12.00, siang hari.
Naga adalah makhluk yang nokturnal, menyerang saat tidur merupakan pilihan terbaik yang bisa diambil. Ikki menatap gerbang kayu besar yang perlahan terbuka menunjukkan dunia luar yang tersembunyi di baliknya. Cahaya terlihat dari celah yang sedikit demi sedikit terbuka, apa yang Ikki pertama kali lihat di balik celah itu adalah sebuah jalanan di ibu kota, dimana itu berada tepat di depan kastil kerajaan. Itu bukanlah tempat yang akan ramai dikunjungi, bahkan tak ada satu orangpun di hari biasanya. Tapi kenapa ada dua enfinity yang berdiri dengan perlengkapan bertarung lengkap? Ikki menghela napas yang sangat panjang.
"Tidak perlu kata-kata perpisahan. Aku akan kembali setelah membunuh naga perak itu sendirian."
Zen dan Fylia menunggu bukan untuk pertemuan terakhir. Mereka tidak datang karena menginginkan sebuah perpisahan, tapi dengan jelas ada hal lain yang mereka inginkan. Ikki tidak mau memikirkan kenyataan di depan matanya bahkan saat dia sendiri sudah mulai menyadarinya sejak awal.
"berhentilah bercanda. Aku juga akan membantumu. akulah yang tertua di sini. Aku juga yang terkuat di dunia ini. Tapi, aku tidak bertarung untuk mereka, aku bertarung untuk alasanku sendiri."
"Fylia juga... Fylia juga punya alasan sendiri untuk bertarung! Bahkan jika Ikki melarang Fylia, Fylia tetap akan berangkat ke tempat berbahaya itu!" Hembusan angin meniup rambut emas Fylia saat dia memakai wujud manusianya. Dia memiliki alasan yang kuat untuk bertarung, bahkan tanpa orang lain ketahui.
Naga perak dikonfirmasi bukan lagi aether rank S biasa. Setelah menyerap daya hidup Aragorn, naga perak memperolah kekuatan tempur yang hampir setara dengan aether rank SS.
Pada pernyataan Fylia, Ikki berkata dengan dingin:
"....Zen sudah memperingatkanmu tentang itu. balas dendam karena naga perak menghancurkan desamu? Lebih baik hentikan itu."
Ikki tidak ingin melibatkan Fylia dalam bahaya. Bahkan jika dia harus berkata kasar ataupun menyakiti hatinya sekalipun.
"tidak begitu, Ikki salah... Ikki salah tentangku! Aku sudah berusaha melupakan masa laluku. Yang kuinginkan adalah... apa yang Fylia inginkan adalah....!" Fylia menahan banyak perasaan dalam kata-kata itu, dia tidak ingin semua keinginan dalam dirinya tumpah dan berantakan. Dia ingin menyusun setiap serpihan kecil yang ada dan menumpukkan itu dengan lembut. Tapi kata-kata yang ingin dia katakan tidak keluar seakan ada sesuatu yang lain yang mengganggunya.
『 Dengarkan aku dengan serius, kalian bertiga harusnya menghentikan kebodohan ini. Aku punya tanggung jawab untuk membunuh dewa di Verdernia. Tapi jika Ikki mati jiwaku yang ada dalam tubuhnnya juga akan mati. Lyria-- Nasib Verdernia ada di pundak Ikki. Karena itulah dia tidak tidak diijinkan sampai mati. Bahkan dengan bantuan Zen dan Fylia sekalipun, kemungkinannya masih terlalu kecil. 』
Mereka memiki alur dan cara berpikir yang berbeda. Ikki tidak ingin seraphim lebih tersakiti lagi karena kebaikan hati Ikki yang begitu bodohnya kejam terhadap dirinya sendiri. Zen pergi bukan karena rasa pedulinya terhadap seraphim melainkan untuk menyelamatkan temannya yang akan pergi dengan bodohnya. Fylia juga tidak pergi untuk membalaskan dendamnya, tapi dia pergi untuk menyelamatkan Edea yang ingin mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain, namun, di atas itu dia berangkat untuk 'seseorang' yang dia cintai.
Aria yang mengharapkan kerjasama dari seraphim, mendapat penolakan atas permintaannya. Dengan tidak adanya kerjasama dari seraphim, kemungkinan menang mereka menurun. Itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk menghindari resiko terbunuhnya Ikki.
Akan tetapi bahkan setelah mendengarkan apa yang Aria telah katakan, Fylia semakin menetapkan tekad dalam hatinya dan membuang semua perasaan khawatir yang tidak diinginkannya menjauh.
"meski begitu.... Fylia...." Fylia mengulangi kembali kata-katanya.
Dia mencari kata-kata yang dia inginkan untuk meneruskannya, pandangannya beralih ke sana-sini.
Namun, pandangannya tidak melihat kata-kata itu. Satu-satunya hal yang terpantul dalam matanya adalah mata biru yang menjadi simbol dari laki-laki itu, dan langit kebiruan dengan sedikit awan di belakangnya.
Dan pandangan itu tiba-tiba kabur.
"Aku…"
Meskipun Fylia memulainya kembali, dia masih tidak menemukan kata-kata itu.
Apa yang harus Fylia katakan? Fylia sudah mengatakan apa yang ingin Fylia katakan. Kata-kata yang telah Fylia rasakan dan telah Fylia pikirkan itu telah Fylia ucapkan beberapa saat lalu. Fylia bertanya lagi dan menumpukkan semua itu dari awal. Dia seharusnya sudah memikirkan kata-kata untuk hal tersebut-- sebelum semuanya menghilang, hingga tidak ada lagi yang tersisa.
Meski begitu, Fylia masih mencari kata-kata yang perlu untuk dikatakan, yang ingin dia katakan meskipun dia tidak sepenuhnya memahaminya setelah memikirkannya. Namun itu tidak seperti 'dia' akan mengerti meskipun Fylia mengatakan itu. Itu juga tidak akan berguna hanya dengan mengatakannya saja.
Fylia tidak ingin kata-kata. Tapi tentu ada hal lain yang dia inginkan.
Fylia tahu bahwa untuk bisa melakukannya itu hampir saja tidak mungkin. Fylia tahu itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa diraih tangannya.
hubungan yang tidak dapat digapai tangannya itu tanpa diragukan lagi asam.
Tapi dia tidak perlu sesuatu seperti perasaan-perasaan yang begitu palsunya manis. Dia tidak perlu sesuatu seperti pemahaman palsu atau suatu hubungan yang palsu.
Apa yang dia inginkan adalah hubungan yang asam itu.
Meskipun itu asam, meskipun itu pahit, meskipun itu menjijikan, meskipun itu penuh dengan racun, meskipun itu tidak ada, meskipun dia tidak bisa meletakkan tangan kecilnya padanya, meskipun dia tidak diizinkan untuk menginginkannya.
"Meski begitu…"
Fylia paham bahwa suara yang keluar entah kapan itu bergetar.
"Meski begitu, aku… .... jika, kamu tetap ingin pergi juga..."
Fylia mati-matian menahan perasaan ingin menangis tersedu-sedu itu. Meskipun dia sudah menelan suara dan kata-katanya, perasaan itu terus keluar dalam pecahan-pecahan kecil. Giginya akan menggertak dengan ribut selagi kata-katanya dipaksa keluar dengan sendirinya.
"Jadikan aku... ..."
Kata-katanya berhenti pada kalimat pendek itu. Dia sadar bahwa dia harus terus meneruskannya.
Fylia menelan semua perasaan yang membuatnya ragu di dalam hatinya. Mulutnya merasakan sensasi aneh yang membuat kata-kata itu menjadi sulit untuk diucapkan. Namun dia harus tetap mengeluarkannya.
Meskipun Fylia tahu harapan dan makna apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, dan meski dia tidak pernah sebelumnya merasakan sesuatu seperti itu.
"Meski begitu, jadikan Fylia sebagai pasanganmu!! FYLIA MENYUKAIMU, IKKII!!"
Fylia mengatakannya dengan keras, perasaan hangat yang telah Fylia rasakan begitu dia menyadarinya.
Dalam lubuk hati pemuda itu, dia berterimakasih karena sudah menyukai seseorang sepertinya. Tapi di atas semua hubungan yang ada, Ikki memiliki janji yang harus dia tepati. Seluruh hubungan yang tidak dibutuhkan akan melalaikannya dari tugas itu. karena itulah, ada sesuatu yang harus Ikki akan atas perasaan Fylia.
".... aku--"
Namun sebelum dia sempat mengucapkan kata lain, Fylia menghentikannya, dia menutup mulut Ikki dengan kedua tangannya yang kecil. Mukanya berubah menjadi merah padam.
"Jangan katakan apapun! Fylia mohon jangan katakan apapun lebih dari itu. Fylia... sudah puas dengan hubungan kita sekarang. Fylia hanya tidak ingin perasaan ini mengganggu Fylia, karena itulah Fylia mengungkapkannya. Tapi, sebenarnya Fylia tidak butuh jawaban apapun. Karena setelah ini...."
"setelah ini....?" Ikki menanyakan hal itu meski tidak ada seorangpun yang benar-benar mendengarkannya karena suara itu keluar dengan tidak jelas.
"setelah ini, aku ingin terus bersamamu."