom air bersih dan kotak P3K.
"Lo mau ngapain?" tanya Samudra curiga.
"Mau operasi Om Samudra." Lavender mendengus dan membasahi handuk kecil di dalam baskom berisi air. "Mau bersihin luka Om, lah. Itu luka harus dibersihin dulu dan diperban. Gue tau sedikit soal beginian. Cepat, buka bajunya."
"Lo nggak akan apa-apain gue, kan?"
Lavender memicingkan mata. "Dasar Om-Om brengsek. Gue nggak nafsu sama situ. Udah, buruan buka itu baju! Nanti lukanya infeksi."
Meskipun kesal dibentak dan diceramahi oleh cewek SMA ingusan di depannya, tapi Samudra mengikuti juga perintahnya. Dia membiarkan Lavender membersihkan darah di sekitar perutnya dan meringis ketika cewek itu menekan lukanya dengan sesuatu kemudian memperbannya. Setelah selesai, Lavender melarangnya memakai baju berdarah itu dan kembali menghilang. Tak lama, dia kembali dengan sebuah kemeja berwarna hitam.
"Itu baju bokap. Pakai aja. Dia nggak bakal tau kalau satu bajunya gue hilangin."
Sambil mendengus, Samudra memakai kemeja itu. "Nama lo?"
"Lavender. Lavender Florencya. Panggil gue Lav. Om Samudra mau teh hangat?"
"Panggil gue Sam aja," gerutu Samudra. Dia sebenarnya ingin duduk di kursi meja makan, tapi tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama. Jadi, Samudra harus puas hanya dengan duduk beralaskan lantai dingin dan bersandar di dinding. "Boleh, kalau nggak ngerepotin. Dan soal gue masuk tanpa izin ke rumah lo, maaf. Kalau gue membobol pintu depan, tetangga pasti bakalan curiga. Gue manjat pagar rumah lo aja udah panas-dingin karena takut digebukin masyarakat. Maaf juga karena mengotori lantai rumah lo."
Lavender hanya mengangguk. Mungkin sudah takdir dari Tuhan bahwa rumahnya lah yang dipilih oleh polisi ini untuk berlindung.
"Lav?"
"Hm?"
Lavender membawa dua mug berisi teh panas ke arah Samudra. Cewek itu memutuskan untuk duduk di hadapan Samudra, menemani sang polisi menunggu kedatangan rekan kerjanya yang bernama Riko.
"Lain kali, semua pintu rumah harus dikunci. Pintu belakang lo ini nggak terkunci sama sekali pas gue mau berusaha untuk mencongkelnya. Jadi, gue bisa berlindung di sini tanpa mengalami kesulitan. Lo beruntung gue yang masuk, coba kalau penjahat? Lo pasti habis dibunuh mereka."
Lavender memalingkan wajah dan meminum teh panasnya untuk menyembunyikan rona merah di wajah akibat malu karena keteledorannya sendiri.
Sialan. Ternyata gue lupa kunci pintu belakang tadi pagi.