Hidup di dunia memang tak segampang yang diimpikan. Bahkan ketika seseorang sudah bekerja keras sekalipun, tak menjamin kesuksesan datang padanya. Itulah yang diyakini oleh Seli. Gadis yang tengah duduk santai dengan sang sahabat itu nampak pusing dengan status pengangguran yang tersemat tak kasat mata dalam namanya.
"Sel, sel! Ini katanya temen Bima ada yang baru bangun perusahaan. Lo lamar deh gih" seru Suci. Perempuan dengan blouse berwarna putih dan rok denim itu nampak antusias menunjukkan chat sang suami. Namun, orang yang diajaknya bicara justru memutar bola mata. Saat ini dua sahabat, Suci dan Seli tengah berbincang santai di cafe langganan mereka. Pengunjung nampak tidak terlalu ramai karena sedang jam kerja.
"Perusahaan apa Suci, suami lo entar masukin gue ke club lagi. Ogah ah." Gerutu Seli seraya mengaduk kasar jasmine tea yang dipesannya. Es batu di dalamnya beradu dengan dinding gelas dan menimbulkan suara gemerincing lembut.
Setelah lulus kuliah lima bulan yang lalu, Seli memang sudah berganti banyak pekerjaan. Dari menjadi penjaga toko, pelayan restoran sampai baby siter telah dilakukannya.
Seli beruntung memiliki sahabat sesabar Suci yang selalu mau diminta tolong. Biasanya dia akan meminta bantuan suaminya mencarikan pekerjaan untuk Seli. Meski kadang otak mereka berdua cukup nyeleneh seperti mengajukan pekerjaan di club dan bar.
Bima dan Suci menikah muda, meski begitu mereka telah sukses membangun sebuah butik dan mempunyai banyak kenalan pebisnis.Â
"Nanti deh gue tanya, tapi bukan baju keknya. Temennya itu lulusan luar negri, masa iya cuma jualan baju doang." Janji Suci. Sebenarnya Seli sudah sering ditawarkan kerja di butik Suci, bahkan menempati posisi yang cukup terhormat tapi perempuan itu tak mau manja dan berpangku pada sahabatnya terus menerus.
"Sepatu, yang kerenan dikit ya?" Timpal Seli yang tak mendapat jawaban karena perempuan yang sedang mendambakan momongan itu tengah fokus pada ponselnya.
"Eh, maaf ya. Gue harus balik. Mertua dateng ke rumah gak bilang2" Suci pamit dengan terburu-buru. Dia meminta tagihan dan membayar semua tagihan.Â
"Buset, itu mertua apa rentenir dateng gak diundang." Cerocos Seli yang ditinggal seorang diri.Â
***
Setelah mendapat informasi yang cukup dari Si Bima, suami Suci, Seli akhirnya mengirimkan surat lamaran. Seminggu kemudian dia mendapat undangan interview. Ternyata ini perusahaan penerbitan. Sangat cocok dengan background Seli yang sarjana sastra dan bahasa. Mungkin saja dia diterima jadi editor.
"Apa kelebihan Anda menurut Anda sendiri?" Pertanyaan kesekian dari penguji semakin membuat fokus Seli buyar. Di ruangan seukuran 5x5 meter, dia seperti sedang sidang skripsi.
"Saya bekerja dengan cinta." Jawab perempuan itu seceria mungkin. Seli kehilangan kata2 setelah riwayat pekerjaannya ditanyakan dengan dingin oleh penguji tadi. Namun, dia tetap berusaha tetap tenang dan semangat.
"Baik, terima kasih. Silahkan tunggu di luar." Tutup penguji. Seli mengangguk tersenyum kemudian segera keluar dari tempat yang menyiksanya lahir batin itu.Â
Akhirnya 30 menit yang paling menegangkan berlalu. Baru kali ini Seli menjalani interview yang normal karena sebelumnya dia menjalani pekerjaan yang cukup menyimpang dari bidang keahliannya. Dari menjaga toko, menjadi pelayan restoran sampai tukang bersih jendela kantor. Miris memang, membawa potokopian ijazah S1 tapi mendapat pekerjaan yang bahkan bisa dikerjakan anak SMP. Tapi, lagi-lagi dia berusaha sabar dan bersyukur atas segala rizki yang diberkan oleh Tuhan.
"Pimpinan perusahaan mengucapkan mohon maafnya tidak bisa hadir karena ada keperluan mendadak. Beliau juga mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda sekalian. Hasil interview akan disampaikan melalui post-el. Terima kasih banyak, semoga sukses!" Ujar staff HRD. Seli bernapas lega dan berjalan pulang.
Sejak lulus SMA, Seli tinggal jauh di kota seorang diri. Sebulan sekali, dia biasa pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan orang tuanya sekaligus melepas rindu. Seli orang yang lebih mandiri sejak dia memasuki dunia perkuliahan. Sebelumnya, dia hanya seorang gadis bergaya tomboy yang hobi beladiri. Susah payah mendaftar tes masuk kuliah dengan nilai ujian pas2an membuat Seli sadar bahwa dia selama ini kurang serius. Itulah mengapa dia berusaha mati2an untuk hidup dengan usaha sendiri.
♥♡♥
Malam belum terlalu larut. Di depan jendela kamar apartemennya, Seli menatap butiran kerlip cahaya di angkasa. Dia banyak melamun akhir2 ini, keadaan ayah dan ibunya baik2 saja, hanya saja dia merasa bersalah karena belum bisa membahagiakan mereka. Sudah selesai dia dipasung pertanyaan kapan wisuda? Sekarang permintaan sang orang tua berganti. Apalagi kalau bukan pasangan? Padahal pekerjaan tetap saja Seli belum mendapatkannya. Sang ibu bahkan kerap membujuknya menjadi guru sekolah di desa. Seli bukan tak mau, dia hanya masih ingin berusaha di kota. Bagaimanapun kota dan desa itu sangat berbeda. Sebagian orang mungkin berpikir kenapa Seli harus bersusah payah bekerja? Itu kewajiban suami untuk menafkahi keluarganya. Jawaban Seli adalah karena cita2. Seli ingin menjadi wanita karir yang berusaha kerasa untuk diri sendiri dan orang lain. Cukup saat ia SMA menjadi bodoh dan pemalas.Â
Angin malam berhembus menerbangkan rambut pendeknya yang cukup tebal. Kaus oblong kebesaran dengan gambar paslon bupati tak cukup melindunginya dari udara dingin. Menutup jendela, Seli beranjak ke meja belajar tua yang telah menemaninya sejak SMA. Teringat saat itu ayahnya membelikan itu ketika kelas 11. Berharap Seli menjadi rajin belajar. Nyatanya meja itu baru digunakan dengan sebagaimana mestinya saat Seli kuliah. Perempuan itu menggoyong meja antiknya ke apartemen.Â
Memori Seli tebang ke belakang ketika seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya. Saat itu sekolah tingkat SMA di desa belum dibangun, Seli didaftarkan ayahnya di SMA yang terletak di perbatasan kota. Seli bolak balik menaiki angkutan umum untuk belajar.Â
"Oy, Seli kampret!" Teriak pemuda dengan angkuh. Wajahnya tajam siap menghakimi.
"Bukan gue yang ngasih permen ke bangku lo Juned bangsat!" Elak Seli tak kalah kasar.
"Gue bahkan belum ngasih tau lo, dasar bego!" Bentak Juna sadis. Seli menunduk sembari memukul kepalanya dengan tangan kanan. Gadis itu memang terlalu bodoh untuk melawan Juna, sang peringkat 1.Â
"Gue udah tahu, dari si Bima." Seli terpaksa bohong lagi.
"Oi, jan bawa2 gue di antara masalah kdrt kalean ya!" Bima memperingatkan Seli sembari menunjuk kedua orang yang tengah bertengkar itu.
"Berisik anjing!" Suci yang polos bahkan ikutan ngegas. Perdebatan mereka memang sudah hampir seperti siaran sinetron yang telah berepisode-episode.Â
"Nih gue kasih vocher, entah berapa tahun lagi kalo lo miskin tuker ini ke gue. Gue bakal kasih lo pekerjaan." Terang Juna menyerahkan sepotong kertas bertuliskan 'Seli kampret minta pekerjaan'.Â
Seli menggeleng cepat. Jangankan memikirkan untuk menukar kertas lusuh ini, dimana Juna saja dia tak tahu. Terakhir kali kabarnya saat reunian, Bima mengatakan Juna sudah mapan di luar negri.Â
"Malu juga kalo gue beneran ngasih ini ke dia sekarang." Batin Seli. Membayangkan Juna tersenyum angkuh menatap Seli dan kertas bodoh itu. Jika ada yang ingin bertanya kenapa kertas itu masih ada? Jawabannya adalah gara2 si Suci menyimpannya dan menyelipkannya di ijazah SMA Seli.Â
'Barang kali suatu saat berguna buat lo' katanya.Â
♥♥♥
Pagi kembali menjelang. Udara dingin tak menyurutkan semangat Seli untuk bangun cepat menyambut pekerjaan baru yang siap diterimanya hari ini. Ia mengenakan kemeja peach dan rok span berwarna hitam dipadu dengan sepatu berhighheels 3 cm. Tangannya menjinjing sebuah tas kerja berukuran sedang berwarna maroon. Rambut pendeknya dibiarkan terurai. Seli tidak peduli jika ada orang yang mengomentari dandanannya yang sederhana atau fashionnya yang seperti anak SMA, dia memang tipe perempuan yang tidak mengerti brand dan fashion. Saat SMA, dia bahkan banyak belajar merawat kulit dari Suci. Karena tidak begitu betah menggunakan kosmetik, kulitnya menjadi terawat alami sampai sekarang.
Setelah menempuh perjalanan menggunakan bus selama 15 menit, akhirnya sampailah dia di gedung penerbitan Sena Jaya. Melangkah dengan gugup ke ruangan yang telah disediakan oleh pihak perusahaan untuk pengumuman karyawan baru. Dia telah memeriksa post-el pagi tadi dan ia mendapat surat undangan untuk kembali datang.
"Terima kasih atas kehadiran Anda sekalian. Saya memohon maaf karena pada saat penerimaan tidak bisa hadir. Perkenalkan nama saya Arjuna Kamajaya presiden firektur sekaligus redaktur penerbitan Sena Jaya." Sambutan hangat diiringi dengan suara tepuk tangan yang cukup riuh. Seli masih mencerna pendengaran dan pandangannya. Dia merasa tak asing pada presdir ini.Â
"JUNA!" Seru perempuan itu tak sadar. Beberapa orang terdiam memandangnya. "Ah maksud saya, pasti dipanggil Pak Juna. Iya kan, pak?" Ujar Seli semakin gugup. Mata Juna mendelik tajam pada Seli. Nampaknya dia juga terkejut mendapati sang musuh lama kembali berada di dekatnya.
"Iya, langsung saja saya akan menyebutkan daftar karyawan baru yang diterima." Lanjut Juna acuh. Seli menundukkan kepalanya seraya memejamkan mata. Kisah lalunya dengan Juna nampaknya akan berlanjut dengan latar yang berbeda. Semoga Tuhan tidak membencinya setelah ini.
Bersambung...
~###~