Casta mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikannya dengan cahaya matahari. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Damario. Pria itu tidak lagi memeluknya. Ia menoleh kebelakang dan tidak mendapati siapapun. Hanya tersisa dirinya dengan selimut tebal. Apakah pria itu yang menyelimuitnya? Casta tersenyum semringah sambil mengingat kejadian semalam. Kejadian yang terlalu konyol dilakukan oleh sepasang suami istri.
Ia bangkit berdiri dengan perasaan senang dan menuju ke dapur.
"Maria biarkan aku yang membuat sarapan untuk Damario."
"Ah tuan sudah pergi sejam yang lalu nyonya."
"Apa? Kenapa pagi sekali? Bukankah ia biasanya pergi jam 10?"
"Saya tidak tahu tapi tadi tuan terlihat khawatir."
Casta mengernyitkan dahinya. Khawatir? Seorang Damario Khawatir?
Pikiran Casta kacau. Entah kenapa hatinya terus berkata bahwa suaminya itu dalam bahaya.
Setelah berpikir hampir 2 jam, akhirnya ia memutuskan untuk menuju ke perusahaan Damario.
...
Casta berjalan tergesa-gesa dan tanpa sengaja ia menabrak seseorang.
"Nyonya Casta?" Carlos mengulurkan tangannya untuk membantu Casta berdiri.
"Carlos apakah Damario sibuk? Aku ingin menemuinya."
"Kau mencari tuan? Bukankah ia biasanya ke kantor jam 10?"
"Apa maksudmu? Damario sudah kekantor sejak tadi pagi."
"Aku bersumpah tidak melihatnya nyonya. Tunggu sebentar aku akan meneleponnya."
Carlos menelepon beberapa kali akan tetapi hanya suara operator yang terdengar. Casta sangat yakin sesuatu terjadi pada Damario.
Ia memutuskan kembali kerumah dan mencoba berpikir dengan tenang.
"Siapa tahu dia sedang bersama rekan bisnisnya kan?"gumamnya.
...….....
Damario tidak kembali kerumah sejak kepergiannya kemarin. Jangankan Casta. Bahkan Fernando dan Maria pun ikut khawatir.
"Maria ada apa ini? Perasaanku tidak enak."
"Tenanglah nyonya. Saya yakin tuan baik-baik saja." Maria menepuk lembut pundak Casta membuat wanita itu merasakan sedikit ketenangan.
Dering ponsel membuat Casta terlonjak. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak fokus pada yang lain. Nomor tak dikenal?
Di balik telepon, ia mendengar suara ringisan. Meskipun tak begitu jelas, itu cukup untuk membuat Casta membelalakkan matanya. Damario. Itu suara Damario.
"Damario apa itu kau?"
"Kau lihat tuan Damario yang agung? Kedengarannya istrimu sangat merindukanmu. Apakau masih bersikukuh dengan keputusan bodohmu itu? hahaha." Tawa itu menggelegar mengisi ruang ditelinga Casta. Apa ini? Apa maksud ucapannya?
"Katakan dimana Damario. Aku ingin bicara dengannya!"
"Hahaha kau ingin bicara nyonya Casta? Apa kau yakin akan mendapat jawaban? Hahaha.
Kau tahu suami tercintamu sekarang ada ditanganku. Dan sangat mudah jika aku menghabisinya…."
"Tidak!!! Apa yang kau inginkan?"
"Hahaha baiklah langsung saja." Suara asing ditelepon itu menceritakan panjang lebar apa maksud ia menelepon Casta. Jantung Casta berdetak sangat cepat. Tak ada pilihan lain kecuali mengikuti kemauan pria asing itu.
....
Damario tergeletak tak berdaya dengan tubuh terikat. Ia tak mengira segelas bir yang diminumnya kemarin, membawanya pada situasi sulit seperti ini. Kemarin, ia sengaja keluar rumah sebelum jam 7 karena rekan bisnisnya Fredo membutuhkan bantuannya. Ketika pria itu menyediakan bir, Damario tanpa pikir panjang meminum habis segelas penuh. Tak menunggu lama, ia tiba-tiba merasakan sakit dikepala lalu pandangannya kabur dan…..
Disinilah ia tersadar. Mencoba melepaskan diri dari lilitan tali disekujur tubuhnya, ia justru mendapat perlakuan kasar dari Fredo. Pria itu pengkhianat. Ia menginginkan harta Damario.
"Tuan Damario yang agung. Sepertinya aku tidak bisa menunggu lagi. Aku harus segera mendapatkan uangmu hahaha…"
Damario tak menghiraukan ucapan Fredo. Ia menatap datar pria itu. Pria yang baru disadarinya sebagai musuh besar ayahnya dulu.
"Kenapa kau menatapku seperti itu Damario? Oh ayolah aku ingin kau tidak berlebihan".
Tiba-tiba pria itu menelusupkan jari tangannya di saku Damario dan mengambil ponselnya. Damario mengepalkan tangannya meski ekspresinya tak berubah.
"Baiklah sepertinya aku harus menghubungi pelayan dirumahmu. Oh tunggu. Apa ini? Istriku? Jadi kau sudah beristri? Ehmm siapa namanya?" Fredo menatap Damario dengan tatapan menyelidik.
"Marlon!!!!!"
Seorang pria tinggi kurus berlari kearahnya.
"Siapa istri tuan Damario?"
"Ah namanya Casta tuan. kalau tidak salah, Alegria Casta."
Fredo menggerakkan jari tangannya menyuruh Marlon kembali. Ia menatap wajah Damario dan berkata "Jadi kau sudah punya istri? Hah lucu sekali. Aku yakin kau sangat mencintainya hingga kau menyimpan nomornya dengan nama istriku."
Kali ini Damario memberikan tatapan yang berbeda. Tatapan yang tak biasanya ia tunjukkan.
"Hahaha santai saja Damario. Baiklah aku akan meneleponnya dan menyuruhnya kemari membawa uang. Aku ingin tahu sebesar apa dia mencintaimu hahaha."
"Kurangajar!!!!" Damario menggertakkan giginya sambil menatap tajam pria yang kini tertawa kejam. Kenapa harus Casta? Kenapa harus gadis itu yang diincar Fredo. Casta terlalu lemah untuk menghadapi si iblis Fredo dan Damario takut hal buruk menimpa istrinya.
"Tunggu sebentar lagi tuan Damario. Kau akan segera bertemu istrimu. Dia sedang dalam perjalanan kemari." Kata Fredo setelah ia memutuskan panggilan dengan Casta.
...…..
Casta memperhatikan gedung tua yang tidak terawat dengan emosi. Ia sudah memutuskan untuk datang dan itu artinya ia harus siap dengan berbagai situasi. Fredo, si pria asing yang menculik Damario memintanya kemari dan membawa uang sekoper penuh. Dan Casta tidak sebodoh dan seberani itu untuk membawa uang Damario. Ia akan menyelamatkan Damario tanpa uang itu.
Ia membuka pintu dan melihat beberapa botol vodka berserakan disana-sini. Ia mencium bau alkohol yang membuatnya merasa mual. Gedung itu sangat sepi. Pantas saja tidak ada yang menduga kalau seseorang didalam sedang tersiksa.
Ia menelepon Fredo dan menanyakan keberadaannya.
"Baiklah. Saatnya aku memberi pelajaran pada mu Fredo." Casta mengepalkan tangannya dan mencari keberadaan Fredo.
"Wuahahaha akhirnya kau datang juga nyonya Patricio yang cantik." Fredo mengelus dagu Casta yang dibalas dengan tepisan tangannya.
"Dimana suamiku?"
"Wow sabarlah nyonya. Aku rasa kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau bisa bersenang-senang dulu denganku. Lagi pula aku tidak beda jauh dengan suamimu bukan?"
Plakk.....
Tamparan keras mendarat dipipi Fredo meninggalkan bekas merah disana.
"Katakan dimana…." Casta tak sengaja melihat Damario yang hanya beberapa meter jaraknya. Matanya melebar melihat keadaan suaminya yang sangat kacau.
"Damario…biarkan aku kesana!" dua orang pengawal mencegahnya mendekati Damario.
"Kau mau uang kan? Ini uangnya dan biarkan aku membawa suamiku."
"kau sangat menarik nyonya Patricio. Bagaimana kalau kau menyenangkanku dan tidak perlu uang tebusan untuk suamimu."
Casta ingin sekali menghancurkan pria yang tengah menatapnya dengan senyum mengejek.
"Bukankah ini perjanjian kita? Aku membawa uang dan kau membebaskan Damario." Casta melempar koper besar ditangannya sejauh mungkin membuat perhatian Fredo teralih. Ia dan dua pengawalnya membiarkan Casta menghampiri Damario yang sedang menatapnya dengan tubuh tak berdaya.
"Damario. Maaf aku terlambat menolongmu." Wanita itu meneteskan air mata lalu membuka tali perlahan-lahan.
"Casta dibelakangmu."
Baru saja ia ingin menoleh, sebuah pisau tajam tepat mengenai lengannya hingga mengeluarkan begitu banyak darah. Menyadari situasi yang tidak aman, dengan sigap Casta menghentikkan gerakan seorang pria yang hendak menyerangnya.
Ia memutar pergelangan tangan pria itu hingga terdengar teriakannya menahan sakit.
"Berani sekali kau menipuku." Fredo menyerangnya menggunakan besi panjang dan dengan sigap Casta menahannya. Meski tangannya terluka, ia masih punya kekuatan untuk melawan Fredo.
"Kau tidak bisa melawan lagi nyonya Casta." Fredo tersenyum licik ketika Marlon berdiri disampingnya. Kali ini casta harus menghadapi dua pria sekaligus. Baiklah ini bukan pertama kalinya ia di keroyoki. Dengan lincah ia membalikkan besi itu hingga melukai perut dan dada Fredo sambil kaki kanannya berusaha mencegah Marlon agar tak menyentuhnya. Hampir saja ia lengah ketika Marlon berhasil menahan kakinya sebelum akhirnya ia menghempaskan besi itu dan menendang wajah Fredo membuatnya jatuh dan mengalihkan perhatian Marlon. Keadaan Fredo benar-benar kacau.
"Dasar bodoh. Hentikkan dia!!!!" teriakan Fredo begitu kuat.
Marlon kembali menyerang Casta dengan sebilah pisau tajam. Nyali Casta agak ciut melihat benda itu namun ia tak boleh menyerah. Dengan modal sebatang kayu, ia berusaha menghindari aksi Marlon sampai akhirnya ia memiliki celah untuk menyerang Marlon. Dengan kuat dilayangkannya kayu itu tepat diwajah Marlon. Kini kedua pria itu tergeletak lemah dilantai. Ia menoleh dan mendapati Damario yang menatapnya penuh tanya.
"Biar kulepaskan tali ini dulu." Setelah berhasil melepaskan tali itu, Casta memeluk erat tubuh suaminya.
"Aku sangat merindukanmu. Kita harus bergegas sebelum mereka sadar".
.....
Sejak tadi Casta sibuk mengobati luka di wajah Damario. Pria itu tampak sangat kelelahan. Tanda hitam terpampang jelas di bawah matanya.
"Setelah ini kau harus beristirahat."
Damario tak mengatakan sepatah katapun. Ia memandang jendela kamarnya sambil mengingat kembali kejadian digedung tua itu. Ia tidak salah lihat bukan? Tadi itu Casta yang menyelamatkannya. Casta yang dipikirannya hanya seorang wanita lemah tapi apa yang baru saja ia saksikan membuat opininya pudar. Bahkan wanita itu berani memberikan koper tanpa uang didalamnya. Sebuah tindakan bodoh yang cukup mengesankan. Ternyata Casta punya cara mempertahankan diri yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Kini pandangannya beralih pada lengan Casta. Ia tahu sejak tadi wanita itu bahkan belum mengobati lukanya sendiri. sebegitu pedulikah ia pada Damario?
"Lukanya sudah kuobati. Sekarang istirahatlah." Casta membaringkan Damario di kasur dan mengelus lembut dahinya. Damario memandangi Casta beberapa saat kemudian mengambil obat di nakas. Casta menaikkan alisnya tak mengerti tindakan pria itu.
"Apa yang kau lakukan?"
Tanpa menjawab pertanyaan Casta, pria itu mengangkat lengan Casta dan membersihkan lukanya dengan antiseptik lalu meneteskan obat.
Casta terkejut dengan sikap Damario yang diluar dugaan. Cara Damario mengobatinya begitu lembut dan pelan-pelan. Ia benar-benar tak memiliki alasan untuk tidak mencintai suaminya itu. setelah lukanya di perban, ia menarik pelan tangan Casta membuat wanita itu terbaring dikasur tepat disampingnya. Mereka saling berhadapan hingga membuat Casta merasakan sesuatu didadanya. Lagi dan lagi jantungnya memompa cepat. Damario yang saat itu memejamkan matanya tampak begitu mempesona. Bulu mata tebal dan bibir tipis serta dagu terbelah ditambah kulit putih bersih. Casta merasakan kesedihan sekaligus bahagia. Andai saja Damario melihatnya sebagai seseorang yang ia cintai. Sungguh hadiah terindah dalam hidupnya. Namun fakta tetaplah fakta. Damario tidak mencintainya. Ia hanya membutuhkannya.
"Aku mencintaimu suamiku." Casta mengecup lembut dagu suaminya membuat pria itu membuka matanya. Ah itu mata paling indah yang pernah Casta lihat. Tiba-tiba pria itu menyentuh pipi Casta dengan sangat lembut dan mengecup dahinya. Kecupan paling dalam dan tulus yang pernah Damario berikan padanya membuat Casta terbuai. Ia menyembunyikan wajahnya di dada suaminya dan memeluknya. Tak ada ketakutan selain perasaan tenang dan damai. Ia sangat menyukai aroma parfum Damario. Tak beberapa lama, Casta tenggelam dialam mimpi. Ia tak menyadari bahwa pria itu sedari tadi hanya memperhatikannya. Damario mengeratkan pelukannya dan mengecup dahi Casta sekali lagi sebelum ia merasakan kantuk.