-Aku adalah apa yang ada di dalam pikiranmu. Baik, jika prasangkamu baik terhadapku. Dan bisa menjadi busuk, jika prasangkamu buruk terhadapku. Ya... aku sesederhana itu.-
"Arni, emakmu?!" tanyaku yang pasti didengar Manis, perempuan kecil itu, pun Arni yang kini berjalan tergopoh mendekat ke arahku lebih seperti cicitan.
Gadis kecil itu mengangguk, kemudian dia memeluk emaknya erat-erat.
"Iya, Juragan, beliau adalah emakku!" katanya bangga.
"Rugi benar kamu memiliki emak seperti dia. Pantas saja seragammu itu kumal, dan penampilanmu kumuh. Rupanya, menurun dari emaknya," kataku.
Manis tampak melotot, kemudian ia menempeleng kepalaku. Dari orang-orang yang kukenal, rasanya hanya Manis yang berani bersikap kurang ajar kepadaku. Dan, aku diam saja.
"Hus! Apa, toh, yang kamu ucapkan, Juna. Ndhak baik itu. Merendahkan orang seperti itu. Aku, ya, yang ndhak kamu hina saja ikut sakit hati, lho," marahnya. Padahal, aku ndhak menyuruhnya untuk sakit hati. "Maafkan ucapan Juragan Arjuna, Arni. Dia memang seperti itu. Tapi percayalah, sebenarnya dia ini baik. Hanya saja, ucapannya sedikit seperti itu. Yakin!" serunya seolah meyakinkan Arni. Aku masih diam.
"Ndhak apa-apa, Manis. Mau bagaimana lagi, toh. Memang benar kondisiku seperti ini,"
Hebat benar perempuan ini. Sama sekali ndhak marah dengan ucapanku. Aku berdehem beberapa kali sambil mengikat kedua tanganku di belakang. Entah kenapa, aku merasa aneh.
"Maaf, Juragan, jika tadi Ningrum barangkali bersikap kurang ajar kepada Juragan. Sungguh, saya minta maaf."
"Dia ndhak melakukan salah apa pun. Malah-malah, dia tampak begitu manis," kataku jujur. Arni tampak menunduk. Apakah aku salah ucap? Apa dia pikir aku juga memujinya karena telah melahirkan keturunan yang manis? "Akan tetapi, sayang benar, bocah semanis ini harus memakai pakaian yang lusuh. Lebih-lebih penampilannya, seperti bocah yang ndhak mandi selama sewindu."
Kini, ndhak hanya Manis yang melotot. Tapi, Arni juga.
Kurogoh saku celanaku, kubuka dompet kemudian kuambil beberapa lembar uang. Kulemparkan pada tubuh Arni. Setelah dia menatapku, buru-buru dia menundukkan pandangannya.
"Juragan, kamu ini apa-apaan, toh! Ndhak sopan benar rupanya kepada emakku! Ayo, minta maaf!" marah Ningrum. Aku suka dengan bocah ini. Dia benar-benar ndhak punya rasa takut.
Arni membungkam mulut Ningrum agar anaknya diam. Kemudian ia memungut uang yang berceceran di tanah. Mengulurkan uang-uang itu kepadaku.
"Maaf, Juragan, saya ndhak bisa menerima ini. Saya dan anak-anak saya, ndhak butuh belas kasihan Juragan," katanya. Aku yakin jika dia tersinggung dengan perlakuanku.
"Cih! Ndhak usah besar kepala seperti itu. Siapa yang kasihan kepadamu? Itu, adalah upahmu untuk memetik daun teh pagi ini,"
"Tapi, Juragan--"
Aku langsung pergi, agar Arni ndhak menolak pemberianku. Tapi, tetap saja, perempuan kumuh itu mengejarku.
"Juragan--"
"Kalau lebih bisa kamu belikan baju untukmu, anak-anakmu, atau kamu belikan makan."
"Tapi--"
"Dan kalau kamu ndhak mau upah itu, bisa kamu buang."
"Ini kebanyakan, Juragan."
"Lho, ya terserah aku, toh. Uang-uangku, mau kuupah berapa kamu, kenapa kamu yang repot!"
"Tapi--"
Dia langsung menghentikan ucapannya tatkala aku melotot. "Bilang tapi lagi tak sentil upilmu."
Dia langsung diam, ndhak berani membantah ucapanku lagi. Paling endhak, aku bisa membantu membelikan seragam gadis kecil nan manis itu. Kasihan dia, harus memakai seragam kumal di saat kawan-kawannya memakai seragam baru.
Tubuhku tiba-tiba terhuyung kebelakang, rupanya Manis telah mendorongku dengan begitu kencang. Dia tersenyum lebar, sampai deretan giginya yang putih itu tampak nyata.
"Juragan Arjuna memang keren!" katanya.
Aku tersenyum, mendengar ia menyanjungku. Kemudian kulihat dia pergi, mendekati para pemetik teh yang lain. Bergabung bersama mereka untuk melakukan pekerjaan yang sama.
*****
Sore ini, ketika bocah-bocah sedang berpondong-pondong membawa ternak mereka untuk pulang, pun dengan burung cangak yang terbang kembali keperaduan. Begitu pula denganku, yang ingin pulang setelah dari Berjo. Akan tetapi, niat pulangku tampaknya harus kuurungkan sedikit lebih lama karena motor Paklik Junet ndhak bisa dinyalakan. Aku juga ndhak tahu, bagaimana bisa terjadi. Padahal motor tua yang busuk ini tadi baik-baik saja. Dia berjalan dengan gagahnya. Tapi sekarang....
Kuembuskan napasku dengan sebal. Lihatlah semburat jingga yang terpendar indah di ufuk barat cakrawala. Warnanya begitu kontras dengan hamparan kebun teh yang membentang. Namun begitu, mereka tampak indah tatkala bersatu di ujung pandangan.
"Jadi, mau sampai kapan Paklik mau menunggui motor ndhak berguna ini?" tanyaku yang sudah mulai kesal.
Sedari tadi, Paklik Junet berusaha membenarkan motor itu. Bahkan katanya, sebentar lagi selesai itu pun sampai ia katakan berulang. Tapi apa, motor ndhak berguna itu, tetap saja diam di tempatnya. Jangankan jalan, menyala saja ndhak mau.
"Sabar, toh. Mungkin motor ini sedang marah," katanya. "Ini karenamu, coba saja kalau kamu sedari tadi ndhak marah-marah. Pastilah motorku ini ndhak akan nesu."
"Motor jelekmu itu, ndhak nesu, Paklik. Memang dasarnya saja, dia adalah rongsokkan yang Paklik rawat. Ya, jadinya seperti ini," kataku ndhak terima.
Sedari awal aku sudah bilang kepadanya untuk membawa mobil atau pakai motorku saja. Tapi, laki-laki mata keranjang ini keras kepala. Dia bersikeras mengajakku ke berjo pakai motor busuk ini. Duh, padahal perutku sudah lapar benar. Dasar Paklik Junet ini bajul buntung!
"Waduh, Juna, hujan ini!" pekiknya.
Kuembuskan lagi napasku. Apalagi ini? Setelah motor rusak, sekarang hujan? Di petang hari pula.
"Jadi, bagaimana ini, Juna?" tanyanya meminta pendapat.
"Ayo pulang, tinggalkan saja motor buntungmu ini di sini, Paklik. Kita ke rumah Simbah," kataku memberi ide. Rumah Simbah Romelah ndhak begitu jauh dari jalan ini dibanding dengan rumahku. Meski memang benar rumah Simbah juga ndhak bisa disebut dengan dekat.
"Tapi, masih agak jauh, Juna. Kita sampai ke sana, bisa basah kuyub. Kamu bisa masuk angin." dia bilang.
"Lantas, siapa orang sontoloyo yang membuat Juragan sepertiku jadi seperti ini?"
"Aku."
"Pinter. Jadi, sekarang Paklik harus cari solusinya," kataku kemudian.
Paklik Junet diam. Dia benar-benar diam. Seolah ndhak peduli, jika sekarang gerimisnya sudah semakin besar-besar.
"Bagaimana kalau kita singgah sebentar di rumah Kokom saja? Rumahnya dekat, seberang jalan sana," kata Paklik Junet memberi ide.
Kalau aku ndhak salah ingat, Kokom adalah salah satu dari sekian perempuan yang ingin didekati oleh Paklik Junet. Dia janda di kampung ini. Bagaimana bisa Paklik Junet memberiku ide seburuk itu? Singgah di rumah janda? Apa kata orang-orang setelahnya.
"Lho, Juragan, Paklik... ada apa ini kok hujan-hujanan?" kutoleh asal suara, rupanya Arni yang menyapa sambil tergopoh-gopoh ke arah kami. "Lho, motornya ndhak bisa menyala, toh?" tanyanya kemudian setelah melihat motor jelek Paklik Junet diam di tempatnya.
"Iya, Arni... motornya lagi marah sepertinya. Padahal gerimis sudah cukup lebat. Rumah masih jauh," jawab Paklik Junet.
"Lalu, bagaimana kalau Juragan dan Paklik singgah di gubugku? Ndhak besar, memang. Bahkan bisa dibilang jelek. Akan tepai, cukup hangat untuk disinggahi.
"Ada suamimu di rumah?" kutanya. Arni, dan Paklik Junet tampak bingung. "Maksudku, aku ndhak mau jika ndhak ada suamimu di rumah. Nanti bisa jadi fitnah."
"Tak pikir, kamu berharap kalau ndhak ada suaminya di rumah," ledek Paklik Junet. Tapi, aku mengabaikannya.
"Ada, Juragan. Kebetulan, Kang Muri baru saja pulang dari kebun. Jadi, bagaimana? Silakan jika Juragan, dan Paklik berkenan untuk mampir."
"Kata Paklik Junet, iya. Jadi aku terpaksa mampir ke rumahmu."
Aku berjalan mendahului mereka. Sementara Paklik Junet setengah berlari mengejarku.
"Kapan aku bilang iya, Arjuna?!" teriaknya. Tapi, kuabaikan saja dia.
*****
"Wah, wah... bahagia benar Juragan Arjuna sudi singgah di rumahku. Pasti semalam aku bermimpi dijatuhi bintang." Muri tersenyum lebar, kemudian ia duduk di depanku setelah mengajak salaman.
"Maaf merepotkanmu. Hujan membuatku harus mencari tempat berteduh." kujawab.
Muri mengibaskan tangannya. "Ndhak apa-apa, Juragan. Aku malah senang," katanya. "Arni! Buatkan kopi Juragan Arjuna dan Junet ini, lho. Jangan lupa, ubi rebusnya bawa keluar juga!"
Aku sama sekali ndhak menyangka. Jika Muri adalah sosok yang ringan tangan. Seorang suami yang buruk kepada istrinya. Sebab di luar, di lingkungan kawan-kawannya. Muri adalah sosok yang suka bercanda.
Ndhak lama setelah suara perintah Muri, Arni pun keluar sambil tergopoh. Membawa tiga kopi hitam beserta ubi rebus yang asapnya masih tampak mengepul. Ndhak sadar, kutelan ludahku karena ingin. Hujan-hujan makan ubi rebus sambil minum kopi, adalah hal ternikmat yang bisa dilakukan saat ini.
"Silakan, Juragan... ndhak usah sungkan-sungkan," kata Muri.
Aku pun langsung mengambil satu, kemudian kumakan meski harus kutiup-tiup dulu.
"Panas, Juragan... enaknya digosok-gosok dengan kedua tangan. Biar tubuh Juragan juga ikut hangat pas hujan seperti ini." Arni memberi ide.
Aku pun mengikuti ucapannya. Rasa hangat ubi mulai menjalar dari telapak tangan, kemudian di titik-titik syaraf dingin tubuhku. "Pintar benar kamu. Ini bekerja, lho." kubilang. Arni tampak menampilkan seulas senyum.
"Kalian tampak serasi benar, berapa jarak usia kalian waktu menikah?" kini Paklik Junet mengeluarkan suara. Aku sudah ndhak peduli, sebab aku lebih fokus kepada ubi-ubi ini, sebelum mulut Paklik Junet melahap semuanya.
"Wah, kalau itu cukup jauh, Net," jawab Muri sambil menyandarkan punggungnya. Kemudian, ia mulai menyalakan cerutu dan menghisapnya. "Kira-kira, sepuluh tahun, ya, Ndhuk?" kini, ia melempar pertanyaan itu kepada istrinya. Kulirik Arni, ia mengangguk.
"Iya, Kang... waktu itu, usiaku masih dua belas tahun."
Aku hampir terserdak mendengar ucapan Arni. Kemudian, kuminum kopi yang rupanya aku lupa jika itu panas. Bergegas Arni menghampiriku, mengambil kopi yang ada di tanganku kemudian digantikannya dengan air putih. Aku yakin, tangannya kepanasan. Tapi, ndhak dirasakan.
"Kopinya panas, Juragan." dia bilang. Aku mengagguk.
"Ndhak salah kamu, Muri, menikahi perempuan kecil?" kutanya.
Muri malah tertawa. "Dia cantik, percayalah, Juragan... di kampung ini pun, Arni adalah perempuan tercantik. Dan aku bangga, bisa menikahi perempuan paling cantik di kampungnya," ujarnya. Kini kulirik Arni dari atas sampai bawah. Sumpah, aku ndhak tahu di mana letak cantiknya.
"Juga bahenol, Muri. Pandai benar kamu memilih istri," tambah Paklik Junet. Pintar benar mata bajul buntung satu ini kalau melihat kebahenolan perempuan.
"Kamu menikah dengan Muri karena cinta?" tanyaku kemudian. Arni ndhak menjawab. Ia hanya menunduk tanpa kata.
"Kalau ditanya mbok ya dijawab. Nanti orang-orang pikir aku memaksamu kawin. Dasar, perempuan satu ini."
"Iya, saya cinta, Juragan," jawab Arni kemudian.
Jujur, aku merasa ada yang aneh. Cinta yang Arni katakan untuk Muri, terdengar berbeda seperti cinta yang dikatakan Biung untuk Romo. Pun dengan pandangan mata Arni untuk Muri, jauh berbeda dengan pandangan Biung untuk Romo. Apa mungkin, cinta itu berbeda-beda setiap orang?
"Ohya, di mana anak-anakmu? Kenapa mereka ndhak tampak?" tanyaku lagi mencoba mencairkan suasana.
"Oh, Ningrum dan Narko, toh, Juragan? Keduanya sedang belajar di dalam. Sebentar, biar Arni panggilkan mereka. Omong-omong, aku baru tahu, lho, kalau sampean ini kenal anak-anakku juga," kata Muri dengan nada yang tampak aneh. Penuh selidik dan dingin.
"Tadi, aku bertemu dengan Ningrum secara ndhak sengaja. Ia mencari emaknya di kebun. Jadi, aku sedikit bercakap dengan gadis lucu itu."
"Oh."
Dan, suasana terasa sangat hening. Aku ndhak tahu keheningan macam apa ini. Paklik Junet menarik tanganku supaya aku mendekat ke arahnya tatkala Muri masui ke dalam untuk mengambil cerutu yang lain karena habis.
"Sepertinya Muri cemburu terhadapmu. Lihatlah bagaimana ekspresi wajahnya. Dari pada nanti kita dibacok olehnya. Lebih baik, setelah hujan reda kita segera pulang,"
"Lho, cemburu bagaimana? Aku ndhak melakukan apa pun dengan istrinya. Lagi pula, mana doyan aku dengan perempuan kumuh yang sudah bersuami. Enak saja!"
"Hus, jangan keras-keras, Juna. Nanti didengar. Dengar, ya, Muri itu di kampung ini, terkenal dengan sifat cemburannya kepada Arni. Ada laki-laki yang menyapa saja Muri pasti akan marah," jelas Paklik Junet.
Jujur aku sangat kaget mendengar perkataan Paklik Junet. Pantas saja, suasana hangat yang tadi tercipta langsung berubah canggung tatkala aku bertanya kepada Arni tentang perkawinan mereka. Atau malah, apa karena waktu Arni menghampiriku dan mengambil kopi yang ada di tanganku? Sungguh, aku ndhak berniat membuatnya cemburu, jika itu yang dirasakan oleh Muri.
"Juragan tadi?" kata Ningrum menyapaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kaku, karena mulai ndhak nyaman dengan situasi ini. Tapi, Ningrum malah memukul-mukul tanganku. "Bapak, Bapak!" teriaknya memanggil Muri. Ndhak lama, bapaknya itu pun keluar.
"Juragan ini, lho, yang tadi memberi emak uang banyak. Katanya, disuruh untuk membeli seragam Ningrum, baju Ningrum, juga baju Emak!"
Arni langsung menutup mulut Ningrum, kemudian ia memandang wajah suaminya takut-takut.
"Diberi uang banyak? Uang apa? Benar seperti itu, Arni?" tanyanya ndhak sabaran.
Aku langsung menggenggam bahu Muri meski kemudian ditepis olehnya.
"Bukan seperti itu. Ningrum salah paham. Aku hanya memberi istrimu upahnya saja. Upah memetik daun teh."
"Upah yang lain pun, aku juga ndhak tahu, lho, Juragan," sindirnya.
"Bagaimana bisa seorang Juragan terhormat sepertiku memberikan upah yang lain kepada perempuan yang sudah bersuami? Meski kamu bilang istrimu cantik, tapi ketahuilah... dia bukan seleraku."
Muri langsung diam. Sementara Ningrum, memandangku dengan tatapan tajam.
"Juragan--"
"Maafkan anak saya, Juragan. Dia telah lancang. Juga maafkan suami saya, Juragan," katanya mengiba.
"Cemburu itu tanda cinta. Jika ia cemburuan, tandanya dia sangat mencintaimu," kubilang sambil mengulum senyum. Kemudian kutepuk pundak Muri yang kini ndhak ditepis lagi. "Aku pulang dulu. Semoga keluargamu harmonis selalu. Ohya, Paklik... tolong urus sekolah anak-anak Muri. Mereka pantas mendapatkan pendidikan layak sampai jenjang SMU, lho."
"Siap, Arjuna!"
Aku langsung pergi dengan tergesa, sebab hujan masih terhitung sangat lebat. Kuabaikan saja teriakan Muri dan Arni dari belakang.
Rasanya, ndhak enak juga dicemburui seperti ini. Padahal, niatku baik kepada keluarga mereka.