Kaki Joda terasa kaku dan tak bisa digerakkan saat ia melihat sosok Monalisa yang sama dengan Monalisa yang membullynya dulu ketika ia masih duduk di bangku SMA.
"Mona?! Dia kan yang suka nyuruh gue beliin jajanannya di kantin tapi kalo ngasih uang kurang terus." Meski dalam hatinya berapi-api, Joda paham betul jika rasa takutnya melebihi amarahnya. "Tenang, Jod. Tenang. Lo bukan si Gimbal lagi!"
"Kamu beneran mau gangguin mobilitas saya ya, Maroko?" Kay berbisik tepat di telinga Joda. Hembusan napas pria itu entah mengapa malah membuat bulu kuduknya meremang.
"Bapak!" Joda berseru dengan suara pelannya. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyikut Kay.
"Silahkan masuk." Bima yang sedari tadi membuka pintu ruang rapat itu dan berdiri menunggu orang dari Hyde Corp. itu masuk pun akhirnya mempersilahkan mereka masuk setelah keterdiaman Joda menginterupsi mereka.
Joda yang sudah merapalkan mantra dalam hatinya jika Monalisa takkan mengenalinya itu pun memberanikan dirinya untuk ikut berjalan masuk ke dalam ruangan itu setelah Kay menyelaknya dan jalan terlebih dahulu.
"Perkenalkan, Pak Kaylion, ini adalah model dari perusahaan kami yang akan bekerja sama dengan perusahaan Bapak." Bima memperkenalkan Monalisa yang berdiri dan melepaskan kacamata hitam besarmya saat ia hendak bersalaman dengan Kay.
"Monalisa." Dengan senyum menggoda karena wanita itu melihat Kay sebagai tangkapan besar, Mona mengulurkan tangannya.
"Lho, saya kira Cuma Monalisa yang ada di dalam lukisan saja yang alisnya botak. Ternyata model dari perusahaan anda juga memiliki alis yang sama," ujar Kay menanggapi senyuman Mona.
"Pak." Joda lagi-lagi menyikut perut Kay meski sebenarnya dalam hati ia tengah tertawa terbahak-bahak.
Wajah Mona tampak bersemu malu saat ia pikir Kay tengah memujinya. Padahal jelas sekali jika Kay tengah menghinanya.
"Maaf, Pak. Mona baru saja selesai perawatan wajah. Kebetulan Mona terkena malpraktek sampai alisnya harus hilang." Bima berdehem sebelum menjelaskan kondisi Mona.
"Bisa balik lagi enggak tuh, alisnya?" tanya Kay serius meski ia menghilangkan kalimat formalnya.
"Bisa kok, Pak Ganteng." Mona mengedipkan matanya manja.
"Mona!" Bima menegurnya. Jelas saja, perkataan Mona benar-benar tidak sopan untuk didengar orang sekelas Kay.
"Enggak apa-apa. Saya sudah biasa dipanggil seperti itu," jawab Kay membanggakan dirinya membuat Joda yang berada di sampingnya mendengus.
"Syukur kalau begitu. Saya takut Pak Kaylion merasa terganggu." Bima bernapas dengan lega meski matanya menatap tajam ke arah Mona seolah ia memperingati wanita itu untuk tak main-main dengan orang yang berada di hadapannya. "Sebaiknya meetingnya kita mulai."
"Lho? Itu siapa yang ada di samping Pak Ganteng?" tanya Mona tiba-tiba membuat jantung Joda seolah berhenti berdetak.
"Mampus! Jangan bilang dia ngenalin gue?! Pokoknya enggak boleh ada yang ngenalin gue apa lagi di depan nih Siluman Babi!" Tanpa sadar, tubuh Joda sedikit bergetar ketakutan. Lagi-lagi bertentangan dengan hatinya yang menggebu-gebu.
"Ini sekertaris saya," jawab Kay karena Joda diam saja sedari tadi.
"Siapa namanya? Kok aku kayak kenal?" tanya Mona.
"Namanya …."
"Lebih baik meetingnya kita mulai sekarang. Soalnya sebelum jam satu siang kami harus kembali ke kantor." Joda memotong kalimat Bima yang menggantung.
"Iya. Ayo. Lebih cepat lebih baik." Mona menepuk tangannya beberapa kali sebelum mereka berempat duduk dan memulai rapat.
"Saya harus menjelaskan ini untuk kesekian kalinya karena saya rasa ini cukup penting." Kay melirik ke arah Joda yang tampak tak fokus selama rapat ini berlangsung. "Karena ini pertama kalinya Hyde bekerjasama dengan JS Entertaiment, saya benar-benar berharap artis atau model dari JS Entertaiment tidak akan membuat skandal apapun sampai masa kontrak ini habis karena tentunya hal itu akan mempengaruhi imej perusahaan termasuk perusahaan kami yang bekerjasama dengan JS Entertaiment. Betul kan, Maroko?"
"Hah? Apa, Pak?" Joda yang sedari tadi tidak fokus karena pikirannya berisi dengan memori-memori menyakitkannya saat SMA itu terkesiap saat Kay menepuk tangannya.
"Kamu dari tadi enggak denger apa yang saya omongin?" Nada bicara Kay terdengar tegas karena mereka kini berada di depan orang lain.
"Maaf, Pak." Joda menundukan kepalanya.
"Mbak ngantuk, ya? Kalo gitu tunggu, ya. Biar saya beliin kopi di kantin." Bima yang mengira jika Joda mengantuk karena rapat mereka sedikit tegang dan ia tak menyiapkan minuman lain selain air mineral itu pun bangkit dari duduknya.
"Eh? Enggak usah Mas Bima." Joda tentu saja menolak karena ia merasa akan merepotkan Bima.
"Enggak apa-apa. Kita break dulu sebentar aja. Sampe kamu enggak ngantuk lagi Maroko," ujar Kay final.
Bima pun pamit untuk keluar.
"Kalo gitu saya cuci muka dulu ya, ke toilet." Tak lama, Joda pun ikut bangkit dan berlari kecil untuk mengejar Bima.
"Tumben Maroko enggak marah gue panggil Maroko?" Kay membatin karena ia merasa hal ini benar-benar janggal. Padahal ia sudah memanggil Joda dengan sebutan itu beberapa kali dan bahkan ia memanggilnya di hadapan orang lain. Tetapi sekertarisnya itu bertingkah tidak biasa.
"Pak Ganteng!" Mona menyentuh tangan Kay yang tengah melamun itu.
"Apa?!" Kay berseru kaget.
"Mona boleh manggil Pak Ganteng pake sebutan Mas, enggak? Pak Ganteng panggilannya apa sih kalo Mona boleh tau?" Mona mengelus-elus punggung tangan Kay.
"Kamu enggak denger tadi saya bilang apa? Saya enggak mau artis atau model yang kerjasama dengan perusahaan saya punya skandal. Sebaiknya kamu jaga sikap kamu. Terlebih sama pria." Kay bangkit dari duduknya dan berjalan untuk keluar dari ruang rapat itu.
Meskipun Kay tidak pernah pemilih terhadap wanita-wanita yang ia kencani, kenyataan tentang Mona yang tampak berhasil mengganggu pikiran Joda membuatnya enggan berdekatan dengan wanita itu.
"Satu lagi. Alis kamu itu ngeganggu mata saya," ujar Kay sebelum membuka pintu ruang rapat itu.
"Ihhh, Pak Ganteng! Kok gitu sama Mona?!" Mona merengek di atas kursinya.
*****
"Mas Bima!" Joda berseru saat Bima hendak masuk ke dalam lift.
"Mbak Joda? Ada apa?" Bima tersenyum ramah.
"Anu … saya boleh minta tolong?" Joda menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal itu karena ia gugup. Ia takut jika Bima akan bertanya alasan ia meminta hal ini pada pria itu.
"Minta tolong apa ya, Mbak?" Bima menatap penasaran ke arah Joda yang benar-benar terlihat gugup.
"Anu … bisa enggak Mas Bima enggak nyebut nama saya?" tanya Joda Ragu.
"Nyebut nama? Maksudnya gimana ya, Mbak?" Bima tentu merasa bingung dengan maksud Joda.
"Maksud saya, tolong jangan kasih tau nama saya ke orang-orang. Saya ada phobia gitu. Saya takut ada orang yang tau nama saya kalo bukan saya yang kasih tau Namanya. Jadi, Mas Bima bisa kan enggak panggil nama saya di depan orang-orang sekali pun itu Mbak Mona?" Joda tidak bisa berpikir alasan yang lebih masuk akal lagi namun wanita itu benar-benar berharap jika Bima akan menuruti permintaannya.
"Kalo gitu saya harus manggil Mbak apa?" Bima sedikit tertawa memikirkan permintaan Joda yang unik itu.
"Mas Bima panggil saya Ma-"
"Maroko!" Tiba-tiba saja Kay datang dan menghampiri kedua orang yang tengah berbincang itu. "Kamu bilangnya mau cuci muka, tapi Taunya malah cuci mata!" Kay mendengus.
"Oke. Saya bakal manggil Mbak Maroko." Seolah mendapat jawaban dari kalimat terpotong itu, Bima pun menyimpulkan jika Joda ingin dipanggil dengan sebutan Maroko.
"Eh! Enak aja kamu! Itu nama saya yang kasih, lho! Itu panggilan kesayangan dia dari saya!" Kay nampak benar-benar tak setuju dengan ucapan Bima.
"Lho? Kalian pacaran?" Bima yang terkejut itu bertanya dengan perasaan tak enak.
*****