Chereads / Sembilan Lilin / Chapter 1 - Sembilan Lilin

Sembilan Lilin

🇮🇩Arlen_Langit
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Sembilan Lilin

Tetes-testes sisa air hujan masih saja turun di kaca jendela, udara dingin di luar tak mengerutkan niat bocah lelaki berpipi empuk itu. Ia masih setia menatap luasnya kota dari sofa beludru, permintaan mamanya tak digubrisnya sama sekali.

"Ansell, sudah jam sembilan lebih loh, ayo tidur, Sayang."

Bocah lelaki bersweater merah marun itu menjawab lambat, "Aku menunggu papa, Ma."

"Nanti papa juga pulang, Sayang. Kamu pas tidur nanti, papa pulang dan peluk serta cium kamu," bujuk mamanya sembari memeluk dari belakang.

"Mama bohong." Ansell membalikkan tubuhnya. "Mama selalu bilang gitu sama Ansell, papa pasti pulang peluk cium Ansell saat Ansell tidur. Tiap pagi aku enggak pernah ketemu papa, meski aku bangun sebelum matahari bangun. Papa enggak pernah pulang 'kan?"

Mama Ansell terbata mendengar tebakan Ansell. "Besok kamu ada latihan sepak bola, butuh tenaga banyak. Besok mama buatkan double susu cokelat dan roti isinya, oke? Ayo anak mama sekarang tidur."

Ansell mau tak mau menyeret kakinya beranjak dari sofa kesayangan papanya, anggapannya selama ini benar selain sering menelan kekecewaan mengapa papanya bekerja begitu lama dan keras sampai tak pulang menemaninya sekadar bermain ular tangga?

Sarena selesai menyelimuti putera tunggalnya dan memadamkan lampu kamar sebelum meninggalkan kamar Ansell. Senyum yang ia sunggingkan untuk Ansell pudar seketika berganti dengan isak tangis yang dalam tanpa suara.

"Maafin mama, Ansell."

#

Harusnya, hari ini Ansell tengah mengikuti latihan sepak bola di lapangan hijau di sekolah dasarnya. Bukan duduk di ruang kepala sekolah dengan seragam yang amburadul, terlebih lagi Sarena ditelepon pihak sekolah untuk datang segera, ternyata untuk menyaksikan ujung kehebohan di ruang ganti.

"Ansell," panggil Sarena pada Ansell. Ansell hanya menunduk diam saat kepala sekolah meminta Sarena duduk sembari menoleh ke arah bocah sepantaran Ansell. "Jadi benar, Ansell yang melakukan ini semua?"

"Ibu Sarena, saya tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah sebelum Ansell ke sekolah, yang membuatnya menjadi brutal dan menyerang Rico sampai pipinya tercakar."

Sarena mengerutkan keningnya. "Sebelum berangkat ke sekolah, Ansell dan saya memang beradu kata tapi itu bukanlah pertengkaran selayaknya orang dewasa. Ansell hanya ingin ulang tahunnya kali ini dihadiri papanya."

Kepala sekolah seketika menjadi muram, bingung hingga kerutan di wajah tuanya semakin jelas. "Rico silaka kamu ikuti Miss Rita untuk diobati, ya."

"Iya, Bu. Permisi, Tante."

"Maafkan Ansell ya, Rico." Sarena mengelus lembut bahu Rico. Bocah sembilan tahun itu tersenyum kemudian meringis ketika guratan cakaran Ansell terasa menyakitkan.

Sarena merasa tak enak sekali dengan Rico, terlebih lagi Rico tak pernah dapat perhatian penuh orangtua tunggalnya.

"Ansell, mama tahu kamu kecewa sama mama, sama papa soal ulang tahunmu sebentar lagi, tapi bukan seperti ini, Sayang."

"Apa yang membuatmu berlaku seperti ini, Ansell?" tanya ibu kepala sekolah.

Ansell terdiam, tak segera menjawab. "Ansell hanya mau papa pulang bawa kue ulang tahun dengan sembilan lilin! Aku enggak mau hadiah miniatur pesawat seperti janji papa! Atau pergi ke Disney Land! Aku mau papa pulang karena aku tak mau Rico membandingkan papaku dengan papanya yang pemabuk!"

Anse berlari keluar dari ruangan dengan tangis, bocah yang belum genap berusia sembilan tahun itu mengungkapkan apa yang menjadikannya brutal. Sarena dan ibu kepala sekolah saling menatap dalam diam.

"Kau ibunya Sarena, ceritakan padanya apa yang terjadi pada papanya sebenarnya, cepat atau lambat anak itu semakin besar dan keingintahuannya meningkat."

"Itu pasti, tapi rasanya aku masih belum bisa menjelaskan pada Ansell kalau papanya meninggal dalam kecelakaan pesawat." Sarena meneteskan air matanya.

"Pelan-pelan saja," saran ibu kepala sekolah.

#

Anak-anak yang datang ke rumah Ansell sudah berdandan rapi, tak lupa mereka membawa sebuah kado dan ditumpuk di atas meja dekat pintu masuk. Ruang tamu disulap sedemikian rupa menjadi ramah untuk anak-anak, tak lupa balon dan pita warna-warni bergelantung sudut ke sudut.

Sarena memang tersenyum pada anak-anak serta orangtua yang mengantar mereka datang, tapi ia menarik napas panjang sebelum berbalik ke kamar Ansell. Putera tunggalnya yang tengah berulang tahun itu mogok keluar dari kamar.

"Sayang, keluar, yuk! Teman-teman kamu semuanya sudah menunggu loh," bujuk Sarena.

Ansell menunjukkan wajah sedihnya sedikit, "Aku nunggu papa datang, Ma."

"Tapi teman-teman kamu udah nunggu lama loh, Sayang. Ayo, kita keluar trus kamu tiup lilinnya, kuenya gede loh."

"Papa itu janji sama Ansell, Ma. Papa akan bawakan kue ulang tahun di acara ulang tahun Ansell dengan sembilan lilin, aku mau kuenya papa dengan lilin sembilan bukan kue buatan mama!"

Sarena tak tahu harus berbuat apalagi untuk membujuk anaknya keluar dari kamar. Tak mungkin acara di luar dilanjutkan tanpa anak yang berulang tahun.

"Ansell," panggil seseorang, sebuah suara yang dirindukan Ansell.

Ansell menoleh cepat dan merubah mimik mukanya. "Papa!"

"Hei, boy! Kenapa murung, hmm? Ini hari spesialmu, kenapa ngurung di kamar, ayo kita keluar temui teman-temanmu."

"Ansell munggu Papa, jangan pergi lagi, janji!"

"Janji," jawab pria berkemeja cokelat muda itu pada Ansell.

Pria dewasa yang menanggalkan jasnya lebih dulu itu menggendong Ansell keluar dari kamar. Seolah tak merasa berat menggendong bocah sembilan tahun tepat di hari ini. Sarena tertegun dalam diam, ada getir tersirat di wajahnya, setetes air mata berhasil disembunyikannya sebelum Ansell memanggilnya dari luar kamar.

Acara ulang tahun Ansell kesembilan berjalan meriah, badut yang disewa Sarena dan tukang sulap berhasil menghibur Ansell dan tamu yang datang. Mereka tak pulang dengan kekecewaan justru minta diundang tahun berikutnya lagi karena merasa senang. Terlebih lagi Ansell, dia tak mau jauh dari papanya sedetik pun, bahkan tetap menggandeng tangan papanya sambil menyalami teman-temannya beranjak pulang.

"Papa, ayo kita buka hadiahnya!" seru Ansell sambil menguap.

"Ansell sudah capek, lelah, ngantuk gitu. Sekarang jagoan papa waktunya tidur!"

"Enggak mau, Ansell enggak mau tidur."

"Kenapa?"

"Ansell, istirahat, yuk!" bujuk Sarena merangkul tubuh Ansell. Pria kecil itu beringsut dan memeluk erat papanya.

"Nanti papa pergi lagi, Ansell mau ikut Papa." Ansell menolak.

"Papa enggak akan pergi ke mana-mana tanpa Ansell, janji Ansell jadi anak kebanggan mama dan papa."

"Bohong."

"Tidak."

"Bohong, papa selalu bilang gitu saat dua kali papa pergi kerja jadi pilot." Ansell terisak. "Papa lama kembali lagi, makanya aku enggak mau tidur, Pa."

Kedua orang dewasa itu saling pandang. Sarena memijat pelipisnya sementara pria dewasa itu mendekap Ansell erat sambil menepuk punggungnya pelan, isakan itu semakin mereda meski tak sepenuhnya.

"Papa janji enggak akan pergi lagi tanpa pamit sama kamu, Sayang." Pria berjambang tipis itu berkata sungguh-sungguh pada Ansell.

Pria kecil itu luruh dan membawa dekapan hangat papanya ke kamar tidur, tak mau berpisah dan mau ditemani sampai pagi. Sarena menatap bekas pesta ulang tahun Ansell yang meriah, hanya saja ada kebohongan besar yang tercipta. Suara langkah membuyarkan tangisan sedih Sarena,

"Angelo, kau tak seharusnya seperti ini," ungkap Sarena.

"Aku tak tahan lagi melihatmu kewalahan dengan tangisan Ansell menanyakan Alleso terus-menerus."

"Tapi kau tetap bukanlah papanya, bagaimana kalau Ansell menyadari jika kau adalah pamannya, menanyakanmu?"

"Ini demi Ansell, dia masih perlu dampingan sosok papanya, soal lainnya itu tak penting. Suatu saat nanti jika dia sudah dewasa akan kuceritakan semuanya."

"Cerita apa, Pa?" tanya Ansell tiba-tiba datang sambil mengucek mata.

Sarena dan Angelo saling menatap.

"Kok bangun lagi? Papa masih ada bukan? Besok, lusa dan besoknya lagi kamu masih bisa lihat papa, papa enggak akan ke mana-mana, oke?"

"Oke!" Ansell merangkul setengah mengantuk.

Sarena menatap punggung keduanya sambil tersenyum, kemudian senyumnya memudar kala melihat pigura pernikahannya sembilan tahun lalu bersama Alleso.

"Ini bukan untuk menggantikanmu, Sayang. Aku mengiyakan tindakan gila Angelo demi putera tunggal kita, tenanglah kau di surga, Cintaku."