Chereads / Love Disaster / Chapter 2 - 01. Apes

Chapter 2 - 01. Apes

DI antara semua kesialan yang pernah ia alami, Lisa yakin, kejadian ini yang paling apes. Hidungnya harus ditambal menggunakan plester lantaran berdarah beberapa saat lalu dan kepalanya masih pusing bukan main.

Hantaman bola basket memang mengerikan sekali. Lisa bersumpah, takkan main di lapangan atau hanya melihat orang-orang bermain di lapangan lagi, jika dia tak berkonsenterasi untuk menghindari serangan dadakan seperti beberapa saat lalu.

"Gimana keadaan lo?" Rizal muncul, tanpa senyum.

Wajahnya terlihat menyebalkan di mata Lisa, walau ia sadar, kejadian beberapa saat lalu belum tentu disengaja oleh cowok itu. Namun, tetap aja kehadirannya di tempat ini membuat Lisa kesal, terlebih, ekspresi apa itu? Apa tidak ada ekspresi lain yang lebih baik?

"Udah mendingan." Lisa memalingkan muka, enggan menatap Rizal dan berakhir memarahinya habis-habisan. Mengingat, semua ini terjadi karena ulah anak baru di kelasnya itu.

Rizal hanya mengangguk, tanpa mengucapkan maaf sama sekali, dan itu sangat mengganggu. Apa cowok itu lupa, kalau bola nyasar yang mencium wajah Lisa berasal dari tangannya?

"Mau pulang kapan?" tanya Rizal pelan-pelan yang menarik perhatian gadis itu.

Lisa menatap Rizal. "Kenapa?"

"Hm, mau gue anterin." Rizal memalingkan wajah, pipinya memerah, dan tatapannya tak terarah.

Lisa ikut membuang muka. "Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri."

Lisa tidak mengerti dengan isi otak cowok satu ini. Dia sudah tahu dirinya salah, tapi tidak mau meminta maaf. Menyebalkan. Apa kata maaf terlalu sulit untuk diucapkan? Apa semua laki-laki memang seperti ini?

Harga dirinya terlalu tinggi hanya untuk mengucap maaf yang tak seberapa?

"Ta-tapi—" Rizal kehilangan kalimat yang ingin ia ucapkan saat kembali menatap Lisa yang tengah mengabaikan keberadaannya.

Kenapa Rizal jadi gugup begini? batin Lisa bertanya-tanya.

"Kenapa?" tanya Lisa tak mengerti. Dia kembali menatap Rizal yang kini menatap langit-langit sambil menggaruk-garuk tengkuknya.

"Lo kan baru aja pingsan, yakin mau pulang sendirian?"

Pipi cowok itu bersemu, terlihat manis dan sanggup membuat jantung Lisa berdetak lebih cepat. Rasanya ada yang aneh. Kenapa jantungnya bisa berdetak tak keruan hanya melihat ekspresi manis itu di wajah Rizal?

Gadis itu segera memalingkan wajah. "Enggak apa-apa, sekarang udah nggak pusing lagi, kok."

Tanpa sadar, pipinya pun lantas ikut memerah. Rizal menggigit bibir seperti menahan kalimat apa pun keluar dari mulutnya.

"Baiklah, gue pulang dulu."

Kepergian Rizal disambut dengan helaan napas kasar. "Huft, kenapa Rizal bisa kelihatan manis gitu, sih? Tapi tetap aja nyebelin. Kenapa dia nggak minta maaf coba, kan dia tahu, kalau dia udah nimpuk gue pakai bola basketnya?" gerutunya.

***

"Lisa!"

Lisa sedang berjalan di koridor saat mendengar teriakan seorang cowok memanggil-manggil namanya. Namun, Lisa tak berhenti ataupun menoleh. Dia terus melangkah, karena ia pikir, panggilan itu bukan untuknya.

Lagipula, nama Lisa cukup pasaran di sekolah ini, jadi mana mungkin panggilan itu untuknya? Masih ada banyak Lisa yang terkenal di sana selain dia. Jadi, Lisa tidak mau geer dan berhenti, sampai menoleh, dan membalas panggilan itu.

Dia lebih takut untuk merasa malu.

"Lisa!"

Lisa merasa tubuhnya dihantam dengan batu raksasa. Keras dan kuat hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas lantai koridor yang kotor. Gadis itu mengaduh, terlebih saat ia merasakan beban berat di atas punggungnya.

"Aduh!"

"Eh, so—ri—" Sosok itu segera bangkit dari posisi mereka, tapi kalimatnya agak mengganjal.

Lisa segera menoleh ke belakang punggung. Rizal berdiri dengan pipi memerah, matanya mengarah ke arah bagian bawah tubuh Lisa yang membuat gadis itu mengernyit untuk sejenak, sebelum ia melirik roknya yang tersingkap dan ia segera bangkit dengan pipi sama merahnya. Wajahnya terasa panas, dia melihat sekeliling dan beberapa orang juga tengah melihat ke arah mereka ... lebih tepatnya, ke arah roknya.

Panas di wajahnya sudah tidak tertolong lagi. Dia menatap Rizal yang kini garuk-garuk tengkuk sambil membuang muka salah tingkah.

"Anu, Lis, gue mau minta maaf? Lo mau maafin gue, kan?" Rizal bertanya, nada memohon dalam suaranya bukan main-main, tapi ....

Maaf?

Setelah apa yang terjadi padanya pagi ini?

Setelah semua orang melihatnya dalam keadaan memalukan begini?

Jangan bercanda!

Tanpa membalas apa pun, Lisa berlari menjauh dari sana. Air matanya mengalir, sembari berlari, ia mengusap pipinya dengan kasar. Lisa menangis, menangis, dan menangis. Isakan lirihnya bagaikan belati yang sedang mengiris kulit, menciptakan luka, dan menyakiti tuannya.

"Kenapa ini harus terjadi sama gue coba?"

Lisa terisak, dia berhenti di taman belakang sekolah yang memang sepi dan jarang dilalui siswa lain karena kabar keangkerannya.

"Kenapa dia selalu bikin gue malu? Kenapa dia selalu bikin gue sakit? Kenapa ... kenapa dia ... apa salah gue sampai dia bikin gue kayak gini?"

Lisa duduk di bawah pohon rindang yang menghalau sinar mentari menyengat kulit tubuhnya. Duduk dengan menyembunyikan kepala di antara kedua lutut seraya terus terisak.

Lisa merasa tidak punya keberanian lagi. Peristiwa tadi, pasti sebentar lagi akan tersebar dan membuatnya diolok-olok oleh seisi sekolah. Dia malu ... dia bahkan tidak berani masuk kelas dan mendengar teman-teman sekelasnya mencaci-maki dirinya.

"Salah lo cuma satu," suara itu membuat Lisa mendongak, dia mencari dari mana suara itu berasal, dan sosok di atas dahan pohon membuat gadis itu terlonjak, "lo gangguin tidur siang gue."