Chereads / JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT) / Chapter 21 - SEDERHANA MEMBERI MAKNA

Chapter 21 - SEDERHANA MEMBERI MAKNA

Ketika siang tiba, kami masih ada di dalam hutan. Makanan yang diliwet ibu-ibu Mandalamekar dibawa ke hutan. Tangan kotor penuh tanah. Air bersih tersisa hanya untuk minum.

Tenaga habis setelah mendaki bukit dan turuni lembah. Perut merintih minta diisi. Tidak lagi peduli teori hidup bersih, kami lahap menyantap makanan tanpa menggunakan sendok.

Kulihat adik-adikku yang awalnya terlihat keren dan mulus, sudah berubah jadi dekil. Rasa lapar membuat mereka tidak lagi merasa jijik. Pun ada banyak tawa dan canda yang terangkai.

Ini jauh lebih dari cukup untuk menyulur pelita bahagia. Petani yang ada di hutan dan ibu-ibu yang mengantar makanan ikut makan bersama kami. Siang itu, terik menjauh dari hati kami.

Yakin perut sudah kenyang dan punya energi lagi, Ben memberi komando. Perjalanan kami rupanya belum usai. Belantara masih menunggu disusuri. Nan tetap ada di dekatku. Bersama celoteh Meisya dan kegalauan hati Tigor yang tidak kunjung selesai.

Kami sampai di mulut gua yang kecil. Gila juga si Ben, adik-adikku disuruh telusur gua. Masalahnya mulut gua kecil dan pendek. Untuk masuk ke dalam gua harus sambil jonggok atau mungkin berenang. Ini gua basah. Masuk ke dalam gua berarti merelakan seluruh tubuh basah kuyup.

Setelah melihat lebih dekat, baru aku tahu, tidak mungkin juga masuk gua dengan berenang. Stalagtit dan stalagmit hampir berhimpitan. Jaraknya dekat sekali. Harus menggunakan alat untuk masuk ke dalam gua. Sementara alat caving hanya ada 10 dan kapasitas di dalam gua hanya muat untuk maksimal 13 orang. Kami terpaksa harus menunggu giliran.

Tidak semuanya bisa masuk ke dalam gua. Sebagian terpaksa keluar walau baru menempuh ¼ perjalanan. Mereka menderita sesak napas karena udara yang minim. Beberapa ternyata punya phobia ruangan sempit dan gelap.

Keluarnya beberapa orang tanpa sanggup menyentuh ujung gua membuat orang-orang yang menunggu di mulut gua jadi ciut. Begitu juga aku yang punya phobia ruang tertutup. Tapi saat aku merasa takut, Nan meyakinkanku.

Dia bilang tidak perlu takut, semua akan baik-baik saja. Waktu giliranku dan Nan tiba, aku masih merasa takut, tapi kuberanikan diri untuk tetap masuk. Kata orang-orang yang sudah sampai di ujung gua, ada setitik surga kecil di dalam gua ini. Jelas aku penasaran.

Aku mengenakan pelindung di kepala, tumit dan siku tangan. Masuk ke dalam gua, harus sambil jongkok. Seperti saat sedang dihukum. Tapi lutut tidak boleh diseret. Kaki bisa tergores stalagmit yang tajam. Sepanjang penyusuran, stalagtit berbagai bentuk membuatku terpukau.

Rasa takjubku terhenti saat kudengar ada suara gaduh dari belakang. Laras yang sedang flu tidak bisa bernafas dan sesak. Tantra segera mengevakuasi Laras keluar dari gua. Rasa takut kembali menderaku. Nan malah tertawa.

"Hahaha…Rei tidak akan kehabisan oksigen di sini. Tahu kenapa?"

Aku menggeleng. "Kenapa?"

"Sebab di sini banyak air. Kan air mengandung oksigen. Tenanglah, selama masih ada air, kita bisa terus benafas lega. Hanya atur nafas dengan baik. Jangan panik. Itu malah membuat kita sulit bernafas dan merasa sesak."

Aku menuruti kata-kata Nan. Alam yang bersahaja ini memang bukan untuk pengecut dan orang-orang lemah. Sambil menanti Tantra kembali memimpin rombongan, Nan mengambil posisi di depanku. Beberapa menit melewati berbagai rintangan, kami sampai di ujung gua.

Sama sekali tidak pernah aku duga, gua di berujung pada sebuah kolam besar setinggi pinggang. Sementara waktu, aku tidak perlu jonggok. Air dalam kolam jernih dan sedikit hijau. Segar dan murni.

Kolam ini saja sudah membuatku hampir menangis. Ternyata bukan ini puncak keindahannya, tetapi air terjun yang tepat berada di sisi kolam. Aku tidak tahu dari mana air terjun ini berasal. Namun yang pasti, air terjun ini tidak terlalu tinggi dan punya volume cukup besar.

Air mengucur deras di atas kepala. Astaga! Tidak terbilang sensasi yang menyambar di sekujur tubuh. Jika terlalu lama, bisa-bisa masuk dalam kondisi trans, antara ada dan tiada. Baru aku mengerti, mengapa para pencari ilmu senang semedi di bawah air terjun. Rupanya hantaman air terjun pada tubuh secara terus-menerus bisa membuat manusia merasa kosong.

Ben membatasi kami di dalam gua tidak lebih dari 15 menit, agar bisa bergantian dengan yang lain. Peraturannya tetap sama, tidak boleh terlalu banyak orang di dalam gua. Kolam ini tidak terlalu besar.

Alasan lainnya, kami berburu waktu dengan hujan. Cuaca mulai mendung, jika hujan deras dan mulut gua tertutup air, kami bisa terjebak di dalam gua — yang sudah pasti dipenuhi air. Ini sangat berbahaya.

Hujan deras mengguyur setelah semua tim keluar dari gua. Ben bisa bernafas lega. Alam tidak bisa diprediksi. Kapan pun waktunya, kecelakaan bisa saja terjadi. Meski hujan membuat badan menggigil kedinginan dan pijakan tanah menjadi licin, kami terus berjalan.

Nan beberapa kali menuntunku menyusuri jalan yang tidak bersahabat. Kak Gigih ada bersama Laras. Sedang Ben sudah tidak kulihat lagi. Entah ada di depan atau belakang rombongan ini. Tim tidak lagi dipecah. Kami semua berjalan beriringan.

Rinai hujan baru berhenti saat mendekati air terjun. Ini air terjun betulan. Air terjun ini tinggi dan besar. Kolamnya ada dua. Satu kolam persis di bawah air terjun dan satu lagi persis di sebelahnya.

Aku, Laras dan Bianca mengincar kolam yang agak jauh dari air terjun. Kami tahu, semua orang pasti ingin ke kolam yang dekat air terjun. Benar saja, saat aku, Laras dan Bianca sedang membersihkan badan, Meisya datang dengan histeris.

"Ya ampuuuunnn….pas lihat kolam dekat air terjun itu, aku sudah mengkhayal akan jadi bidadari yang mandi di air terjun. Eh, ternyata ada bidadari lain. Itu si Kak Nan lagi keramas di bawah air terjun…damai banget hidupnya…."

Aku tertawa mendengarnya. Rambut Nan memang agak gondrong. Meisya sampai mengiranya perempuan. Kaum lelaki bertindak agak ekstrim. Melepas kaos dan memanjat batu-batu di sisi air terjun. Lalu lombat dari atas air terjun yang tinggi. Sedikit berbahaya.

Apalagi Ben dan Naldi malah bersila di atas air terjun dan tidak mau turun.

Aku melirik ke arah Laras.

"Anak-anak itu seperti ayam lepas dari kandang….hahaha…."

Laras juga tertawa. "Hahaha….ini pengalaman baru untuk mereka. Kurasa setelah ini tidak hanya pola pendampingan pendidikan di Kebun Sayur yang berubah, tetapi hidup mereka juga akan berubah."

Ya, setelah semua ini, hari-hari tidak akan sama. Adik-adikku yang punya pengalaman baru akan mengambil alih pendampingan pendidikan di Kebun Sayur. Mereka tidak akan lagi canggung berhadapan dengan warga.

Aku bisa tenang dan fokus pada mimpiku. Menjaga jarak dengan kenanganku di Kebun Sayur — yang kelak hanya akan berujung pada kata "pernah" tanpa bisa jadi "selalu" atau "selamanya". Tepat saat petualangan adik-adikku itu dimulai, perjalananku di Kebun Sayur menyentuh titik tamat. (Bersambung)